Antara Teknologi dan Pandemi, Guru Tetaplah Kunci?

guru tetaplah koentji

Sebelum hadirnya pandemi covid-19, diskursus tentang disrupsi sudah menyentuh hampir semua segmen. Dunia pendidikan juga demikian. Proses pembelajaran tanpa sadar dipacu untuk terus melakukan adaptasi dengan perkembangan teknologi. Sejak saat itu, tanpa sadar juga satu persatu para guru -- yang saya kenal -- mulai rajin memposting aktivitas pembelajarannya yang dianggap akrab dengan teknologi.

Tema terkait disrupsi yang juga tidak kalah seru adalah mengenai prediksi akan hilangnya berbagai profesi. Prediksi ini satu persatu mulai terbukti. Bukan hanya otot, tapi kerja otakpun akan tergantikan dengan para robot atau mesin canggih. Biangnya tidak lain adalah perkembangan teknologi. Walau hampir tidak ditemukan sumber yang menyatakan bahwa profesi guru masuk dalam prediksi tersebut.

Namun siapa yang tahu skenario masa depan? Persis sebagaimana ketika virus corona itu hadir yang sesaat kemudian membisukan suasa sekolah dan sekaligus memaksakan seluruh guru untuk ‘dirumahkan’. Nah, pada saat ini jugalah. Suka atau tidak, penggunaan teknologi kembali menjadi kewajiban. Kitapun kemudian familiar dengan beberapa isitilah yang berkaitan dengan pembelajaran daring. 

Pertanyaannya kemudian apakah di tengah kondisi yang demikian ini masih ada guru yang tidak menggunakan model pembelajaran daring? Jawabannya tentu ada. Alasannya? Dipastikan bukan karena itu pilihan. Namun justru karena tidak adanya pilihan lain akibat dari hadirnya berbagai kendala. 

Mayoritas kendala itu lagi-lagi terkait dengan teknologi itu sendiri. Sebut saja seperti susah sinyal, perangkat komputer atau gadget yang tidak mendukung dan minimnya akses internet. Meskipun sebenarnya pemerintah telah meluncurkan berbagai program khusus diantaranya adalah menghadirkan bantuan kuota data internet itu sendiri.

Selain melakukan pembelajaran daring. Fenomena pembelajaran di era pandemi juga disiasati para guru dengan beberapa upaya lain. Selain itu, juga mucul berbagai aktivitas yang tak seperti biasa. Misalnya, ada yang belajar di pinggir jalan karena hanya di posisi itu sinyalnya bersahabat.  Anak belajar dengan hanya memakai baju seragam, sementara celananya bebas. Jika harus belajar dengan on camera, toh yang disorot hanya bagian muka dan sekitarnya saja.

Teknologi, ditambah dengan status pandemi ini --- memang telah bertransformasi menjadi kewajiban untuk digunakan dalam pembelajaran. Bukan lagi pilihan seperti pada satu persatu para guru – yang kebetulan saya kenal – tadi.

Seiring dengan itu, pembelajaran kini tidak hanya menjadi fleksibel namun ritme dan waktunyapun bisa semakin dipersingkat. Selanjutnya juga didukung dengan sumber-sumber belajar dan bahan ajarpun semakin melimpah. Serba menjadi mudah. Pada titik inilah sebenarnya ‘ujian’ tambahan bagi sang guru di mulai.

Serba mudah. Semua serba klik. Transaksi tugas cukup melalui aplikasi seperti WA Grup. Jika tidak mau bersusah payah membuat konten pembelajaran sendiri, para guru cukup klik kata kunci di layar laptopnya yang telah terkoneksi jaringan internet. Beberapa detik kemudian bahan ajarpun tersajikan. Tinggal dipilih kemudian share ke siswanya. Siswapun demikian. Cukup klik kata kunci di layar gadgetnya. Muncullah jawaban dari pertanyaan setiap tugasnya itu. Bahkan ada jalur singkat lagi bagi sang siswa, yaitu menunggu jawaban yang dibagikan temannya. Jawaban telah didapatkan. Salin dan klik. Terkirimlah ke gurunya. Penilaian. Pembelajaran selesai. 

Kita semua yakin. Tidak semua model pembelajaran serba klik dan share ini dijalankan oleh para guru dan siswa. Namun, harus diakui saat ini dunia telah mentakdirkan kita hidup dalam persinggungan dua era. Era keterbatasan akibat pandemi sekaligus era kemudahan akibat majunya teknologi. 

Tidak tahu sampai kapan persinggungan dua era ini akan berakhir. Sementara itu, rencana memulai Pembelajaran Tatap Muka (PTM) masih belum terlihat jelas kesiapannya. Kalaupun sendainya ‘terpaksa’ dimulai, pasti akan diiringi dengan adaptasi kebiasaan baru. Salah satunya tentu dengan menjaga jarak. Mungkinkah pembelajaran tatap muka bisa mengoptimalkan jaga jarak? Untuk tahap awal tentu akan terasa sangat sulit sekali. Ada hukum pedagogik yang dilanggar. Masa iya, gurunya hanya terpaku atau bergerak di area depan kelas saja, sementara siswanya duduk saling berjauhan. 

Akhirnya, bisa jadi sebagai jalan untuk mengoptimalkan kondisi ini adalah kembali dengan memanfaatkan teknologi. Jika tidak mau bersusah payah membuat konten pembelajaran sendiri, para guru cukup klik folder bahan ajar yang telah dikoleksi. Tinggal dipilih kemudian tampilkan ke layar proyektor. Siswapun bisa langsung menikmatinya. Pembelajaran selesai.

Hampir setahun sudah pandemi bertahan di sini. Waktu yang lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai alasan membentuk kebiasaan diri. Kebiasaan baru. Kini hampir semua guru dan siswa sudah akrab dengan model pembelajaran daring. Walau terpaksa, semua keluarga akhirnya juga mulai menerima anaknya berlama-lama di depan gadget. Melanggar beberapa teori ‘screen time’ yang dulu sering beredar. 

Namun, dengan perjalanan waktu serta semua ‘kebiasaan baru’ yang telah dilakoni tidak serta merta mengikis peran sang guru. Jangan sampai adanya skema pembelajaran yang semakin mengkiblatkan teknologi menyebabkan peran dan bahkan profesi guru semakin tidak dibutuhkan.

Bukankah beberapa minggu setelah dirinya dilantik menjadi Mendikbud, Mas Menteri pernah mengingatkan bahwa “Teknologi itu hanya tool. Hanya suatu metode, bukan segalanya...”

Terlepas apakah pernyataan ini juga sebagai sinyal dari alam bawah sadarnya tentang nasib dan peran guru beberapa tahun lagi? Pastinya, secanggih apapun teknologi (pembelajaran) yang berkembang. Seharusnya, guru tetaplah kunci.

***Tulisan terbit dengan judul yang sama di metrojambi.com,16 Desember 2020