Bukan ‘Hardik’- Nas!


Tribunjabar, 2 Mei 2014

Suram. Mungkin inilah padanan kata yang tepat untuk menggambarkan suasana menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional (HPN) tahun ini. Paling tidak, pada April ini kabar pendidikan Indonesia sepertinya hanya berkutat pada rangkaian kisah destruktif.  Paling tidak juga ada 3 (tiga) kisah suram yang mengusik kenyamanan kita beberapa minggu terakhir. Sebut saja kasus Ujian Nasional (UN) yang sebenarnya merupakan drama pengulangan. Kisah hiruk pikuk ujian yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa ini memang biasanya mencuat paska pelaksanaanya. Terutama setelah ada yang merasa di korbankan. Meskipun sebenarnya banyak korban yang ‘terselamatkan.’

Selain UN, ada lagi bonus cerita pendidikan yang juga belum lenyap dari pemberitaan sekaligus pembicaraan. Diantaranya kasus pelecehan seksual pada sekolah bertaraf Internasional, Jakarta International School (JIS). Pelecehan yang banyak pihak lebih mengatakan sebagai faktor kekerasan ini sekaligus menjadi bukti ketidaknyamanan lembaga pendidikan yang ada. Ketidakjelasan izin yang kemudian memaksa Kemendibud untuk mengevaluasi setiap sekolah Internasional. Ini juga  menjadi bukti betapa lemah –atau sengaja melemahkan diri- sistem pengawasan. 

Satu lagi kisah yang juga tidak kalah mirisnya adalah kekerasan kampus yang berujung pada kematian.  Jika pendidikan prasekolah telah dibuat tidaknyaman karena intaian pelecehan seksual. Pendidikan tinggi ternyata lebih sadis lagi, tema intaiannya menjadi lebih brutal yakni kematian. Runtuhlah teorema yang mengatakan semakin bijak dan paripurnanya hidup seharusnya berbanding lurus dengan derajat pendididikan. 

Kebaikan pendidikan hanya berkutat pada tataran teoritis. Aplikasinya sungguh kontradiktif. Selain sebagai wahana unjuk otot, kampus juga telah menjadi ajang ekspresi keangkuhan intelektual belaka. Kejadian di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tersebut menjadi bukti nyata tentang belum lurusya orientasi pendidikan (tinggi) kita.
  
Menunggu Korban Selanjutnya?

Jika dicermati, ada suatu kesimpulan mengapa masalah ini mendadak menjadi topnews dibandingkan berbagai masalah pendidikan lainnya? Jawabannya hanya satu. Karena sudah adanya korban. Jika kita runut dari kasus UN, JIS, dan STIP. Masing-masing mereka mempunyai korban. UN dengan korban tekanan psikisnya, JIS dengan korban kekerasan seksualnya, dan STIP dengan korban yang merenggang nyawa.   

John Dewey (1859-1952) pernah mengungkapkan bahwa manusia itu hanya berfikir saat terbentur pada suatu masalah. Terlepas dengan harus membenarkan atau tidak apa yang disampaikan oleh pemikir pendidikan yang bermazhab pragmatisme itu. Namun harus diakui, barangkali itulah gambaran pragmatisme sosial yang saat ini menggerogoti bangsa. Parahnya lagi ketika masalah itu dianggap selesai secara pribadi. Masalah dinafikan. Sehingga melupakan apa yang terjadi meskipun dampak sosialnya begitu meluas.  Maka jangan heran kalau melihat ada tersangka/terdakwa yang teriak ‘kemalingan.’ Mereka berteriak hanya karena setelah tertangkap. Sebelumnya tetap saja menikmati kebungkaman.

Untuk itu akankah dalam menyelesaikan masalah, terutama dalam tubuh pendidikan harus mendatangkan korban terlebih dahulu? Ketika korban mulai berdatangan, baru muncul kewaspadaan. Ketika ramai menghiasi pemberitaan, baru eksekusi dilakukan. Sebaliknya, di saat korban dan pemberitaan belum meluas. Tidak ada prioritas. Penyelesaian masalah yang reaktif seperti inilah yang justru tidak akan bisa menyelesaikan akar permasalahan. Seyogyanya dengan kondisi kritis ini dibutuhkan komitmen dalam menjalankan program yang telah disepakati. Bukan kemudian gonta-ganti program hanya untuk terlihat populer saja. 

Setidaknya ada dua jebakan mengapa permasalahan yang terjadi dalam tubuh pendidikan kita selalu berulang-ulang. Bahkan setiap tahun masalahnya hampir sama dan bahkan diperankan oleh pemain yang sama. Jebakan birokratis menjadi salah satu penyebab rumitnya mengurai simpul permasalahan. Birokrasi dalam tubuh pendidikan telah menghadirkan garis seruan. Akhirnya siapapun menjadi tunduk dan takluk. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, haruskah korban berasal dari orang yang berada di lingkar kekuasaan terlebih dahulu. Baru jalan penyelesaian masalahnya bisa memangkas garis birokrasi?

Kebijakan politis yang sering bermain di balik nama pendidikan juga menjadi asbab. Ditambah lagi dengan nuasa demokrasi liberal yang sekarang di anut oleh bangsa. Terlepas benar atau salah, suara mayoritas menjadi penentu kebijakan. Terlepas baik atau buruk, kebijakan yang berseberang dengan lawan politik pasti akan mendapat perlawanan. Sehingga dengan logika awamnya, masyarakat semakin sulit untuk menilai kebijakan mana yang banyak manfaat atau banyak mudhorat (buruk).

Dehumanisasi
Sejak dulu founding father pendidikan bangsa, Ki Hajar Dewantara telah mewanti  bahwa tujuan pendidikan Indonesia itu untuk memanusiakan manusia yang mengenyam pendidikan tersebut. Pada konteks inilah seharusnya disadari bahwa pendidikan bukan hanya persoalan bagaimana menjalankan garis birokratis. Pendidikan juga bukan hanya persoalan memuluskan rencana kerja agar kemudian dianggap sukses. Tetapi lebih kepada upaya berkesinambungan menjaga agar anak-anak bangsa tetap berada dalam koridor kemanusiaanya.

Oleh karena itu harus diwaspadai meskipun suram, tetapi kesuraman ini jangan sampai menggambarkan pendidikan bangsa secara keseluruhan. Karena masih banyak kandungan prestatif yang terdapat dalam sumber daya insan Indonesia. Indonesia masih banyak memiliki insan yang cerdas dan bermoral. Bahkan diantaranya sudah diakui dunia. Inilah yang harus ditata. Indonesia masih memiliki dan akan selalu memiliki bibit unggul. Inilah yang harus dijaga. 

Jika tidak ingin terus menerus dalam kesuraman. HPN 2014 seharusnya dijadikan momentum untuk menata dan menjaga itu semua. Namun ketika pendidikan masih melalui garis birokrasi yang kaku dan dalam cengkeraman politis yang mengganas. Dapat dipastikan pendidikan Indonesia hanya berjalan untuk memuaskan target-target grafik belaka. Dibalik target itu, kemanusian manusia Indonesia justru semakin tergadaikan. Dan bangsa ini semakin tidak akan dihargai di mata dunia. Buah dari ketiadaan penghargaan dari masyarakatnya terhadap dirinya sendiri. 

Di akhir kebingungan, akan semakin sulitlah kita menemukan mana sebenarnya kebijakan pendidikan yang humanis itu. Pendidikan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan secara legal melalui Sisdiknas. Jangan sampai, pendidikan yang ada hanya melahirkan generasi yang terus menerus untuk saling menghardik. Ini bukan hardik-nas, bukan?

*** Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  bersempena Hari PendidikanNasional, 2 Mei 2014 pada kolom OPINI  Tribun Jabar