(Akan) Ada 'Sesuatu' di Kurikulum Baru....


Pengantar Singkat:
Tulisan ini dibuat jauh sebelum Kurikulum 2013 diterapkan. Sekarang atas kemauan keras Pemerintah -akhirnya Kurikulum 2013pun diberlakukan... Ya mau nggak mau, mereka memang harus memaksa untuk memberlakukan, karena dari peluncuran namanya saja sudah pake isyarat '2013'.... Tulisan berikut paling tidak membuka sedikit cernaan emosi kita agar tidak terjebak dengan praktik-praktik seremonial saja, sehingga yang sebenarnya prioritas terlupakan... Selamat Membaca!

Berikut Tulisannya:
Sejak dikumandangkan sampai sekarang, saia sudah sangat tidak tertarik dihadirkannya kurikulum baru tersebut. Bahkan semakin mereka menjelaskan, semakin saya mengakumulasikan ketidaktertarikan saia itu pada sebuah kata: TOLAK! 

Kemudian… ketika sebuah kata itu coba saia publikasikan. Banyak berdatangan ucapan keprihatinan dan dukungan dari berbagai pihak dan tokoh. Baik melalui media maupun yang bertatapan langsung. Eitss…terlalu berlebihan ya? Saiakan bukan TERSANGKA, hehe…. Oke, intinya beberapa teman, terutama mereka yang berprofesi sebagai guru mempertanyakan, kenapa harus ditolak? Saia sangat mengerti mengapa pertanyaan ini mereka lontarkan. Tentu karena merekalah orang yang akan merasakan dampak langsung dengan perubahan kurikulum tersebut. 

Oleh karena itu, dengan mencoba bertutur melalui bahasa sederhana. Setuju atau tidaknya, saia kembalikan kepada diri kita masing-masing. Setidaknya, kita tidak serta merta selalu terhipnotis oleh istilah ‘BARU’…. Dan terlalu cepat berikrar ‘SETUJU’… Gitu. 

Begini…
Fantastis memang jika membicarakan kurikulum baru di negeri ini. Bayangkan saja, sejak lahir hingga tulisan ini ditulis, saia sudah melewati 5 kali perubahan kurikulum. Nyaris 6 jika ditambah dengan kurikulum 2013 yang sekarang sedang digencarkan oleh Menteri yang bersangkutan. Pastinya sang Menteri akan memaparkan kesan ‘sesuatu’ dari niatannya menghadirkan kurikulum baru ini. 

Tentunya ‘sesuatu’ itu berkisar dari alasan peningkatan kualitas pendidikan, agar arah pendidikan makin jelas, agar pendidikan kita semakin dihargai, agar guru yang mengajar lebih bagus, agar prestasi siswa lebih meninggi, dan agar-agar lainnya (bukan sejenis NutriJell) yang semuanya berkonotasi dengan sebuah kalimat: Agar menjadi lebih baik.

Jika saia mendengar itu dengan tatapan yang membahana apalagi ditambah dengan mulut yang mangap. Pasti dengan cepat kilat saia berkesimpulan, Pak Menteri dengan jajarannya ini memang WOW. Bisa jadi saia harus sampai guling-guling 7 kali dan bilang WOW lagi. Tapi untung, saia bukan tipe yang terlalu menatap dengan membahana, apalagi sambil ekspresi mulut yang mangap, jauhhh sekali. Justru paparan ‘sesuatu’ yang dipaparkannya dengan gencar bak pasukan gerilyawan membuat saya juta berpikir ‘sesuatu’ yang lain.
Oke, baiklah. Saia tidak akan menguraikan ‘sesuatu’ versi mereka yang sudah sering kita dengar melalu televisi, koran, radio, bahkan dari cerita mulut ke mulut. Bahkan kita bisa jadi hafal kata kunci yang digunakannya sebagai proses marketing kurikulum baru ini. 

Langsung saja. ‘sesuatu’ yang lain dan menjadi pikiran saia ini tidak bisa saia simpan sendiri. Harus saia uraikan dan ceritakan. Baiklah (lagi). ‘Sesuatu’ yang pertama: Pak Menteri bersama timnya selalu sering blusukan ke berbagai daerah sejalan niatannya untuk memberikan kampanye dari visinya: kurikulum baru. Sungguh terlalukan? Hanya karena untuk mengganti kurikulum dan hanya untuk memastikan agar masyarakarat menilai bahwa kurikulumnya itu diterima khalayak banyak.

Padahal, selama ini pernahkah mereka segencar ini? Blusukan itu haruslah diutamakan untuk meninjau sekolah-sekolah yang sekarang sedang tertatih untuk bertahan ditengah beragam kekurangan. Harusnya blusukannya digencarkan sebelum wacana kurikulum itu hadir. Bukan kebalik, blusukan hanya karena ingin menguatkan wacananya agar sesegera mungkin menjadi legal. 

Apalagi, kegencaran ini diperkuat dengan alasan untuk menyelamatkan pendidikan bangsa. Seolah-olah kalau tidak begerak dan berganti dengan waktu secepat-cepatnya, pendidikan kita akan kiamat. Sungguh terlalukan? Padahal sebelumnya pemerintah juga gentar melakukan edukasi dalam pembentukan karakter. Alih-alih bicara karakter, eh sekarang malah satuan pendidikan akan dipersibukkan untuk menjalankan kurikulum yang baru. Sementara, bias ‘penafsiran’ pembentukan karakter di sekolah belum bisa diselesaikan. 

Lagi-lagi, saia merasa beruntung tidak memandang dengan tatapan membahana dan mulut yang mangap tadi. Sehingga dengan perspektif pikiran saia dan tentunya atas dasar fakta ilmiah dari sejarah perubahan kurikulum yang ada. Saia justru tidak berminat untuk menyatakan WOW itu, apalagi sampai muter-muter memakai baling-baling bambunya Doraemon. Justru saia berpikir apakah mereka tidak takut untuk dicamkan sebagai PHP: Pemberi Harapan Palsu! 

‘Sesuatu’ yang kedua. Berapa banyak anggaran pendidikan yang habis demi mengasilkan kurikulum baru ini. Belum lagi ditambah biaya blusukan tadi. Dan saiapun yakin, sebenarnya tidak ada sesuatu yang begitu baru. Hanya karena dipromosikan baru, jadilah ia baru. Siapa yang untung dengan kurikulum baru? Dunia pendidikan yang mana? Pastinya yang untung duluan yaitu: pastinya pertama mereka yang mendapatkan anggaran perjalanan dinas sekaligus biaya upahnya sebagai pemateri. Kedua adalah percetakan buku-buku baru itu. Lantas untung bagi perubahan kualitas pendidikan atas pelaksanaan kurikulum baru kapan? Saia yakin belum selesai kita menemukan jawaban ini, format pendidikan baru (bisa jadi atas nama kurikulum baru) akan muncul lagi. Bukankah sungguh terlalu? 

‘Sesuatu’ yang ketiga ini terkait dengan kesan politisasi. Sekali lagi saia coba bertanya, segawat darurat apakah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) itu hingga pemerintah sepertinya kelihatan begitu tergesa untuk menggantikannya. Terus terang, jika KTSP itu wujudnya manusia,saia akan mengeluarkan air mata atas tindakan yang begitu sewenang-wenang terhadap dirinya. Bayangkan, dia sendiri tidak tahu seberapa besarkan salahnya. Belum selesai kerjanya untuk kemudian baru bisa dinilai berhasil atau tidaknya. Tanpa disadari, di belakang layar sedang ada perencanaan menjatuhkan kredibilitas dan kedudukannya. Benerkan? 

Melihat ketergesaan ini, pikiran saia langsung menganalogikan seperti negara yang sedang genting, perlu tindakan penyelamatan. Tidak ada lagi jalan untuk kemudian mengambil langkah mundur sesaat. Penyelamatan harus segera dan tidak ada tawar menawar lagi. Begitulah kira-kira kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan dan tidak bisa dipertimbangkan lagi untuk dimundur pemberlakuannya. 

Upss… tapi kemudian saia mecoba berpikir lagi, mungkin wajar tindakan ‘penyelamatan’ ini dilakukan jika dikaitkan dengan nama (mungkin masih nama sementara) dari kurikulum baru itu. Kurikulum 2013. Ada tahun 2013nya. 13 itu dekat dengan 14. Meminjam istilah pengamat, tahun 2013 adalah tahun pertarungan politik untuk menentukan hasil politik di tahun 2014. Apakah sekedar kebetulan atau tidak mengapa harus 2013. Tapi akhirnya kita dan saia bisa berpikir, ini ada hubungannya dengan 2014. 

Sekali lagi, terlepas ada hubungan atau tidak. Tapi kesan ini tidak bisa dipungkuri. Apalagi jika untuk menerima alasan bahwa tidak ada alasan untuk mengundur pelaksanaan kurikulum 2013. Hitung-hitungannya jelas. Proses sosialisasi dan tahapan pelaksanaan kurikulum 2013 ini sangat bersar berpeluang untuk memenuhi hajatan mencapai hasil di 2014. Bukankah begitu? 

Lagi dan lagi, kembali kita akan bertanya. Siapa yang kemudian dapat meraih untung atas perubahan kurikulum ini? Akankah akan mampu meningkatkan kreatifitas dan kemampuan intelektualitas peserta didik dibanding implementasi kurikulum sebelumnya? Akankan mampu mengubah paradigma para pendidik mengenai hakikat pembelajaran dan pendidikan? Akankah mampu meningkatkan kualias pendidikan bangsa ini? Kualitas yang sejalan dengan kemapanan moralitas? 

Ah, seperti biasa. Sebelum kita mampu menjawab pertanyaan itu semua. Dan belum selesai implementasi kurikulum yang ada. Kembali kita akan disuguhkan format lama yang dipaksakan berwajah baru. Atas dasar ‘sesuatu’ ini, saia –dan berharap juga anda semua- menolak diberlakukannya kurikulum 2013. Kalaupun pemerintah ngebet, selesai hajatan demokrasi 2014 saja. Maukah mereka? 

Jika ada 1000 org yg menolak kurikulum 2013, akulah slh satunya,
Jika ada 100 org yg menolak kurikulum 2013, akulah masih menjadi slh satunya,
Jika hanya ada 10 org yg menolak kurikulum 2013, aku tetap salah satunya.
Jika hanya 1 org yg menolak kurikulum 2013, itulah aku.
Namun jika tidak ada lagi orang yang menolak kurikulum 2013,
ketahuilah berarti aku, telah menjadi Menteri Pendidikan!


Kebungkaman bukanlah aktualisasi sebuah jabatan!