Kampus, Kampanye dan Korupsi




Tidak hanya setelah anaknya tamat sekolah menengah atas, bahkan sejak sang buah hati masih balita pun, banyak orang tua berhasrat agar anaknya nanti bisa berpendidikan tinggi. Bahkan setinggi-tingginya. Jalannya tidak lain adalah anaknya harus kuliah.

Dunia perkuliahan memang identik dengan kehidupan yang diisi oleh manusia-manusia yang berikhtiar mencari ilmu dan juga gelar akademik. Konon katanya kalau hanya ilmu, cukup belajar kepada alam dengan segala isinya yang terbentang luas ini.

Tapi tidak bagi kampus. Ia bisa memberikan keduanya, ilmu dan gelar atas kepemilikan ilmu itu.
Maka tidak heran jika tradisi keilmuan itu (seharusnya) tumbuh subur disini. Para ilmuwan lahir disini. Kemudian bergerak cepat melintasi zaman. Kemudian lagi menghapus abad kegelapan (dark ages). Kemudian lagi menyinari bumi dengan harapan-harapan baru sebagaimana yang sedang kita nikmati saat ini.

Bahkan tidak tanggung-tanggung, di Indonesia kampus diamanah untuk menunaikan tiga darma sekaligus: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Super power.

Perlahan tapi penuh dengan kepastian, pundak kampus full tank dengan tanggung jawab yang besar. Otoritas yang dimiliki kampus pun juga semakin menguat.

Sebagaimana yang kita lihat. Kampus berhak memberikan gelar (kehormatan) kepada sosok tertentu.
Sebagaimana yang kita dengar. Suara ahli-ahli dari kampus sangat ditunggu sebagai tanggapan dalam kasus tertentu.

Sebagaimana yang kita rasakan — terutama saat menjadi mahasiswa tiba-tiba merasa bernyali untuk mengemban amanah sebagai agent of change, social control, dan sebutan lain yang memahabesarkan peran.

Dengan kekuatan yang super ini, tidak heran jika kampus selalu disusupi berbagai kepentingan. Di satu sisi kampus diharapkan hidup dalam netralitas. Di sisi lain ditarik-tarik untuk mendeklarasikan keberpihakan.

Tidak heran jika makna netralitas kampus sulit untuk diterjemahkan. Apalagi di PTN yang notabene milik pemerintah. Sehingga tidak salah ketika munculnya wacana seperti menghadirkan kampanye di kampus menuai debat yang tak bertepi.

Banyak pihak berharap dengan hadirnya kampanye di kampus, para calon yang memperebutkan kursi kekuasaan itu bisa mendapatkan referensi-referensi segar. Referensi yang tidak hanya berfungsi untuk mempertajam visi - misi sang calon. Juga diharapkan menjadi rujukan untuk mengimplementasikan visi - misi tersebut. Biar tidak mengawang, tapi membumi sekaligus berdampak pada seluruh rakyat Indonesia. Itu pun kalau menang.

Selain telah dipraktekkan oleh negara luar, hadirnya para kandidat di kampus bisa menjadi momentum untuk mendekatkan landasan-landasan teori dengan realitas. Kampus tidak hanya berjibaku menanam pengetahuan bagi civitas akademikanya saja. Kampus diharapkan menjadi lokomotor dalam menggerakkan daya untuk memperluas pengetahuan masyarakat.

Dengan demikian kampus bisa berperan menihilkan kemungkinan-kemungkinan masyarakat terjebak pada kemufakatan politik yang hanya manis di permukaan. Setelah terpilih, terlupakan.
Bagaimana yang kontra? Tentu ini adalah pihak yang berharap netralitas kampus itu tetap terjaga. Polarisasi sosial akibat rendahnya kedewasaan menerima perbedaan pandangan politik masih terasa hingga saat ini.

Kampuslah salah satu harapan menjadi pemadam atas berbagai percikan api yang menyala itu. Ketika kampus mulai terseret, alih-alih memadamkan, besar kemungkinan nalar-nalar akademisi malah menjadi penyulut. Membuat polarisasi kian menguat.

Saat kampanye belum hadir di kampus-kampus (secara terbuka) saja. Posisi kampus sudah dapat dibaca. Ditambah dengan masih berlakunya 35 persen porsi pemerintah dalam prosesi pemilihan rektor di PTN. Arah angin perguruan tinggi — khususnya yang berstatus negeri itu — sudah dapat di tebak.

Minimal banyak yang ambil jalan untuk main aman. Andai ada nada-nada idealis yang berdentang, kadang hanya muncul sebagai riak-riak kecil. Akhirnya juga tenggelam disapu teguran dan peringatan.
Titik puncaknya. Kelak, ketika kampus-kampus hadir sebagai bagian dari tim sukses sang pemenang. Suara kampus berpotensi tidak lagi menjadi kontrol atas berbagai kebijakan kekuasaan. 

Sebaliknya, hanya merupakan duplikasi suara kekuasaan. Otoritas kampus otomatis menggurita. Kekuasaan absolut menjelma.

Padahal dua abad yang lalu, Lord Acton telah mengkhawatirkan relasi kekuasaan dengan salah satu penyakit kronis yang tak henti-hentinya hadir di negeri ini. Secara tekstual, Guru Besar Universitas Cambridge itu memformulasikan bahwa “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely."

Bukankah KPK pernah menyatakan 86 persen koruptor itu adalah alumni perguruan tinggi? Bagaimana berhasrat ingin menuntaskan PR besar ini, andai kampus sendiri menjerumuskan dirinya sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan yang absolut?

Saat kampanye belum hadir di kampus-kampus (secara terbuka) saja. Kita masih menemukan adanya oknum rektor yang berani melakukan praktik korupsi. Lagi-lagi, ini bukan hanya sekedar persoalan lemahnya tata kelola, minimnya transparansi dan akuntabilitas.

Barangkali, dengan kondisi yang demikian, niat baik untuk menghadirkan kampanye di kampus cukuplah sebatas wacana saja. Sampai akhirnya kampus-kampus telah kembali pada khitah-nya.

Setuju? Andai penulis memiki kekuasaan yang absolut pastilah pembaca akan dipaksakan untuk sepakat dan berteriak: setujuuuuuu.


***Tulisan terbit dengan judul yang sama di Kumparan, 26 Agustus 2022