Pilkada dan Hak Anak Kita


Tanggal 9 Desember 2015 telah menjadi rekaman sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Ini adalah tanggal untuk pertama kalinya Indonesia mengadakan prosesi demokrasi pemilihan kepala daerah serentak.

Meskipun tidak dilaksanakan seluruh daerah di Indonesia. Paling tidak pada tanggal tersebut lebih dari 200 daerah sedang melakukan unjuk ‘pertarungan’ merebut kursi empuk. Baik itu sebagai gubernur, bupati, atau walikota beserta wakilnya masing-masing.

Dan sekarang, gegap gempita Pilkada yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018  mulai bergentayangan… Setidaknya untuk Pilakada Serentak sesi 2 ini telah melibatkan 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Sebanyak 171 daerah tersebut kini sudah terpaparkan kampanye masing-masing calon pemimpin daerahnya...

Terlepas dari kaca mata demokrasi yang memandang ini adalah sebuah upaya menciptakan demokrasi yang paripurna. Semua berhak berpendapat, semua berhak memberikan hak suara, dan semua berhak beragumentasi tentang pilihan politiknya. Konon katanya inilah pesta demokrasi itu. Namun dibalik kemeriahan pesta ada satu hal yang sering luput akibat konsentrasi meraih kemenangan. Mereka adalah anak-anak kita. Generasi yang nantinya akan melanjutkan kehidupan demokrasi bangsa ini.

Dimana posisi anak dalam prosesi demokrasi kita saat ini? Berikut beberapa catatan yang dianggap cukup menghantarkan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, mungkin karena ketidakdewasan atau justru karena kedewasaan itu sendiri, pesta pemilihan langsung sering diwarnai dengan ‘kampanye hitam.’ Seakan kampanye hitam sudah menjadi tren.  

Brutalnya kampanye hitam yang secara kasat mata didefinisikan sebagai upaya menjatuhkan akan bergulir liar. Akhirnya sampailah ke setiap telinga yang mendengar. Sampailah ke setiap mata yang membaca.. Dan (bisa jadi) kita ikut menggulirkannya lagi.

Sadarkah kalau semua itu juga terekam sempurna oleh anak-anak kita? Pantaskah mereka disalahkan ketika mengartikulasikan demokrasi sebagai upaya saling hujat hanya untuk sebuah ambisi kekuasaan? Artikulasi yang sangat jauh  berbeda dari penjelasan di panggung teori sekolah mereka.

Kedua, persis seperti pemilihan presiden beberapa waktu lalu. Walaupun bukan sebagai kandidat, kesibukan demi kesibukan semakin terasa. Bisa jadi karena posisi sebagai panitia penyelenggara dengan segala macam bentuknya. Atau juga karena sebagai tim sukses. Dua kata terakhir ini juga banyak bentuknya. Ada yang dibentuk resmi oleh kandidat. Ada juga yang terbentuk dengan sendirinya akibat pilihan politik tadi. Dari sini berbagai kegiatan juga bermunculan. Pastinya kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.

Sadarkah kalau tanpa disadari aktifitas keseharian akan berubah dari biasanya? Masyarakat tidak hanya disibukkan oleh berbagai cerita  baru mengenai sosok kandidat. Akan tetapi juga disibukkan dengan menjadi partisipan dari setiap kegiatan yang diselenggarakan kandidat. Memang tidak bisa digeneralisir, tetapi apakah kesibukan demi kesibukan ini tidak berdampak langsung terhadap sang anak? 


Seruan Kontradiktif
Jika dibedah visi misi calon pemipin yang ada, secara tertulis kita pasti akan memberikan nilai sempurna. Kesempurnaan ini biasanya akan semakin terasa jika digelorakan dengan teriakan juru kampanyenya di atas podium. Hampir tidak sepatah katapun kita akan menemui sebuah keinginan yang negatif atau yang tidak baik. Semuanya adalah janji kebaikan, janji kesejahteraan dan janji kemudahan.

Tidak ada yang salah dengan janji itu semua. Tidak pantasnya adalah ketika apa yang diucapkan tidak mencerminkan apa yang selama ini dikerjakan. Salahnya adalah apa yang dijanjikan tidak direalisasikan ketika terpilih. Parahnya adalah menjadi penghambat kinerja calon yang  terpilih ketika ianya tidak terpilih.

Kekesalan masyarakat mungkin akan tertupi dengan kesibukan  sehari-hari mereka dalam memenuhi hajat hidupnya.

Hambatan dari lawan politik mungkin akan sirna dengan  hadirnya kesepakatan yang saling menguntungkan.

Tapi apakah tontonan gratis berupa saling serang di  pilkada yang berujung pada pecahnya tali persaudaran itu  bisa lenyap seketika diingatan anak-anak?

Sekali lagi mereka adalah generasi yang apik dalam mendengar, melihat, dan sekaligus meniru!

Maka jangan berpura cemas jika melihat begitu menjamurnya budaya bullying dikalangan anak sekolah. Walau itu anak SD atau TK sekalipun.

Jangan salahkan juga jika mereka membudayakan perilaku saling ungkapkan kejelekan teman sebagai bentuk permainan atau gurauan.

Bukan tidak mungkin ini semua akibat dari tayangan gratis yang mereka saksikan baik dilayar kaca ataupun secara langsung. Salah satunya adalah saat kita saling serang  sebagai upaya menjadi pemenang melalui arena panas ini: PILKADA.

Gawang Terakhir
Membicarakan anak dan Pilkada memang tidak terlalu seksi. Karena Pilkada itu sendiri telah seksi. Kalaupun ada itu hanya terselip dalam janji kampanye mengenai perihal pendidikan dan kesehatan gratis untuk anak. 

Padahal dalam waktu sekitar tiga periode pemerintahan lagi mereka akan menjadi pemilih pemula. Bahkan dalam waktu sekitar lima periode pemerintahan yang akan berlalu nantinya, merekalah yang akan bermain di panggung demokrasi ini. Nah, apa yang kita suntik sekarang itulah yang akan menjadi pandangannya dimasa datang.

Barangkali akibat semakin liberalnya demokrasi membuat kita tidak bisa berharap banyak agar mereka bisa  terselamatkan dari kekacauan etika. Ketika masyarakat melulu sibuk dengan saling menyudutkan antar kandindatnya. Masih ada gawang terakhir yang mampu memberikan pembelajaran demokrasi yang humanis, yaitu keluarga. Andaikan gawang terakhir ini bobol. Tidak dapat dibayangkan begitu seramnya masa depan bangsa kita. Masa depan yang akan diisi oleh anak-anak yang hari ini hidup dalam sinetron demokrasi yang minus etika.

Jadi, apakah hanya karena mereka belum mempunyai hak suara kemudian sengaja diabaikan keberadaanya dalam pentas demokrasi kita? Padahal Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989 disepakati anak juga mempunyai hak untuk memiliki peran dalam pembangunan.


Mari waspada!

***Artikel sudah diterbitkan di harian di Republika.co.id