‘Utak Atik’ Statistik

Meski bukan jago pada dunia yang dikenal secara umum dengan kehidupan angka ini. Maka dengan kesadaran diri, melalui postingan ini saya bukan akan menguraikan operasi dari angka - angka atau memberikan rumus. Tentu tidak. Disini saya hanya sedikit meluahkan kegundahan atas kebenaran di atas ketidakbenaran. Eh, maksudnya ketidakbenaran di atas kebenaran. Artinya  ada sisi yang sering saya khawatirkan dengan label ‘ilmu pasti’ yang melekat pada cabang ilmu ini. Apakah ketika dilabelkan ‘pasti’ itu bermakna dua sekaligus. Pasti hasilnya dan pasti bisa di’utak-atik’ hasilnya?

Sebelum berpanjang lebar. Ada beberapa pengalaman yang dirasakan terkait cara pandang mengenai istilah ini. Pertama, UN alias Ujian Nasional. UN lagi? Yups benar sekali. Karena ketika kita bicara UN, kita sering bicara persentase kelulusan bukan? Saat membahas persentase inilah saya sering memikirkan apakah ‘shohih’ data yang disajikan itu? Sementara, bukan hanya mendengar namun kadang kita menemukan pengakuan dari para pelaku tentang prosesi ‘bahu-membahu’ mereka agar angka kelulusan tersebut tercapai sesuai harapan.

Alih-alih kita diminta untuk percaya, sementara tidak sedikit siswa yang meragukan sendiri hasil ujian nasional mereka. Nah?

Kedua, Skripsi, mengapa? Bagi para pelaku ‘utak-atik’ mungkin akan segera langsung paham maksudnya. Biasanya dalam mengerjakan tugas akhir di perkuliahan, calon sarjana ditugaskan membuat karya tulis ilmiah yang dikenal dengan nama skripsi ini. Bagi yang menyelesaikan tugas akhirnya sampai terpaksa kurang makan dan mandi ini dengan ‘metode kuantitatif,’ dipastikan akan mendapatkan kesempatan untuk ‘utak-atik’ dengan alasan agar hipotesisnya diterima. Agar pembimbing dan pengujinya segera menerima hasil penelitiannya. Agar segera wisuda!

Alih – alih mahasiswa ditempa agar bersifat ilmiah -padahal ilmiah itu sendiri basisnya adalah kebenaran-, sementara mereka dibiarkan dengan canda – tawa meraih gelar akademiknya dengan data simsalabim. Nah?

Ketiga, ‘perang’ data. Sepertinya kisah perang data ini sangat familiar bagi masyarakat saat rilis quick count pilpres lalu. Benarkan? Kalau kita mengamati lagi, beberapa waktu lalu juga terjadi perang data di wilayah pertanian yang terkait dengan data pangan dan kebijakan impor. Kalaulah alasan ‘metode’ yang dikambing hitamkan, lantas menyebabkan terjadinya perbedaan hasil perhitungan yang signifikan. Maka dimana letak kepastian dari suatu ilmu ini?

Alih-alih masyarakat diminta percaya atas rilis-rilis survey pemerintah, sementara para elit di atas sana  sedang saling tidak percaya atas hasil olah data mereka. Nah?
Bisa jadi akibat doktrin ‘kuantitatif’ di sekolah dan perkuliahan, kadang ketika kita memberikan sebuah kesimpulan atas suatu fakta yang terjadi. Eh, malah kita diminta membeberkan ‘angka-angka’nya. Jika tidak ada ‘angka’ maka analisa tidak bisa diterima. Ekstrimnya beberapa pernyataan masih sering terdengar dari mereka yang pernah hidup dalam kultur akademik. Katanya kalau pendekatan kuantitatif lebih bisa diterima dari pendekatan kualitatif. Iyakah?

Padahal apapun pendekatan yang dilakukan, akan (mendekati) benar jika tanpa di ‘utak-atik.’ Sebaliknya se-njelimet apapun rumus yang digunakan, namun inputnya berupa data yang tidak jelas asal-usulnya, asalkan sesuai dengan keinginan. Inilah yang lebih membahayakan.  

Dan..akhirnya akan muncullah kebenaran di atas ketidakbenaran. Eh, maksudnya ketidakbenaran di atas kebenaran. Entahlah!  Namun bisa jadi, ini jugalah yang menyebabkan kekhawatiran seorang penulis yang dikenal dengan nama Mark Twain pernah menyatakan 1 dari 3 kebohongan di dunia ini adalah statistika.