UN dan Ritme Kejiwaan



Tribun Jabar, 17 Juni 2014
Ujian Nasional (UN) 2014 memang telah berlalu. Pengumuman kelulusanpun diantaranya telah diumumkan. Tinggal menanti pengumuman tingkat SMP dan selanjutnya disusul SD. Ini artinya, sebagian suara histeris yang dulunya begitu kencang diteriakkan siswa otomatis berubah. Menjelma menjadi suara tangis haru serta pesta ‘kemenangan.’ Hal yang serupa juga membalikkan suasana dramatis yang menghantui degup jantung orang tuanya siswa. 

Begitu juga gejolak dilematis yang menjelma di setiap ruang kelas dan kemudian dilanjutkan di ruang-ruang UN. Dimana di ruang tersebut ada siswa sebagai peserta UN, ada pengawas, ada pengawal dari aparat keamanan, dan ada guru dari siswa itu sendiri. Semua gejolak itu lenyap seperti tak berbekas karena menyatu pada satu titik fokus  keceriaan: mereka lulus!

Ritme Kejiwaaan
Ritme seperti ini biasanya yang terus terjadi dan akan terjadi lagi apabila UN terus diberlakukan. Apa ada yang salah dengan ritme kejiwaaan ini? Sama sekali tidak. Tapi jika semuanya dilaksanakan dengan prinsip keadilan serta –meminjam istilah dunia olahraga- dengan menjunjung tinggi sportivitas. Nah, ketiadaan dari kedua hal inilah yang akan menyebabkan ritme tadi menjadi salah dan sekaligus berbahaya.

Mengapa? Pertama, akan munculnya  standar ganda. Istilah ‘standar ganda’ sebenarnya juga sering menjelma untuk kasus yang berhubungan dengan  proses pendidikan. Namun kita kadang sengaja tidak ambil peduli. Proses pendidikan yang semula dijalankan untuk menghasilkan manusia-manusia dengan sifat terpuji. Berbalik hanya untuk menghasilkan manusia sesuai standar yang ditetapkan dan kemudian diberi label: lulus!

Andai keadaan ini terus terjadi. Setiap tahun guru hanya berkutat pada usaha untuk mencapai standar saja. Pekerjaannya hanya menimbang, menakar dan kemudian memutuskan apa saja yang harus diajarkan dan mana yang harus tidak diajarkan. Ketika salah pilih dan pilihannya dianggap tidak tepat sasaran oleh sang siswa. Siswapun mencoba mencari alternatif lain, yaitu bimbingan belajar.

Akhirnya, tidak sedikit para guru memilih mengajar seperti di bimbingan belajar. Bahkan guru itu sendiri lebih memilih aktif mengajar di bimbingan belajar dari pada sekolahnya sendiri. Tidak sedikit juga guru yang akhirnya malah membuka bimbingan belajar.

Kedua, objektivitas akan tergerus oleh egois prestise. Akibat ego untuk mendapatkan prestise, prestasi biasanya dipaksakan sedemikain rupa. Dalam hal UN, gejala ini dimulai dari struktural tingkat atas sampai ke yang terendah, termasuk sekolah itu sendiri dengan menjadikan siswa sebagai objeknya. Akhirnya yang terjadi, kita tidak peduli lagi apakah siswa/sekolah yang dikompetisikan melalui UNnya tersebut mempunyai kekuatan yang sama atau tidak.

Dan puncaknya akan terjadi ketika angka-angka kelulusan bertebar indah.  Siswa bersuka, melupakan luapan emosi sakit hatinya karena harus bertarung dengan ketidakadilan. Guru melupakan kisah penggadaian harga dirinya akibat dulunya harus terpaksa ‘menolong’ siswa dalam menjawab soal. Sekolah kembali mengadakan seremonial ‘selamatan’ lantas dengan segera melupakan taktik gelapnya dalam mencapai angka kelulusan. Negarapun dengan lantas membanggakan angka ketercapaian yang sungguh prestesius itu. Egoisme prestise telah menelan sifat objektif kita.

Ketiga, merusak komitmen. Dan inilah puncaknya mengapa begitu susahnya melawan sebuah kebijakan di era yang katanya telah menganut paham suara rakyat adalah suara tuhan ini? Ketika lonceng UN berbunyi, satu persatu ulasan dampak negatif UN bermunculan. Hampir semua mata meminta harap, agar beban pembelajaran panjang siswa tidak divonis hanya berdasarkan ujian yang tidak lebih dari satu minggu itu. Hampir semua mulut berteriak, inilah saatnya untuk membangun kebersamaan agar tahun depan kebijakan yang mengkebiri guru ini ditiadakan. Hampir semua kepala berpikir, ada benarnya juga bahwa tanpa ujian yang menyebabkan siswa dipaksakan untuk mencontek ini, pendidikan Indonesia tidak akan punah juga.

Tentunya, semua mata, semua mulut, dan semua kepala yang dimaksud adalah mereka yang biasanya memang bersentuhan langsung dengan UN itu sendiri.  Andai tidak bersentuhan langsung, kita biasanya akan abai. Akan tetapi, semua ini begitu cepat menguap akibat buaian dari euphoria kabar kelulusan yang hampir mencapai angka sempurna. Apatah lagi, siswa yang dinyatakan lulus pasti akan disibukkan untuk mempersiapkan diri memasuki tahap (kehidupan) pendidikan selanjutnya. Menghilanglah semua mata, semua mulut, dan semua kepala tadi.

Seperti Inikah Arahnya?
Parahnya, semua mengetahui akan hal ini bahkan sampai ketelinga sang penguasa. Tapi , sekali lagi lihatlah apa yang terjadi ketiga pegumuman kelulusan telah dikumandangkan? Maka sebelum kita nantinya terjebak lagi dengan ritme kejiwaaan itu. Tidak salahlah kalau mengingat kembali makna kalimat yang pernah disampaikan oleh filsuf kelahiran Yunani, Plato. Ilmuan yang terlahir di kota Athena ini menyatakan bahwa arah yang diberikan oleh pendidikan untuk memulai hidup seseorang akan menentukan masa depannya.

Jadi, dengan berbagai perilaku yang disuntikkan kepada peserta didik akibat hadirnya UN. Maka jangan kaget jika orang tua tidak mendapat tempat terhormat lagi oleh anaknya nanti. Karena inilah arah yang diajarkan orangtuanya ketika anaknya menjadi peserta UN: “Bagaimanapun caranya, yang penting kamu lulus, nak!”

Jangan menyesal juga bila 5 atau 10 tahun akan datang, guru tidak lagi menjadi sosok yang digugu dan ditiru. Karena inilah arah yang diajarkan guru melalui sikap standar gandanya. Di dalam kelas mengajarkan arti pentingnya kejujuran. Sementara di ruang UN, guru menjadi garda terdepan dalam mensiasati bagaimana untuk melakukan keculasan terhadap UN.

Jangan bingung kalau nantinya banyak aparat penegak hukum yang berlaku tidak adil. Karena arah yang diajarkan adalah keadilan-ketidakadilan itu hanyalah relatif. Semuanya tergantung siapa yang berkuasa. Jika yang berkuasa mengatakan ujian yang tanpa memperhatikan perbedaan sarana/prasarana belajar serta kekurangan-kelebihan guru itu adil. Maka menjadi adilah.

Jangan terperangah kalau anak yang kita asuh justru mendapat pelajaran amoral di bangku sekolah. Karena tanpa sadar arah inilah yang perlahan tercipta. Sekolah telah terbius dengan berbagai agenda yang mengatasnamakan kelulusan semata. Ditambah dengan berbagai imbalan berhadiah semisal yang ditawarkan pemerintah daerahnya. Ajaran mengenai tata nilaipun semakin terkikis. Bahkan lenyap.

Jangan heran kalau kemudian generasi  yang akan datang akan menjadi para koruptor kelas kakap. Alasannya jelas yaitu karena  inilah arah yang diajarkan sekolahnya melalui bagaimana melakukan mark-up nilai dengan ‘baik’ dan ‘bijaksana.’ Dan, jangan-jangan diantaranya telah terjadi saat ini? Mari sadar!

***Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit tanggal 17 Juni 2014 di Harian Tribun Jabar.