Pada titik ini semakin jelaslah...
SATU: UN telah mengubah otoritas guru sebagai pendidik, karena UN hanyalah kebijakan para penguasa, sehingga yang di bawah kekuasaan merasa tak beradaya. Maka UN pun menjelma sebagai sebuah sandiwara. Hampir mayoritas berhasrat lulus semua, laporan kelulusan hampir sempurna, meski kadang sang siswa tidak percaya atas angka prestesius yang didapatinya.
DUA: UN telah mengubah evaluasi pembelajaran menjadi spekulasi penilaian. Spekulasi ini bukan hanya dimulai ketika bel pelaksanaan UN berbunyi. Jauh sebelumnya sudah ada upaya ‘menyelamatkan' kelulusan siswa. KKM menjelma sebagai makhluk yang 'dipermainkan.'
TIGA: UN telah mengubah mutualisme konstruktif yang seharusnya dibangun antara sekolah dengan orang tua siswa menjadi sebuah hubungan kamuflase ‘sekolah aman, orang tua senang'. Orang tua tak peduli, yang penting anaknya mendapat nilai tinggi. Malah buat syukuran atas nama kelulusan.
EMPAT: UN telah mengubah tujuan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sikap, sehingga pilar-pilar karakter yang sudah menjadi perbincangan hangat harus diarsipkan untuk sementara ketika UN semakin dekat menghampiri. Hal ini mengakibatkan pendidikan holistik hanya berjibaku dalam tataran seminar dan di atas kertas saja ketika UN bicara, sehingga tidak sedikit mata pelajaran--otomatis guru yang mengajarnya--dipandang sebelah mata, bahkan tidak dipandang sama sekali!
LIMA: UN telah mengubah hasrat pendidikan, UN hanya menjadi rahim bagi manusia tersekolah, bukan manusia terdidik. Akhirnya pendidikan akan semakin sakit. Keampuhan intelektual semakin sulit disejajarkan dengan standar moral. Gelar sudah tidak lagi menjadi acuan peradaban. Kebiadaban justru muncul dari rahim institusi pendidikan.
Lantas, apakah kita akan membiarkan gelombang tranversal negatif UN ini semakin meluas? Sebelum terlambat, mari segera mengambil sikap. Sekarang juga!