oleh: SYAFBRANI
::::::: Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom OPINI tanggal 2 Oktober 2013 di media Tribun Jabar
::::::: Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom OPINI tanggal 2 Oktober 2013 di media Tribun Jabar
Usai
sudah konvensi UN yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional pada akhir bulan lalu. Acara yang berlangsung selama 2 hari itu (26-27 September) boleh dikatakan
tidak menghasilkan perubahan yang berarti. UN tetap dilaksanakan bahkan persentase
porsi kelulusan tidak ada perubahan sedikitpun. Formulasi 60:40 tetap dipakai
untuk pelaksanaan UN tahun depan. Wacana
yang digelontorkan bahwa konvensi akan mencari solusi terbaik antara sikap pro
dan kontra terhadap UN ternyata tidak terwujud. Konvensi berubah hanya menjadi
sekedar forum pembahasan teknis pelaksanaan UN.
Membaca
kenyataan ini kita bisa berkesimpulan ternyata UN memang tetap ingin
dilaksanakan oleh pemerintah –tentu melalui Kemendikbudnya. UN telah menjadi
agenda titipan penguasa yang tidak bisa seorangpun mampu menganulirnya, kecuali
sang penguasa berkehendak lain. Maka tidak salah kalau akhirnya kita
berkesimpulan lagi bahwa konvensi UN hanya upaya pemerintah melegalisasikan
pelaksanaan UN dan menutupi kekurangan pelaksanaan UN selama ini. Sehingga
secara tidak langsung masyarakat akan menganggap UN memang benar-benar masih diperlukan.
Benarkah
demikian? Sungguh kerdil proses pengambilan kebijakan yang demikian itu. Apalagi secara mayoritas masyarakat Indonesia
sudah sangat cerdas. Bahkan sebelum konvensi berlangsung dengan wacana ‘mencari
jalan keluar’, sudah banyak analisa yang menebak hasil konvensi tersebut. Hasil
yang tidak berpengaruh ada atau tidaknya konvensi. Padahal jika demikian
keinginan pemerintah. Seharusnya tidak perlu bersusah payah melaksanakan
konvensi. Apalagi untuk memperkuatkan ‘hasratnya’, telah dilakukan prakonvensi
di beberapa daerah. Anggaranpun terkuras, harapan tergilas.
Dimanakah Letak
Keadilan Itu?
Sederhana
langkahnya jika memang pemerintah ingin mengetahui sejauh mana pandangan masyarakat terutama para guru dan
siswa terhadap UN. Lakukankan saja jajak pendapat. Maka akan terbacalah
hasilnya terhadap keberlangsungan hidup UN. Tetapi mengapa jalan konvensi yang
dilakukan? Ditambah lagi konvensi yang sengaja disetting pesertanya supaya
homogen. Jawabannya singkat saja. Karena pemerintah sudah tahu bahwa secara
mayoritas UN tidak disepakai sebagai alat penentu kelulusan siswa. Apalagi di tengah ketimpangan pembangunan
pendidikan yang masih besar. Nah,
disinilah letak kampanye terbuka tentang ketidakadilan itu.
Dimanakah
letak keadilan itu? Bukankah pemerintah sudah menyadari bahwa dengan UN sebagai
penenetu kelulusan siswa akan terbentuk ketidakadilan kompetisi. Untuk kesekian
kalinya dikatakan, bagaimana mungkin memberikan soal yang sama antara siswa yang
diajari oleh keberadan guru yang minim serta fasilitas seadanya dengan siswa
yang mengenyam label sekolah terkemuka? Tanpa perlu dites, hasil hitungan awampun
sudah dapat dipastikan mana yang nilainya tinggi, mana yang rendah.
Dimanakah
letak keadilan itu? Di era yang serba terakses ini, bukan sebuah berita dongeng
jika masih ada sekolah yang jumlah
gurunya masih sangat terbatas. Malah bukan hanya jumlah gurunya saja, akan
tetapi gaji gurunya juga terbatas. Bukan sebuah cerita khayalan juga kalau di
negeri ini masih ada sekolah yang kekurangan kelas sehingga berdampak pada
kekurangan jam pelajarannya. Akibat karena harus berbagi menggunakan ruang
kelas.
Dimanakah
letak keadilan itu? Akan ada perbedaan pandangan kepada sekolah yang mampu
meluluskan siswanya secara sempurna dengan sekolah yang ada siswanya tidak
lulus. Parahnya lagi banyak pemimpin daerah menjadikan hasil UN sebagai tolak
ukur keberhasilan pendidikan daerahnya. Akibatnya sekolah yang banyak tidak
meluluskan siswa dianggap mencoreng nama baik pendidikan daerahnya. Hukuman
menanti.
Dimanakah
letak keadilan itu? Akibat fatal dari ketidakadilan yang ada adalah memunculkan
sebuah sikap dan praktik kecurangan. Sehingga tidak salah kalau sebuah
penelitian menunjukkan hanya sekitar 25% pelaksanaan UN selama ini berlangsung
jujur. Sisanya? Sayangnya apresiasi yang diberikan selalu berorientasi pada
nilai (kuantitatif) semata, baik sekolah ataupun siswanya. Tanpa pernah
mengevaluasi dari mana nilai itu
didapatkan.
Dimanakah
letak keadilan itu? Guru dengan pelajaran apapun yang diampunya mempunyai tugas
yang sama. Namun satu-persatu guru yang
mata pelajarannya tidak di-UNkan harus rela digusur demi kelulusan peserta
didiknya. Lebih parah lagi, andaikan mata pelajarannya tidak digusurpun, hasrat
siswa untuk mengikuti pelajaran yang tidak di-UN akan memudar. Karena tidak
akan berdampak pada kelulusannya nanti.
Dan
dimanakah letak keadilan itu? Siswa
memang tidak bisa membangkang adanya kebijakan kelulusan dengan standar
UN. Mereka akhirnya terpaksa atau tidak harus belajar atau mencari jalan keluar
agar menyandang predikat lulus. Namun sampai dimana harga nilai kelulusan
mereka? Toh jika melanjutkan ke perguruan tinggi, hampir secara mayoritas nilai
UN mereka tidak berguna sama sekali.
Menanti Suara Sang Guru
Pemerintah
memang semakin menunjukan kegalauannya setelah pelaksanaan UN 2013 tadi begitu
amburadul. Mungkin tidak ada jalan lain bagi mereka selain melakukan serangan
terhadap opini publik dengan melakukan konvensi UN. Kegalauan ini semakin
terlihat jika kita sandingkan fokus implementasi Kurikulum 2013 yang sempat
dijadikan ‘master project’ Kemdikbud.
Kurikulum 2013 yang ‘katanya’ standar
proses dan penilaiannya berubah itu hanya benar-benar menjadi ‘katanya’ saja. Karena memang UN tetap
dijadikan alat evaluasi penenentu kelulusan siswa. Sangat tidak konsisten
bukan?
Barangkali
kita memang lelah melihat situasi ini. Kontradiksi berkepanjangan paling tidak
dimulai tahun 2003 saat makhluk bernama UN itu menjelma. Tapi kelelahan itu
tidaklah harus dijawab dengan sekedar berdiam diri lantas tidak ambil peduli.
Terutama kepada para guru yang menjadi eksekutor kebijakan pemerintah yang
bernama UN. Hampir 3 juta guru yang ada di Republik ini, baik yang berada di
pelosok desa ataupun di ibukota negara. Setidaknya masih bisa untuk bersuara. Jika
tidak mampu menolak kebijakannya, paling tidak tetap dengan menjalankan fungsi
dan tugas dengan benar. Ada atau tidak adanya UN, mendidik tetaplah menjadi
kewajiban, ketauladan tetaplah terjaga, dan kejujuran adalah harga mati yang
harus diperjuangkan untuk siswa.
Apalagi
ketika sang guru mampu bersuara, meskipun tidak lantang dengan pengeras suara
bak orator di atas podium. Cukup dengan bersuara lantang di hadapan siswanya
bahwa urusan sekolah bukan sekedar ijazah dan kelulusan bukan sekedar UN. Setidaknya
dengan masih bersuaranya sang guru, berarti nafas pendidikan itu masih ada.
Sebaliknya, ketika guru sudah bungkam, denyut nadi pendidikan otomatis akan
terhenti. Selanjutnya kita hanya bisa berucap dengan kesenduan “Selamat jalan pendidikan Indonesia... “