Dokter Google




Sejak dirilis pada waktu yang hampir sama dengan lahirnya reformasi di Indonesia, google kini semakin familiar dengan siapapun. Bahkan sangking dianggap pintarnya, mesin pencari virtual ini tanpa sadar sering mengambil posisi profesi yang ada. 

Misalnya guru. Jika selama ini tempat bertanya para siswa itu identik dengan guru, sekarang pertanyaan-pertanyaan yang ada sering dilontarkan ke google.

Selain jawabannya cepat diperoleh, ‘pengetahuan’ yang dimilikinya juga dianggap melampaui sosok-sosok jenius yang ada di dunia ini. Semua pertanyaan bisa dijawab. Tanya apa aja, lebih dari ratusan pilihan jawaban tersajikan. Tidak hanya cepat, kadang juga sangat tepat.

Termasuklah keinginan instan kita dalam menemukan jawaban terkait obat yang pas untuk menangani rasa sakit. Mulai dari sakit pada umumnya seperti demam panas, batuk-batuk, gatal-gatal, sakit perut, dan sampai sakit hati atas ‘rasa yang pernah ada.’

Tanpa rasa khawatir, kadang diagnosa google langsung dipercaya. Ditindaklanjuti dengan tindakan pengobatan. Ketika takdirnya memihak dengan hadirnya kesembuhan atas rasa sakit itu. Mendadak kita seakan-akan yang kemudian menjelma menjadi dokternya. 

Hanya atas dasar pengalaman bisa sembuh disertai referensi google beserta timnya yakni broadcast WAG dan postingan-postingan di media sosial, kita dengan penuh percaya diri berani memberikan resep kepada handai taulan yang dikenal. Memberi saran. Memberi resep.

Covid-19 dan Kemahatahuan

Kondisi yang demikian semakin terasa ketika wabah covid-19 menghantui. Masih ingat? Tidak tahu dari mana sumbernya, tips dan trik agar lolos dari serangan virus yang banyak memakan korban tersebut bertebaran di mana-mana. 

Begitu juga daftar-daftar obat yang harus dikonsumsi. Mulai dari obat kimia yang disertai dengan dosisnya maupun obat herbal yang disertai dengan cara meraciknya.

Tidak hanya berkeliaran dari berbagai platform media sosial. Dari mulut ke mulut juga tidak kalah tinggi hits perbincangannya. 

Bak gayung bersambut. Terlepas dari niat baik pengirim atau pembuat kontennya. Sejak digitalisasi merambah ke lini informasi yang membuat orang tidak hanya bisa menjadi cepat tahu, tapi juga merangsang orang untuk tampil sebagai yang maha tahu. 

Tidak heran, berlomba-lomba dalam memberikan informasi itu sudah menjadi keniscayaan di zaman ini. Terlepas informasi tersebut belum tentu benar benar. 

Ketika ditanya tahunya dari mana. Salah satu jawabannya ya dari dokter google a.k.a internet. 

Rekaman dari google trends tahun 2020 tidak hanya mengingatkan kita bahwa penelusuran terpopuler pada tahun itu adalah terkait dengan kata kunci virus corona. Wajar, karena memang tahun tersebut merupakan waktu kasus pertama covid-19 diumumkan di Indonesia.

Namun, lagi-lagi di waktu tersebut peran google sebagai dokter kembali hadir. Dapat ditebak, salah satu kata kunci terpopuler terkait virus corona yang top itu menunjukkan kueri terkaitnya tidak hanya seputar gambar corona, tanda-tanda virus corona, atau data virus corona, tetapi pencarian dengan topik obat virus corona sangat pesat.

Agaknya kala itu semua tangan bergentayangan mengetikkan kata kunci tersebut. 

Tidak salah ketika kita memang ingin segera melakukan langkah preventif atau ingin segera sembuh jika dikonfirmasi terinfeksi. Hanya saja permasalahannya apakah resep-resep yang didapatkan itu sudah sesuai dengan takaran medis? Apakah sudah mendapat petunjuk dari ahlinya seperti sang dokter?

Kasus Gagal Ginjal Anak

Setelah pandemi ingin mulai beranjak menjadi endemi, kita kembali menghadapi kasus 'misterius' baru. Jelang minggu ke-3 Oktober lalu (19/10) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah merilis bahwa telah terjadi peningkatan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal/Acute Kidney Injury (AKI) yang cukup tinggi pada anak. 

Bahkan per Selasa (1/10) ini,  jumlah total kasus gagal ginjal akut di Indonesia telah menyentuh pada 325 kasus dengan total angka kematian  sebanyak 178 orang. 

Selain terus menelusuri penyebab yang diantaranya diduga akibat adanya sirup obat yang mengandung cemaran senyawa tertentu (seperti Etilen Glikol dan Dietilen Glikol, melalui siaran persnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga memberikan himbauan agar masyarakat lebih waspada sekaligus menjadi konsumen cerdas. 

Oleh karena itu hadirnya tragedi yang sangat menyedihkan ini bisa dijadikan pemantik bagi kita sebagai masyarakat awam yang memang tidak memiliki kapasitas keilmuan terkait obat-obatan. Pemantik untuk mulai sadar agar tidak sembarang membuat resep. Berobat dan meminta obat haruslah sama ahlinya.

Selain itu, yang sangat penting untuk diperhatikan adalah kasus ini seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk mengawasi peredaran obat-obatan yang ada di Indonesia secara sistemik dan berkala. Sanksi tegas juga sudah seharusnya diterapkan untuk mereka yang masih melakukan praktik jual beli di tempat yang ilegal. Harapannya tingkat peredaran obat ilegal, obat palsu, atau obat kadaluarsa bisa dilenyapkan sama sekali.

Apalagi dari temuan BPOM menyatakan ada 6.001 link yang terdeteksi melakukan penjualan sirup obat dengan kategori tidak aman. Untungnya BPOM sendiri telah bekerjasama dengan Kemenkominfo dan Asosiasi E-Commerce Indonesia untuk melakukan takedown terhadap konten pada ribuan link tersebut.

Edukasi kepada masyarakat agar bijak dalam menggunakan obat juga harus terus digencarkan. Jangan sampai jumlah penduduk Indonesia yang sudah melampaui seperempat miliar ini hanya dipandang sebagai pangsa pasar bagi peredaran obat-obatan itu belaka. 


***Tulisan terbit dengan judul 'Mewaspadai Fenomena Dokter Google' di Tangsel Pos 9 November 2022