Oktober lalu, salah mantan Wakil Presiden kita mengungkapkan kalau saat ini ada fenomena “Pemilu Sayang Anak.” Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Tanpa perlu memperhatikan dengan seksama, publik juga sudah tahu kalau ada para pemimpin (atau mantan pemimpin) senantiasa berjibaku mendukung anaknya untuk maju dalam kontestasi politik. Mulai dari pencapresan — tepatnya pencawapresan, sampai pada dukung mendukung untuk menjadi caleg, cagub, cabup atau cawako.
Fenomena ini tentu tidak salah. Orang tua mana yang tidak ingin agar anaknya bisa melanjutkan kuasanya? Apalagi dengan kekuasaan yang dimilikinya itu telah terbukti bisa memberikan manfaat yang sangat banyak. Mulai untuk pribadinya, keluarganya, para pendukungnya dan terakhir kepada rakyat atau masyarakatnya.
Nah, untuk poin yang terakhir ini kadang selalu menyisakan tanda tanya. Apa benar rakyat atau masyarakat merasakan manfaatnya?
Sekali lagi, fenomena ini sangat tidak salah. Orang tua mana yang tidak ingin mengamankan posisi anaknya agar masa depannya bisa terjamin?
Jangankan untuk kursi kekuasaan yang fantastis. Di instansi kerja, baik negeri maupun swasta, banyak orang tua yang kadang menjadi ‘katalisator’ sehingga karir anaknya bisa melesat.
Bahkan sampai pada titiknya, kita sepertinya sepakat kalau syarat masuk kerja atau mendapatkan karir terbaik itu bukan sekedar dari prestasi atau kinerja semata. Akan tetapi semua bisa diraih jika ada ‘orang dalam’ yang kadang diantaranya adalah orang tua atau sahabat dari orang tua.
Tulisan ini tentunya tidak dilanjutkan untuk membahas tagline ‘Pemilu Sayang Anak’ yang sedang menjadi perbincangan. Jika kita lanjutkan, tentu tidak akan ada ujungnya.
Apalagi ketika perdebatan itu dihadapkan dengan faktor kekuasaan. Kekuasaanlah yang akhirnya menjadi penentu untuk mendefinisikan apa yang menjadi perdebatan itu. Bahkan kekuasaan itu juga yang bisa membuat teriak-teriak di tubuh masyarakat menjadi sepi sekaligus berkobar kembali.
Akan tetapi, mumpung masih menjadi perbincangan, maka ada baiknya kita kembali membicarakan ‘Pemilu Sayang Anak’ dalam konteks anak-anak yang sebenarnya. Sembari para pemimpin atau mantan pemimpin tadi fokus menyiapkan anak-anak mereka untuk berlaga memperebutkan kursi kekuasaan. Sembari pula bersama kita suarakan sekaligus mengingatkan bahwa di balik pentingnya pesta demokrasi, ada
Anak-anak haruslah mendapatkan edukasi tentang politik yang beradab. Jangan kemudian hanya karena perbedaan pilihan, kita dengan gamblang mempertontonkan perbedaan itu sebagai hitam-putih yang tidak bisa dipersatukan. Padahal, di balik wajahnya polosnya itu, di sekolahnya mereka sedang diajarkan tentang menghargai perbedaan.
Anak-anak juga harus mendapatkan pelajaran bahwa suksesi kepemimpinan tidak selalu dikorelasikan dengan adagium “tidak ada musuh atau teman yang abadi.” Bukankah saat ini mereka sedang didik untuk menjalin persahabatan dengan teman-temannya tanpa harus melihat perbedaan status sosial?
Selain itu, pelaksanaan kampanye dari pemilu ke pemilu atau dari pilkada ke pilkada yang selalu menyisakan pelanggaran dalam wujud pelibatan anak-anak haruslah jangan terulang lagi. Jangan sampai adanya aturan yang memperbolehkan kampanye di sekolah dijadikan momentum untuk memanfaatkan keberadaan anak-anak — dimana sasaran sebenarnya adalah para orang tua mereka yang memiliki hak suara. Parahnya lagi, jika ada yang secara gamblang memanfaatkan anak-anak sebagai ‘juru kampanye.’
Fase kedua adalah setelah pesta demokrasi itu berlangsung. Ketika periode kepemimpinan itu bertambah, baik dengan wajah lama maupun baru. Anak-anak sepatutnya diperlihatkan tentang bagaimana integritas diri dalam menepati janji-janji.
Jangan kemudian hasil dari pemilu ke pemilu atau dari pilkada ke pilkada tidak memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan mereka. Jangankan mendapatkan dampak baik, kadang yang terjadi malah sebaliknya. Mereka memandang bahwa sejatinya pergantian kepemimpinan itu sama saja, bahkan diantaranya malah menambah beban derita. Andai pandangan seperti ini hadir dan dirasakannya, maka estafet perpolitikan diyakini tidak akan pernah membaik.
Misalkan, anak - anak itu tidak akan paham tentang arti sebuah investasi dalam pembangunan. Mereka hanya tahu kalau hari-hari mereka selama ini telah hidup tenang dan riang di tempat tinggalnya. Mereka lahir dan tumbuh besar di sana, tapi ketika secara tiba-tiba di era kepemimpinan yang baru mereka harus menerima nasib sebagai korban penggusuran. Apa yang mereka simpulkan?
Misalkan lagi, anak-anak itu tidak terlalu paham tentang gejolak ekonomi dan politik dunia, yang mereka tahu dihadapan mereka saat ini adalah informasi dari orang tuanya “Nak, harga beras naik lagi…” Padahal mereka ingat, saat pelaksanaan kampanye lalu, para calon-calon itu memajangkan spanduknya dengan janji-janji siap mensejahterakan rakyatnya.
Akhirnya kita semua berharap semoga pelaksanaan suksesi di tahun 2024 ini bisa memberikan perubahan yang berarti bagi keberlangsungan hidup anak-anak Indonesia. Keberlangsungan mereka untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, asupan makanan yang bergizi, pendidikan yang berkualitas, tempat-tempat bermain yang menyenangkan, serta tontonan-tontonan yang bernilai guna sesuai dengan perkembangan usianya.
Memang, sudah sepatutnya secara bersama kita harus mendeklarasikan bahwa Pemilu 2024 harus menjadi Pemilu Sayang Anak. Sayang anak yang sesungguhnya.
Bukan sekedar sayang anak yang hanya terhiasi dalam janji-janji manis politik. Kelak, ketika terpilih urusan mereka selalu dinomor buncitkan. Karena, nomor pertamanya biasa diisi dengan bagi-bagi jatah dalam kekuasaan.
Bukan sekedar sayang anak hanya sekedar gimmick semata saat pentas kampanye mulai digencarkan. Anak-anak hanya menjadi alat untuk pemikat suara. Kelak, ketika pesta demokrasi usai, usai juga kisah ‘kedekatan’ mereka dengan tokoh-tokoh yang tadi sempat akrab dengannya.
Terakhir, bukan juga sekedar sayang anak dalam artian bahwa kontestannya adalah anak-anak yang didorong oleh tokoh-tokoh politik agar bisa maju dan menang dalam perhelatan Pemilu 2024 — dimana tokoh-tokoh politik itu kebetulan adalah orang tuanya masing-masing.
sumber gambar: www.freepik.com
sumber tulisan: kumparan.com