Anak dan Pemilihan Umum



Pemilih Pemula yang Sering Menjadi Sasaran Meraup Suara

Kampanye Pemilihan Umum 2014 telah berakhir. Salah satu yang menyedot perhatian publik terkait dengan pesta demokrasi lima tahunan ini adalah mengenai keikutsertaan anak dalam kampanye partai politik.  Setidaknya dikabarkan terdapat 200an kasus yang melibatkan anak-anak dalam kampanye yang berlangsung di seluruh Indonesia.  

Tak pelak, pendapat dengan berbagai sudut analisapun bermunculan mengenai boleh tidaknya keterlibatan anak dalam kampanye, batasan keterlibatan, dan lain sebagainya. Namun jika ingin jujur, analisa dalam memandang persoalan ini sepertinya lebih didominasi oleh kaca mata politik saja, dengan tekanan politik juga tentunya. Akibatnya semua terpaksa bicara dan terus membicarakan. Ditambah dengan polesan media yang begitu bersemangat menyajikan sisi bad news-nya saja.

Tapi sayangnya pada kasus lain dengan kondisi yang lebih parah serta lebih berbahaya dari ‘sekedar’ keikutsertaan anak pada kampanye partai politik. Justru hanya segelintir komentar yang terdengar. Begitu juga dengan sajian-sajian  media, tidak begitu fantastis. Oleh karena itu, kita pastinya berharap perhatian terhadap anak jangan dipolitisir hanya karena faktor Pemilu yang semakin mendekat. Jangan jadikan anak sebagai ‘objek’ saling serang hanya karena ingin mendapat simpati masyarakat. Justru yang harus kita pertanyakan sekarang adalah apa yang telah dilakukan untuk masa depannya? Apa yang akan diperbuat oleh wakil rakyat terpilih nanti terhadap kondisi anak Indonesia yang semakin memprihatinkan? 

Seharusnya perhatian kita —masyarakat, partai politik, media, pengamat dan para penguasa—lebih banyak terfokuskan ketika menyaksikan data Komisi Nasional Perlidungan Anak yang  menyatakan bahwa dalam periode 2010-2012  saja kasus kekerasan anak telah mencapai lebih dari 5.000 kasus. Sebaiknya kita lebih banyak memikirkan kondisi miris data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang membeberkan sebanyak 52%  dari mereka telah terpapar wabah pornografi.

Parahnya lagi anak yang terkena dampak pelecehan seksual akibat pornografi ini terus meningkat. Sebagai perbandingan misalnya, ada 2.637 kasus pada tahun 2012 kemudian meningkat menjadi 3.039 kasus pada tahun 2013.  Belum lagi kalau harus bicara masalah kesehatan anak yang berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2010  masih terdapat 17,9 persen balita yang mengalami gizi buruk. Apakah kondisi ini tidak seseksi keikutsertaan anak dalam kampanye partai poltik?

Padahal jika disadari beragam kasus anak seperti yang tertera di atas itu hadir di tengah konstitusi yang sah terkait perlindungan terhadap hak-hak mereka. Selain telah diatur dalam UUD 1945, perlindungan anak juga telah dinaungi oleh Undang-Undang No. 23  tahun 2002 dan melalui Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup bagi setiap anggota keluarga. Bahkan ketika bicara Hak Asasi Manusia (HAM), hasil konvensi PBB juga telah mengamanatkan untuk pemenuhan terhadap hak-hak anak.

Keluarga, Sekolah, dan Media
Lantas tidak salahlah kalau kemudian sering tercetus suatu kesimpulan yang menyatakan keberadaan anak di Indonesia ini pada dasarnya masih belum dioptimalkan. Parahnya lagi adalah pemberian hak yang tidak optimal itu justru dimulai dari keluarga mereka sendiri. Baik itu terkait kebutuhan jasmaniahnya maupun rohani dan pikirannya. Kabar kekerasaan dalam bentuk psikis atau fisikpun tidak jarang dilakukan oleh oknum orang tua kandung dari sang anak.

Untuk itu, selain pemerintah yang secara legal-moral harus bertanggung  jawab terhadap masa depan calon pemimpin bangsa itu. Tiga domain berikut ini juga tidak kalah penting peranannya dalam menumbuhkan tunas bangsa tersebut.  Pertama dan utama tentunya keluarga. Disini perlunya edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran keluarga mengenai anak sebagai investasi vital bagi masa depan. Edukasi yang diberikan ini tidak hanya diberikan dalam bentuk penataran bagi usia yang telah memasuki fase wajib nikah atau hanya menjelang nikah saja. Tetapi juga kepada para orang tua yang telah menikah dan memiliki anak.

Kedua, keluarga sebaiknya membangun sinergisitas dengan sekolah yang merupakan keluarga kedua mereka. Ditambah dengan situasi yang semakin modern ini, anak sepertinya lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah ketimbang di rumah. Kenyataan ini otomatis memberikan kesempatan anak untuk  bertemu orang tuanya lebih kecil. Jika tidak ada sinergisitas antara program anak yang di bangun di rumah dengan di sekolah, atau sebaliknya. Maka peran dan posisi orang tua akan semakin tereduksi. Pada titik inilah kadang mencuat berbagai catatan kondisi krisis anak seperti data yang diungkapkan di atas. 

Ketiga, ini berkaitan dengan media. Media seharusnya mempunyai tanggungjawab yang besar. Apalagi akses media sudah memasuki wilayah yang tanpa batas. Akibatnya jika ada penayangan media yang tidak layak konsumsi anak, otomatis akan semakin bebas meracuni pola pikir dan gaya hidupnya. Salah satu hasil penelitian dari Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) sungguh mengejutkan karena menyatakan acara yang sebenarnya aman ditonton oleh anak-anak kita tidak lebih dari 30%. Selebihnya? Selebihnya kadang disaksikan anak bersama keluarga mereka sendiri.

Masih Ada Harapan
Survey Nasional BPS tahun 2010 telah menunjukkan bahwa anak yang berumur dini (0-9 tahun) mencapai 46 juta jiwa. Jika memang ingin membicarakan tentang keterkaitan anak dengan Pemilu. Seharusnya yang dibahas adalah bagaimana pandangan mereka terhadap politik pada pemilu 2019 atau 2024 saat mereka menjadi pemilih pemula nanti? Dan akan jadi seperti apa mereka ini ketika pada pemilu 2044 tepat 1(satu) tahun menjelang 100 tahun usia kemerdekaan Indonesia? Dimana pada momentum tersebut, mereka inilah yang akan mengisi kepemimpinan bangsa baik di tingkat lokal maupun nasional.

Untuk itu, salah satu harapan yang menurut penulis sangat realistis dan humanis adalah mulai mengguritanya usaha untuk memperhatikan mereka sejak dini. Kita berharap melalui program PAUDisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengupayakan agar setiap desa memiliki minimal satu lembaga pendidikan untuk mendidik anak yang berusia dini, menjadi jawaban sempurna dalam usaha mempersiapkan generasi emas ini. 

Tentunya kesempurnaan tersebut akan tercapai jika diiringi dengan kesiapan serta kesempurnan dari orientasi pendidik PAUDnya sendiri. Jika salah didikan, maka tentu resikonya sangat berbahaya sekali. Nanti melalui keabsahan Pemilu di generasinya, mereka justru menjadi bumerang bagi riwayat negara yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta sebagai Bangsa Indonesia ini. Ohh tidak... !


*** Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit tepat 1 (satu) hari menjelang Pencoblosan 9 April 2014 pada kolom OPINI  Harian Pelita Jakarta