Gerakan Anti Televisi

sumber gambar: caglecartoons.com


Kita semua yakin, tak ada satupun masyarakat kita yang tidak mengenal kotak yang bernama televisi ini apatah lagi di era kemajuan zaman yang semakin pesat di mana informasi telah menjadi salah satu kebutuhan primer, televisi adalah salah satu saranana untuk mendapatkan informasi tersebut. Orang cenderung melalaikan makan atau ada yang harus bangun ditengah malam ketika harus melihat acara yang diinginkannya.

Sekilas memang tidak ada yang salah. Namun bak gunung es yang ada di dasar lautan ternyata televisi saat ini menyebarkan virus-virus yang berbahaya bagi kita terutama sang anak yang daya serapnya masih tinggi namun daya filternya masih sangat kurang sekali. Alhasil, mereka ‘terpaksa’ mengurangi jam belajarnya hanya untuk melihat tontonan kesukaannya dan terjadilah seperti apa yang sering kita dengar.

Maaf! Tanpa bermaksud mengenaralisasi semua program televisi yang ada, tapi di saat program yang ada itu lebih banyak jahatnya ketimbang baiknya, maka wajarkan kalau dibilang jahat? Sekarang kita lihat hasil penelitian UNICEF pada tahun 2007 yang mengatakan bahwa rata-rata anak Indonesia terpaku di depan televisi lima jam sehari atau sekitar 1.560 sampai 1.820 jam setahun.

Jadi, bayangkan apa saja yang didapatkan anak-anak tersebut dari tontonannya? Dengan kondisi acara yang semakin hari terasa kurang berkualitas dan justru menonjolkan kesan-kesan seperti kekerasan, ajaran-ajaran pacaran dan hubungan dini tanpa hubungan yang halal, gosip-gosip murahan dan perihal-perihal ‘sampah’ lainnya. Sebut pada ranah infotainment saja, menurut data  penelitian yang juga diambil dari catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang luar biasa pada penayangan infotainment tersebut yaitu, 24 episode perminggu pada tahun 2002 menjadi 2010 episode perminggu pada tahun 2007. wow!!

Nah, jika televisi yang ada di Indonesia ini hanya sekedar iklan oriented tanpa memikirkan kualitas programnya, jadilah mereka saling meniru antara televisi yang satu dengan yang lainnya. Tentunya yang ditiru yang itu tadi, yang mempunyai rating tertinggi. Fenomena ini bisa kita lihat dari hampir seragamnya acara dari beberapa televisi bahkan seakan akan acara tersebut adalah iklannya karena lebih banyak iklannya ketimbang acara itu sendiri.

Sekali lagi, bagi penulis hasil rating bukanlah penentu mutlak kualitas program suatu televisi! Rating yang tinggi bukan berarti program tersebut baik, bisa jadi sangat jelek. Hasil dari penelitian salah satu yayasan yang bernama Seni Estetika dan Teknologi bekerja sama dengan 16 lembaga pada sekitaran april 2008 lalu mengungkapkan bahwa sebagaian besar acara yang berating tinggi justru berkualitas sangat rendah alias jongkok.

Komisi Penyiaran Indonesia yang disingkat KPI sebagai lembaga negara dan sekaligus perpanjangan tangan dari pemerintah seharusnya memainkan peranan yang optimal. Jangan kemudian terjebak pada wilayah-wilayah yang dapat mengangkangi independensinya karena KPI adalah lembaga yang independent dan memang harus independen!

Selanjutnya perlu peran bersama dari kita sesuai dengan wilayah kita masing-masing, baik itu KPI itu sendiri, stasiun televisi sebagai objek dari ‘permasalahanya’ dan juga perlu peran orang tua dalam mengawas anak-anaknya dalam memilih tontonan yang layak ditonton.

Jika itu tak mampu kita lakukan. Jika KPI seakan-akan ‘mandul’ dalam menjalankan tugasnya. Jika stasiun televisi seolah-olah ‘tuli’ dan ‘buta’ dengan tuntutan dan dampak dari program yang mereka tayangkan. Dan jika kita sudah tidak sanggup lagi untuk mengawasi anak-anak kita dalam menonton televisi akibat kita sendiri yang juga sudah terbius oleh ‘kotak pembodohan’ itu. Hanya ada satu jalan lagi demi menyelamatkan anak-anak kita dan bangsa ini. Matikan Televisi Anda dan mari bersama kita kampanyekan GERAKAN ANTI TELEVISI!

Siappp?

Masih segar diingatan kita ketika anak kecil melakukan smack down kepada adeknya hanya gara-gara melihat sebuah acara yang melajukan semangatnya untuk ‘perkasa’, ada yang mulai berani melawan orang tuanya, mencoba-coba untuk berbuat ke arah zina, kesekolah dengan gaya ke mall, dan beragam aksi lainnya yang kesemuanya itu mereka dapatkan setelah melewati proses doktrinisasi acara yang mereka tontonkan.

Artinya lebih dari 20% dalam sehari, kehidupan anak-anak itu hanya dihabiskan untuk televisi. Padahal jam untuk belajar mereka disekolah jauh lebih kecil yakni hanya sekitar 1.000 jam pertahun. Untuk jumlah pemirsa, 21%nya adalah anak-anak yang berusia 5-14 tahun. Data ini meningkat jika dibandingkan tahun yang lalu. Sementara untuk tontonan yang aman bagi anak-anak, . Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menyatakan acara yang aman dilihat oleh anak  hanya 30 persen saja. Lantas 70% bagaimana?

Untuk tidak berpikir jahat, barangkali mungkin semua acara yang disajikan melalui televisi ini ingin meyampaikan pesan-pesan positif bagi pemirsanya. Kita dapat saksikan disudut kotak televisi tersebut bertuliskan ‘BO’ dengan maksud agar tontonan perlu adanya bimbingan dari orang tua, ada juga ‘SU’ yang mengisyaratkan acara tersebut untuk semua umur. Namun permasalahannya adalah apakah itu mampu membatasi bagi yang melihat atau barangkali mereka ada yang tidak mengerti bahan tidak ambil peduli dengan simbol-simbol tersebut. Jadi, apakah tidak ada jalan lain dalam menyampaikan  informasi yang dianggap positif tersebut dan apakah sudah tidak ada lagi acara yang lebih berkualitas dari itu? Saya yakin jawaban kita semua sama!

Rating Tinggi, Berkualitaskah?
Sudah saatnya hari ini lembaga yang meneliti dan mempublikasikan hasil surveynya terhadap acara-acara televisi, apalagi lembaga-lembaga yang telah mempunyai legalitas, mulailah untuk tidak sekedar menilai dari kuantitasnya namun cobalah untuk lebih menitik beratkan dari segi kualitasnya. Dianjurkan demikian karena rating tersebut memang terkesan murni bersifat kuantitatif, tidak melihat mutu acara atau pendapat-pendapat yang berkembang terhadap dampak dari acara tersebut. Atau bahkan mungkin bukan sekedar terkesan lagi, kenyataan?

Hasil rating biasanya akan menempatkan acara tersebut sebagai acara favorit . ini tentunya menjadi ladang bagi televisi tersebut menerima pasokan iklan yang omsetnya pasti bukan sekedar hitungan beberapa juta, mungkin bisa jadi mencapai milyaran rupiah.

Perlu Ketegasan Bersama!
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 sudah memberikan legitimasi dengan jelas dan tegas tujuan dari penyiaran itu. Disini dikatakan bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Semua sudah kompleks disini bahkan sampai kepada saknsi yang diberikan.

***Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit pada kolom OPINI Batam Pos, 28 Juni 2008