Keluarga Sebagai Pusat Gerakan Membaca


sumber gambar: yellowhousebookrental.com

Peran keluarga dalam pembangunan negara tidak bisa dinafikan. Bukan hanya karena terbentuknya sebuah masyarakat berasal dari kumpulan keluarga. Lebih dari itu, keluarga mempunyai peran yang penting terhadap pembentukan generasi baru. Apalagi di masa golden age-nya, anak secara umum banyak menghabiskan waktu di lingkungan keluarga. 

Atmosfir  lingkungan keluarga akan memberikan efek langsung terhadap pembentukan karakter anak. Berbagai perilaku, perkataan, dan kebiasaan bersumber dari sini. Termasuklah kultur membaca yang hari ini masih terdiagnosa kronis.

Harus diakui, kebiasaan kita di keluarga hari ini memang dikenyangkan dengan budaya lisan. Banyak ngobrol atau gosipnya. Akhirnya anak hampir tidak tersentuh aktifitas literasi  seperti membaca. Usia emas sang anak dilewatkan begitu saja tanpa aktifitas yang berarti.

Kurangnya semangat membaca juga terlihat dari aktifitas keseharian. Jangankan membaca buku. Masih banyak diantara kita yang malas membaca petunjuk penggunaan suatu alat. Bahkan hanya untuk pengumuman singkat sekalipun. Kita lebih memilih bertanya ‘apa isi pengumuman itu?’
Tidak heran jika akhirnya fakta literasi Indonesia menempati posisi yang mengkhawatirkan. Sebut saja seperti indeks membaca Indonesia yang berada pada poin 0.001. Angka yang menunjukkan hanya ada 1 orang membaca dari 1.000 orang. Demikian juga dalam PISA (Programme for International Student Assessment)  yang menempatkan tingkat membaca siswa pada posisi ke- 57. Oleh karenanya dalam studi yang dilakukan oleh OECD ini, Indonesia terpuruk diurutan 64 dari 65 negara.

Peran Keluarga

Kepada apa orientasi hidup salah satunya bisa dilihat dari alokasi pengeluaran hidup. Nah, untuk melihat apakah buku adalah bagian terpenting dalam keluarga. Lihat saja catatan anggaran belanja keluarga.  Walaupun kita belum bisa ‘gila’  seperti para filsuf dan ilmuan terdahulu yang mengutamakan membeli buku. Baru sisa uangnya digunakan mereka untuk membeli makanan.  Tetapi minimal kita harus bisa menyelipkan buku dalam anggaran belanja bulanan. Walaupun hanya satu.

Banyaknya sebaran berita instan yang berkeliaran di sosial media secara tidak sadar telah mengalih gaya membaca. Budaya baca yang  terbentuk hanya berupa kebiasaan membaca sekilas bahkan sekedar judul link berita. Membaca buku  dianggap semakin berat. Apalagi mengkhatamkan buku.  Tentu ini merupakan implikasi kalahnya dalam menghadapi kemajuan teknologi.

Penelitian google Indonesia yang bermitra dengan Ipsos MediaCT menunjukkan bahwa kehadiran smartphone telah menghiasi hampir seluruh waktu masyarakat. Smartphone selalu digunakan dimana saja berada. 95% menggunakan dirumah dan  88% dalam perjalanan. Hasil penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2013 ini juga mengungkapkan ada 61% masyarakat mengakses internet setiap hari. Bahkan 73% diantaranya tidak pernah keluar rumah tanpa membawa smartphone-nya.

Akibatnya, jangankan untuk membentuk barisan keluarga yang gemar membaca. Para keluarga Indonesia disinyalir semakin disibukkan dengan ‘mainan’ barunya ini. Bukan penampakan yang tabu lagi dalam satu keluarga saling bermain ponselnya. Sementara mereka sedang duduk bersama. Dekat dimata, tapi komunikasi semakin jauh.

Kondisi yang sangat mengkhawatirkan inilah akhirnya melahirkan berbagai inisiasi untuk mengembalikan peran keluarga. Salah satunya seperti gerakan 1821. Sebuah usaha untuk mengembalikan fungsi orang tua. Gerakan ini menyerukan untuk memutuskan koneksi kebersamaan dengan ponsel (dan sejenisnya) dalam durasi 3 jam. Dimulai pukul 18.00 sampai dengan pukul 21.00. Tiga jam saja!

Sebuah langkah preventif. Hanya saja pertanyaannya. Semakin gawat darurat itukah kondisi keluarga kita? Hanya untuk 3 jam saja harus melahirkan sebuah gerakan provokatif massal seperti ini.

Bangun Kolaborasi
Sejalan dengan gerakan 1821. Pemerintah melalui Kemendibud juga telah melahirkan gerakan membaca 15 menit sebelum pelajaran di mulai bagi siswa. Ini adalah momentum yang tepat. Namun untuk mengimplementasikannya dibutuhkan bangunan kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Tiga tempat dimana anak berada.

Langkah awalnya implementasinya pastilah dengan ketauladanan. Orang tua yang mengharapkan anaknya gemar membaca. Maka orang tuanya haruslah gemar membaca terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan menumbuhkan lingkungan fisik yang mendukung. Diantaranya seperti membangun pustaka keluarga, menambah koleksi bacaan, dan meminimalisir kehadiran tayangan televisi yang tidak bermanfaat.

Begitu juga dengan guru di sekolah. Gerakan 15 menit membaca untuk siswa tidak akan berhasil jika gurunya sendiri tidak ikut membaca. Dibutuhkan guru yang  gila baca untuk melahirkan siswa yang candu membaca. Jika para keluarga dan sekolah telah menjadikan membaca sebagai kebutuhan wajib. Selanjutnya lingkungan masyarakat akan terbentuk dengan sendirinya.

Terakhir, seiring dengan momentum Hari Buku Nasional yang diperingati setiap tanggal  17 Mei. Semoga kondisi budaya baca yang menghkawatirkan itu dapat menjadi pemersatu dan alarm bagi kita semua. Pemersatu agar saling membahu menumbuhkan semangat membaca. Alarm  agar saling menyadari bahwa minusnya tingkat membaca adalah kesalahan fatal bagi nafas kehidupan bangsa.

Persis, sejak dulu penyair Inggris terkemuka, TS Eliot (1888-1965)  telah mengingatkan “sulit membangun peradaban tanpa adanya budaya tulis dan baca.” Jadi, jangan tunda, ayo membaca! 


*Tulisan pernah terbit di Koran Harian Pelita