sumber poto: http://www.rebellesociety.com |
Saat ini rasanya sulit untuk menemukan seseorang yang tidak mengenal sosial media seperti facebook, twitter, dan beberapa media sosial lainnya. Kalaupun bukan sebagai usernya, namun kata-kata tersebut tidaklah lagi dianggap sebagai istilah langka. Apalagi bagi kalangan muda yang sudah tidak asing dengan aktifitas di dunia maya. Termasuklah di dalamnya mereka yang masih berstatus sebagai anak sekolahan.
Untuk facebook, berdasarkan pemantauan dari Social Baker per November 2013 ini, terlihat bahwa ‘prestasi’ Indonesia saat ini dalam kategori pengguna teknologi temuan pemuda yang bernama Mark Zuckerberg itu sangat tinggi sekali. Walaupun dalam kancah dunia, prestasi Indonesia di bidang teknologi masih tergolong tertinggal dengan berbagai negara maju. Namun untuk pengguna salah satu situs jejaring sosial ini Indonesia mampu menempatkan dirinya pada peringkat ke-4 dunia.
Akan tetapi, dibalik pandangan keberhasilan dan peluang untuk mendapakan nilai plus. Ada sebuah pandangan yang menurut penulis perlu diperhatikan bersama terkait efek negatif yang kemudian akan memberikan dampak pada kemunduran bangsa. Ini sangat erat kaitannya dengan sumber harapan yang akan membangun bangsa kedepan, generasi baru. Hampir dapat dipastikan usia muda mendominasi sebagai penyumbang akun facebook di Indonesia yang menembus angka 50 juta lebih user itu. Bahkan anak seusia SDpun sudah banyak yang mempunyai akunnya.
Jika kedudukan yang fantastis tadi tidak disikapi dengan bijak dan kecenderungannya hanya dipandang sebagai prestasi. Sementara kita lupa bahwa di balik prestasi tersebut tersimpan bibit penyakit yang akan menjelma menjadi masalah yang krusial. Kasus yang pernah terjadi seperti penipuan, penculikan dan hilangnya seorang anak yang ‘didalangi’ oleh facebook seharusnya menjadikan kita lebih peduli terhadap mereka, anak-anak kita.
Sudah sangat banyak saran positif yang diberikan oleh pakar baik dalam perspektif psikologi anak, pendidikan dan hal lainnya yang berkaitan dengan upaya terbaik bagi perkembangan mereka yang sudah terbius ataupun belum dengan dunia maya. Mulai dari pengawasan yang teratur, jam akses yang dibatasi, penempatan ruangan akses yang terjangkau oleh orang tua, sampai pada pemasangan software yang mampu membatasi aksesnya.
Disadari, pendidikan terbaik bermula dari lingkungan inti dan terdekat yaitu keluarga. Oleh karena itu, sangat ahsan alasan orang tua melakukan pendetieksian sedemikian rupa dengan tujuan hanya satu yakni untuk kebaikan sang anak. Apalagi jika melihat kejadian miris yang mengikisi kekokohan moralitas mereka. Seperti yang pernah dilansir oleh salah satu media beberapa waktu lalu, bahwa negeri yang banyak koruptornya ini ternyata bertengger pada peringkat wahid untuk pengunduh dan pengunggah situs porno. Dan yang lebih menyedihkan, mayoritas pelakunya adalah anak seusia SMP dan SMA. Pertanyaannya, dimana saja aktifitas ini mereka lakukan?
Ini menunjukkan anak memiliki dunianya. Oleh karena itu langkah terbaik bagi orang tua adalah dengan masuk ke dunia mereka tersebut. Bukan memaksakan mereka mengikuti dunia kita. Bertindaklah sebagai teman bagi mereka, sehingga anak menjadikan kita sebagai tempat utama untuk curhat. Kita juga harus mampu membaca keinginan anak yang tersirat. Terkadang anak malu mengungkapkan apa yang diinginkan. Kepekaan terhadap situasi seperti ini bisa membuat mereka merasa benar-benar diperhatikan.
Jika kontinuitasnya putus dan tidak sempurna. Akan terjadi ketimpangan pola pengasuhan terhadap calon pemimpin bangsa ini. Para anak akan melihat ketidakkonsistenan perlakuan hidup terhadapnya. Akhirnya mereka akan berpikir salah dan benar itu relatif. Demikian juga sebaliknya, sikap paripurna yang diharapkan tidak akan terwujud apabila hanya sekolah yang menjadi tumpuan harapan. Para orang tua menyerahkan secara totalitas pengasuhannya kepada sekolah.
Untuk itu, di tengah arus kehidupan yang tiada batas. Bukan hanya sekedar melek internet. Sebagai orang tua kita juga dituntut untuk agresif dan proaktif terhadap perkembangan aktifitas informasi dan teknologi tersebut. Nah, sekarang sudah melakukan pertemanan dengan akun facebook atau menjadi follower twitter-nya anak-anak kita belum? Karena memang beginilah zamannya.
Begitu juga untuk twitter. Brand24.co.id, situs yang memberikan info statistik jejaring sosial ini merilis bahwa untuk pengguna twitter, Indonesia juga masuk sebagai pengguna terbanyak di dunia. Pengguna twitter di Indonesia ternyata hampir mencapai 30 juta orang. Otomatis dengan pengguna sebanyak itu, Indonesia menjadi pengguna terbanyak peringkat ke-5 setelah Amerika, Brazil, Jepang, dan Inggris. Apatah lagi untuk tataraan Asia/Asia Tenggara.
Sisi Lain Penyikapan Fenomena Facebook
Tentunya dari kacamata Informasi dan Teknologi (IT), bisa saja rangking ini dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan. Begitu juga dalam aspek ekonomi yang bisa dijadikan tools dalam rangka proyeksi dan penguatan jaringan. Begitu juga untuk aspek lainnya seperti ranah budaya yang bisa dipergunakan sebagai media ekspansi kebudayaan nasional.
Artinya, keterjangkauan teknologi yang tidak membatasi antara kota dan desa bahkan antara negara bagaikan pisau bermata dua. Tanpa pengelolaan yang baik dan pandangan yang menyeluruh. Kita harus siap untuk kehilangan kepercayaan sebagai orang tua bagi mereka. Bahkan kehilangan mereka sendiri. Teknologi akan memaksa mereka untuk mengkiblatkan aktifitasnya ke dunia maya. Ada kemungkinan posisi kita tersubstitusikan oleh orang tua maya atau saudara maya mereka. Bersama keluarga barunya inilah mereka akan menyelesaikan permasalahan hidup serta berbagi suka dan duka.
Facebook Parenting, Penting!
Dengan menyadari pergeseran ini, apakah lantas kita mengisolirkannya dengan teknologi tersebut? Atau mengawasi tanpa batas setiap aktifitas yang mereka lakukan? Sungguh reaktif dan malah akan menuai masalah baru andai langkah demikian yang dilakukan.
Harus diingat walaupun pendidikan utama bersumber dari keluarga, namun orang tua bukanlah sutradara tunggal. Jika ini tidak disadari, keinginan baik tersebut akan menjelma sebagai imej buruk oleh sang anak. Terkadang kita lupa kalau mereka juga punya akal, bahkan kecepatan akalnya melebihi dari yang kita pikirkan. Apalagi sekarang kecanggihan teknologi telah memasuki setiap ponsel yang kita miliki. Semuanya terjangkau hanya dengan ‘klik’. Kita juga lupa kalau mereka mempunyai teman bermain baik di sekolah, tempat les, dan dimanapun tergantung aktifitasnya.
Sekolah: Estafet Keluarga
Langkah selanjutnya adalah orang tua harus bekerjasama dengan sutradara lainnya. Di sekolah ada guru dan teman-teman mereka. Sudahkah kita saling mengenal? Sudahkah kepercayaan dibangun? Bukankah selama ini kita sepakat kalau keluarga kedua setelah di rumah adalah sekolah? Artinya guru akan menjadi pengganti orang tua begitu juga dengan teman-temannya akan menjadi keluarga baru mereka. Oleh karena itu, peran positif yang telah dilakukan di rumah haruslah menjadi aktifitas estafet bagi guru.
Konklusinya harus ada keterpaduan pola pengasuhan di rumah dan di sekolah. Keduanya haruslah melahirkan aktifitas yang sesuai dengan warna-warni dunia mereka. Sebuah langkah pengecut jika kita memutuskan rantai kehidupan mereka dengan dunia mayanya. Ini sama artinya dengan membunuh kreatifitas.
***Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom OPINI tanggal 26 November 2013 di media Harian Pelita