UN Dihamili, Sekolah Dikebiri



Apa hubungannya UN dengan kehamilan? Mungkin awalnya kita berpikir tidak ada hubungan diantaranya. Namun beberapa hari menjelang UN. Setelah mencuat pemberitaan vonis sekolah yang melarang siswanya untuk ikut UN karena hamil atau menikah karena hubungan bebas. Seperti biasa, pemberitaan sejenis ini akan muncul ke permukaan setelah UN mulai menghampiri. Betapa tidak, karena UN memang dianggap jalan penentu keberhasilan siswa untuk meraih masa depannya. UN memang prestesius. Tapi persoalan hamil duluan sebenarnya lebih penting dari UN itu sendiri. 

Akibat vonis yang dilakukan sekolah. Tanggapan kontroversialpun akhirnya muncul. Beragam sudut pandang berdatangan. Terakhir, sebagai presiden pendidikan Indonesia, Mendikbud pada awal April (2/4) memberikan tanggapannya. Intinya tanggapan tersebut adalah siswa hamil dan menikah tetap diperbolehkan untuk mengikuti UN. Dari tanggapanya, Mendikbud terkesan dengan tegas memberi sebuah pernyataan agar tidak mempermasalahkan kasus kehamilan siswa.

Kampanye Terbuka Seks Bebas

Sebelum UN terlahir. Berbagai tanda kekhawatiran sudah mulai berdatangan. Kekhawatiran semakin terbukti ketika dalam perjalanannya berbagai masalah muncul. Termasuk di tahun ini, keabsahan UN semakin dipertanyakan selepas adanya penundaan besar-besaran dan beberapa penyimpangan lain. 

Bukan malah menjawab permasalahan pendidikan bangsa. Tanpa perlu mengurai dampak ketika UN telah mewarnai blantika dunia pendidikan Indonesia. Pastinya UN telah diklaim menjadi salah satu penyebab utama pendidikan tercabut dari orientasinya. Pendidikan sudah bergerak buas. Wajah sekolah yang diklaim sebagai tempat manusia terdidikpun sudah mulai suram. 

Ditambah dengan pernyataan yang keluar dari pemegang kendali kebijakan pendidikan tadi. Semakin menguatkan kita untuk berkesimpulan kalau arah pendidikan bangsa –jika tidak ingin dikatakan sesat- sudah di persimpangan jalan. Dibolehkannya siswa yang hamil akibat tindakan amoralnya untuk ikut UN menambah daftar panjang dosa UN sendiri. Kebijakan yang sangat krusial untuk disadari bersama.

Alasan sederhana dikatakan demikian karena dengan membolehkan siswa hamil ikut UN. Itu artinya secara langsung telah mengumumkan sebuah legalisasi perilaku seks bebas bagi remaja. Maraknya perilaku yang menunjukkan proses demoralisasi ini hadir tidak lain kurangnya bentuk hukuman yang diberikan kepada pelakunya. Bukan hanya kepada remaja tetapi kepada pelaku yang berusia di atasnya. Pelaku yang menjadi sorotan dan kemudian panutan bagi generasi baru. 

Ketidaktegasan hukuman bukan hanya di ranah aplikasi hukum postif tetapi juga pada hukuman sosial yang diberikan masyarakat. Akibatnya wajar jika kita selalu menyaksikan pelaku pornografi masih diberikan ruang ekspresi yang terbuka. Malah semakin dipuja. Selanjutnya menjangkiti generasi penerus bangsa. Ketidaktegasan membuahkan stigma kepada siswa atau kalangan remaja. Mereka akan berpikir kalau dosa besar yang mereka perbuat tidaklah berdampak besar. 

Rilis survey Komnas Perlindungan Anak beberapa tahun lalu masih segar di ingatan bersama. Survey yang dilakukan di 33 provinsi itu pantas untuk disimpulkan sebagai tanda ‘kiamat’ generasi muda. Indikator yang menunjukkan tipisnya harapan bangsa untuk mencapai cita-citanya jika tidak diantipasi secara progresif. Datanya membeberkan sebanyak 97% anak sekolah seuia SMP dan SMA pernah menonton film porno. 93,7% pernah melakukan ciuman. Lebih parahnya lagi, 62,7% anak yang masih bayu (seusia SMP) sudah tidak perawan lagi. 

Dampak perbuatan bebas ini juga memaksa mereka untuk melakukan tren aborsi. Diperkirakan lebih dari 20% remaja di negeri yang berketuhanan ini melakukan praktik aborsi. Sebuah berita biasa atau luar biasa? Bukan sebuah kemustahilan angkanya terus bertambah seiring dengan semakin diberikannya ruang kebebasan bagi anak sekolah. Termasuklah ketika mereka tetap diberbolehkan untuk ikut berpartisipasi dalam ujian penentu kelulusannya. Ujian yang sama persis diikuti temannya yang bersih dari praktik asusila itu. Lantas adilkah ini? 

Sekolah Kembali Dikebiri

Kita sangat sepakat dan membenarkan konsep education for all . Tidak ada yang menentang klausul yang ingin menetapkan pendidikan adalah hak setiap warga. Tetapi bicara hak, kewajiban harus disertai. Apalagi sebuah kewajiban yang hakiki. Kewajiban yang tidak hanya tertulis di sebuah konstitusi negeri atau peraturan resmi sekolah. Kewajiban itu juga merupakan perintah langit yang tertulis abadi di kitab suci. 

Dengan  membenarkan siswa hamil untuk ikut UN secara sengaja juga menunjukkan wujud arogansi dalam mengkebiri  hak sekolah. Tidak cukup menciptakan tekanan psikologis kepada sekolah melalui UN yang hanya berdasar pada standar angka semata. Sekolah yang mencoba untuk memperbaiki tatanan hidup siswa melalui dimensi sikap dan moral juga semakin ragu. Ragu untuk bertidak lagi. Apalagi posisi sekolah secara struktural berada di bawah komando pemerintahan. 

Tidak cukup harus menerima serangan ketika mencoba melakukan tindak kejujuran pada pelaksanaan UN. Memberikan putusan tegas terhadap peserta UN atas tindakan tidak senonohnya juga akan menjadi sorotan balik. Apalagi ketika peraturan sudah dibuat dan hukuman sudah diberikan. Kemana harga diri dan pencitraaan sekolah jika hukuman itu dicabut kembali? 

Selain seperti pepatah menjilat ludah sendiri. Peraturan sekolah bukan hanya tidak berlaku lagi di mata peserta didiknya. Lebih dari itu, himbauan kebaikan guru di sekolah semakin akan dianggap angin lalu. Apakah bentuk liberaliasi pendidikan seperti ini yang diinginkan tumbuh di bumi pertiwi? Sungguh terlalu!

Jurang Kehancuran

Seharusnya pemerintah lebih tegas. Memberikan apresiasi bagi sekolah yang tegas. Bukan hanya memberikan sanksi di akhir usia sekolahnya. Dari awal, jika ada indikasi positif atas tindakan perilaku bebas siswa meskipun tidak sampai hamil. Sanksi haruslah segera ditunaikan. Kalaulah dibiarkan menunggu perut membuncit terlebih dahulu. Pantaslah kita disuguhi praktrik aborsi remaja yang menggurita. Itu yang terdata. Kita sangat yakin masih banyak kasus yang tersembuyi. Sekolahpun nantinya semakin diisi oleh pelajar yang tidak bertanggung jawab dan jiwa psikopatnya berkembang biak.

Sekali lagi, memberikan kesempatakan siswa hamil untuk ikut UN bukan sekedar sebuah diskusi yang bertema sentralkan UN. Fenomenanya sudah masuk pada pembahasan keruntuhan moral generasi terdidik. Ketika membiarkan dan tidak memberi sanksi yang berarti bagi pelakunya. Kita harus siap disuguhi rilis survey yang maha dahsyat lagi. Bahkan akan memperhatikan secara nyata kejadiaan miris itu ditengah kehidupan kita. Siswa sudah merasa diberi angin. Toh dengan hamil di luar nikah masih mendapatkan hak yang sama dengan temannya yang lain. UNpun akan terus menerus  ‘dihamili.’ Pelaksanaannya akan semakin banyak diisi oleh peserta ujian yang telah memiliki kandungan. 

Jika demikian keadaanya, jurang kehancuran bangsa semakin terbuka lebar. Mengganga dan siap memangsa setiap kepala yang ada. Negeri ini rapuh dan perlahan hancur menjadi puing malapetaka berkepanjangan. Ketika kita selalu bersepakat pendidikan sebagai penentu keutuhan bangsa. Indonesia malah sebaliknya. Dunia pendidikan diangap biang penyebab dan menjatuhkan derajat manusia Indonesia ke jurang kehancuran. Bahkan sebuah kepastian nantinya, jurang pembalasan abadi siap menanti. Mari Mewaspadai!

***Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  tanggal 15 April 2013 di media cetak Haluan Kepri