Toilet dan Keamanan Pembelajaran (Tatap Muka)

Toilet sekolah (harus) mewah, kenapa tidak? 

Toilet? Benar sekali. Tapi tulisan ini bukan ingin membahas tentang anggaran toilet sekolah yang sempat viral itu.

Paska hadirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri terkait penyelenggaraan pembelajaran tahun 2021. Sampai saat ini, pro – kontra mengenai kesiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) masih mencuat. 

Wajar saja sebenarnya beda pandangan ini terus bergulir. Apalagi libur sekolah telah dimulai. Itu artinya tidak lama lagi aktivitas belajar - mengajar hadir kembali. Sementara penambahan kasus Covid-19 semakin meninggi.

Merujuk catatan pemerintah menjelang akhir tahun ini, dari 151.696 satuan pendidikan, hanya 13 persennya yang telah melakukan PTM. Di satu sisi, mayoritas sekolah yang menerapkan Belajar dari Rumah juga tidak terlepas dari berbagai kendala dan drama baru. Kita semua tahu dan bahkan merasakannya sendiri.

Barangkali, SKB terbaru itu ingin menjawab  berbagai kendala tersebut. Walaupun konten kebijakannya secara substansial tidak jauh berbeda dengan SKB sebelumnya. Karena poin utamanya tetap ‘terserah’. Kewenangan dikembalikan kepada pemerintah daerah. 

Terlepas apakah ada daerah yang sudah siap atau masih galau melakukan PTM ini. Mari sejenak kita ‘kembali’ ke toilet. Toilet? Benar sekali.

Toilet sekolah selama ini sepertinya selalu luput dari pembahasan. Ketika sempat viralpun yang dibahas bukan toiletnya, tapi lebih dominan ke anggarannya. Jika mencermati SKB yang baru dengan edisi sebelumnya, ada perubahan signifikan terkait pentingnya toilet dalam rangka kesiapan menyelenggarakan PTM. Jika pada SKB yang terbit pada 7 Agustus 2020, redaksi terkait ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan mengharuskan adanya  ‘toilet bersih’. Namun kemudian di edisi terbaru yang terbit pada 20 November silam itu syarat toiletnya naik tingkat menjadi ‘bersih dan layak.”

Sampai di titik ini sebenarnya kesiapan sekolah bisa terjawab. Pemerintah daerah tidak perlu membuat jadwal zoom meeting atau melakukan kajian lebih mendalam. Cukup lakukan langkah sederhana. Singkat. Buka data satuan pendidikan di daerahnya. Telusuri kolom rasio WC dengan murid di setiap sekolah. Apakah sudah ketemu?

Logika sederhananya perhatikan dulu apakah rasio tersebut layak atau tidak. Jika tidak, secara otomatis PTM beresiko untuk dilaksanakan. Jika sudah layak, barulah bisa dilakukan intervensi agar kebersihannya selalu terjaga. Andai sudah memenuhi dua unsur tersebut. Barulah pemerintah daerah bisa melakukan penyesuaian dengan kebijakan lainnya.

Bagaimana jika tidak layak sekaligus tidak bersih? Inilah masalah pendidikan yang jarang mendapat perhatian. Jarang menjadi tema sentral setiap diskusi. Jarang menjadi refleksi pada setiap peringatan hari-hari besar yang terkait dengan pendidikan. Lagi-lagi, kabar viral tentang toilet yang katanya mahal itu menjadi indikasi semua ini. 

Permendiknas mengenai sarana dan prasarana sekolah telah mengatur bahwa minimal tersedia 1 unit toilet untuk 60 peserta didik pria dan 50 peserta didik wanita. Bahkan sumber lain menyebutkan rasio idealnya 1:40 untuk toilet pria dan 1: 25 untuk toilet wanita. Selain harus memenuhi rasio, penggunaan toilet harus dipisahkan berdasarkan jenis kelamin siswa.

Pertanyaannya apakah setiap sekolah sudah memenuhi rasio ini? Sesekali, ketika berkunjung ke sekolah penulis meminta ‘izin’ untuk pergi ke toilet. Walhasil sang guru biasanya langsung mengarahkan ke toilet yang berlabel ‘khusus tamu’ atau ‘khusus guru.’ Cara melayani sekolah tersebut ada benarnya. Pelayanan terlihat sopan dan optimal ketika tamu ditempatkan pada toilet yang spesial. Layak dan bersih.

Namun hampir selalu, ketika berkunjung ke sekolah, penulis diam-diam menyempatkan diri untuk mampir ke toilet siswanya. Walhasil, terlihatlah perbedaan yang kontras antara toilet siswa dan toilet guru/tamu tadi. Bahkan bukan tidak jarang kunjungan ke toilet itu dilakukan dalam rangka kondisi yang sudah 'kebelet.' Tapi aksi untuk mengakhiri 'kebelet' itu kadang harus segera diurungkan. Alasannya pasti sudah bisa ditebak. Tidak bersih. Tidak layak.

Lebih lanjut, peraturan mengenai rasio tadi juga menegaskan secara rinci apa saja sarana pelengkap toilet. Diantaranya adalah harus terdapat gayung, tempat sampah, gantungan baju dan tempat penampungan air minum yang volumenya 200 liter. Tentulah disini maksudnya tempat penampungan yang harus ada airnya dengan volume minimal itu.

Kita yakin bahwa semua toilet sekolah sudah memiliki bak penampungan air. Hanya saja belum bisa dipastikan apakah airnya ada. Jika airnya tidak ada, maka bayangkanlah ketika ada satu siswa SD yang ingin buang air kecil kemudian menemukan toilet yang tidak ada air di baknya. Sudah pasti, naluri yang tidak tertahankan itu akan berkata: selesaikan saja hajatnya dulu. Begitulah selanjutnya ketika toilet itu didatangi siswa kedua, ketiga dan seterusnya. Kemudian yang terjadi hanyalah air pipis disirami air pipis. Terbayang sudah aromanya.

Kasus sederhana yang juga sering terjadi adalah ada toiletnya, ada baknya, ada airnya. Namun tidak ada gayungnya. Bagaimana ceritanya kemudian? Maka bayangkan lagi ketika ada satu siswa SD yang ingin buang air kecil. Kemudian menemukan toilet dengan kondisi demikian. Nalurinya tetap akan berkata: selesaikan saja hajatnya dulu. Begitu juga untuk siswa yang ‘berkunjung’ selanjutnya. 

Hanya dalam kasus ini, kemungkinan kejadiannya ada tiga. Pergi mencari gayung kemudian menyirami toilet. Pergi dan tidak kembali lagi. Mengobok-obok air di bak dengan tangannya. Terbayang sudahkan kondisinya.

Belum lagi ketika kita bicara berapa banyak toilet sekolah yang tidak ada tempat sampahnya. Toilet yang air di baknya jarang diganti. Toilet yang dindingnya menyeramkan. Toilet yang ventilasi udaranya kurang segar. Toilet yang pintunya tidak bisa ditutup. Toilet yang... ah, kalau diuraikan lebih lanjut akan banyak catatan kisah sedih tentang toilet sekolah ini. 

Jadi, jika kembali ke pokok permasalahan apakah sekolah sudah siap untuk melakukan PTM. Jawabannya sederhana, lihat saja toiletnya. Jika belum memenuhi dua syarat tadi. Sebaiknya jangan coba-coba memberanikan diri untuk tetap melakukan aktivitas pembelajaran di sekolah. 

Toh, masalah kebersihan dan kelayakan toilet saja belum bisa dituntaskan. Bahkan saat ada pembangunan toiletpun,  kelayakan anggarannya masih saja menyisakan perdebatan. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa bicara tentang kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan nantinya --- apalagi bicara tentang masa depan generasi bangsa itu?

Saat ini, sebaiknya kita sepakati saja: toilet adalah koentji!


***Tulisan terbit dengan judul yang sama di jabarnews, 28 Desember 2020