YLKI Tawarkan Amunisi untuk Pengendalian BBM Bersubsidi Di DKI




Seperti yang telah kita ketahui bersama, pada awal September lalu (3/9), Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikannya cukup tinggi, yakni Pertalite dari Rp. 7.650,0/liter menjadi Rp. 10.000,-/liter dan Solar dari Rp. 5.150,-/liter menjadi Rp. 6.800,-/liter.

Lagi-lagi, salah satu alasan bagi pemerintah menerapkan kebijakan ini adalah terkait penikmat subsidi yang tidak tepat sasaran. Bahkan, Presiden Joko Widodo menyebut lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh masyarakat mampu. 

Namun setelah kebijakan tersebut dihadirkan, diperlukan juga strategi pengendalian penggunaan BBM bersubsidi tepat sasaran, diantaranya bagi pengguna kendaraan pribadi. Termasuk di DKI Jakarta yang menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, sebanyak 35% kendaraan berputar di Jakarta dan Jabodetabek. 

“Pada konteks pengendalian BBM subsidi baik pada konteks ekonomi, lingkungan, dan ekologis di Jakarta menjadi sangat urgen, karena tarikan-tarikan ekonomi di Jakarta sangat tinggi sebagai kota ekonomi Indonesia dan juga semakin tinggi pengguna kendaraan pribadi,” sampainya pada acara dialog publik yang diselenggarakan secara virtual pada Selasa (8/11). 

Untuk pengendalian BBM bersubsidi sendiri, Ketua YLKI periode 2020-2025 merekomendasikan dua konsep yang harus diterjemahkan secara operasional, artinya harus ada insentif dan disentif. 

“Insentif itu artinya Pemprov DKI harus mendorong sebanyak mungkin penyediaan transportasi massal yang bisa digunakan oleh masyarakat sehingga terjadi migrasi untuk penggunaan angkutan umum yang makin banyak dan makin tinggi kapasitasnya apakah transjakarta, KRL, MRT dan lain sebagainya,” jelasnya. 

Sementara itu, lanjutnya, disentif itu adalah kalau masyarakat tidak menggunakan angkutan umum maka masyarakat itu harus menggunakan bahan bakar yang mahal dan berkualitas karena telah mencemari lingkungan dengan bahan bakar yang digunakan di kendaraan pribadinya.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman ini juga mengingatkan agar pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta untuk komitmen menekan emisi yang dihasilkan dari gas pembuangan pada kendaraan tersebut. Termasuk kendaraan pribadi yang menurutnya 70% emisi di jakarta bermula dari kendaraan pribadi.

“Kita sangat ketinggalan dalam hal ini karena yang kita sasar selalu kendaraan pribadinya, tapi penggunaan bahan bakar dari energi kendaraan pribadi tidak pernah disasar, jarang sekali Pemprov DKI bicara soal itu,” jelasnya.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Maompang Harahap, menuturkan bahwa di satu sisi pemerintah menjamin pasokan, tapi disisi lain ada subsidi dan kompensasi. Makanya harus dicari keseimbangannya.

“Makanya kita berharap ada transformasi dari masyarakat bahwa mereka itu mau mengkonsumsi (bahan bakar yang berkualitas dan ramah lingkungan) terutama yang memang sudah mampu jangan mengkonsumsi (bahan bakar) yang memang sudah menjadi hak mereka yang mendapatkan kompensasi,” harapnya. 

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, yang juga hadir dalam diskusi ini menghimbau kepada masyarakat untuk kembali menikmati layanan angkutan umum yang telah disediakan oleh pemerintah.

“Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan layanan angkutan umum dengan standar layanan yang cukup tinggi, dengan menggunakan angkutan umum tentu masyarakat akan mendapatkan kenyamanan,” himbaunya.

Diakuinya, memang karena efek pandemi terjadinya pembatasan sehingga ada beberapa keluhan yang masuk terkait dengan antrian, namun sekarang semuanya sudah dilayani dengan baik bahkan sangat mudah dan murah.

“Dengan menggunakan angkutan umum, lebih dari 1 moda,  MRT, LRT, dan transjakarta, maka masyarakat cukup membayar 10 ribu rupiah, artinya biaya transportasi semakin murah,” jelasnya lagi. 

Terkait dengan konsep insentif dan disentif yang disampaikan Ketua YLKI, pembicara lainnya yang juga merupakan Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, Luckmi Purwandari, juga menyarankan agar masyarakat tetap memilih untuk menggunakan kendaraan umum dan diperlukannya uji emisi terhadap kendaraan tersebut. Tujuannya agar bisa mengetahui kondisi kendaraaannya apakah memenuhi standar atau tidak. 

“Kalau semua sudah melakukan uji emisi, itu akan dijadikan sebagai dasar atau syarat untuk pembayaran pajak, syarat masuk ke parkiran. Jadi kalau kita sudah tahu hasil uji emisinya seperti apa baru kemudian baru bisa kita menerapkan insentif dan disinsentif tersebut,” sampainya. 

Selain empat pembicara di atas, acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh YLKI dan KBR ini juga menghadirkan beberapa narasumber lain, diantaranya Tri Yuswidjajanto Zaenuri (Kelompok Keahlian Konversi Energi, ITB), Panji (Ditlantas Polda Metro Jaya), Ateng Aryono (Organda), Komaidi Notonegoro (Reforminer Institute), Desy Mery Dorsanti (Dinas Kesehatan Pemprov DKI), dan beberapa selebgram/influencer. 

Acara ini diikuti oleh peserta dari berbagai daerah dengan berbagai latar belakang profesi, termasuk diantaranya adalah para wartawan, blogger, dan pers mahasiswa. Oleh karena itu, YLKI melalui Ketua Umumnya berharap semua yang dipaparkan pada acara diskusi publik yang bertemakan Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta” bisa menjadi amunisi bagi Pemprov dan masyarakat DKI Jakarta serta seluruh masyarakat Indonesia untuk memiliki kesadaran baru.