Terlanjur Cinta Ujian Nasional...

sumber utama gambar: plusquotes.com


Sejak dicetuskannya upaya untuk menghapuskan Ujian Nasional (UN) –kemudian diperjelas menjadi moratorium- oleh pemerintah via Kemendikbudnya. UN kembali menjadi pusat perbincangan. Jika melihat kebelakang, memang sejak UN menghampiri sistem pendidikan nasional, perbincangan UN menjadi seperti agenda wajib. Bahkan topik utama dari perbincangan itupun seakan tidak pernah berubah. Hanya sepertinya kali ini topik utamanya agak sedikit bergeser. Baik guru, orang tua, bahkan sampai pemerintah sendiripun akan tenggelam dalam diskursus mengenai ‘nasib’ pendidikan jika UN tiada.

Ada yang memperbolehkan tetapi dengan syarat jangan tahun depan (2017)– beberapa tahun lagi saja. Bahkan ada yang ekstrim takut kehilangan seremonial tahunan ini. Jelas, jika selama ini ada yang memanfaatkan UN sebagai sumber penghasilan. Pastilah hilangnya UN dianggap musibah. Namun ada juga yang berlandaskan pada rasa khawatir semangat belajar siswa menjadi berkurang. Hilang UN, hilang semangat belajar? wahh wahh wahh...


Sementara itu pada level ‘elit’, ketiadaan UN sepertinya harus otomatis melahirkan bentuk standarisasi baru. Standar yang dianggap bisa menjaga bahkan meningkatkan mutu pendidikan bangsa. Mengenai hal ini, tentunya Kemdikbud telah memiliki jawabannya yaitu Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).

Pertanyaannya kemudian, apakah format ujian baru  ini sebagai wujud memberangus  efek negatif yang selama ini mengakar dalam pelaksanaan UN? Atau apakah format ujian baru ini hanya sebagai bentuk win – win solution atas pro – kontra moratorium UN?

Terlanjur  Cinta
Pertanyaan ini muncul tidak lain, hadirnya istilah USBN mengingatkan kita kembali akan istilah UAN = Ujian Akhir Nasional yang sempat familiar sebelum akhirnya berganti istilah menjadi UN. Padahal isi ceritanya sama saja. Sama-sama ujian yang menggunakan standar nasional. Selain itu, hadirnya USBN juga mengisyarakatkan bahwa kita masih belum bisa lepas dari dua kata ini, ujian dan nasional. Benar?

Apakah semua ini akibat terlanjur cinta? Lebih dari 10 tahun UN mengumbar cintanya baik dalam bentuk prestasi dan prestise sekaligus. Cinta UN juga memberikan nuansa saling pengertian. Meski siswa harus serius belajar, meski guru harus serius mengajar. Melalui UN, pengertian itu menjadi nyata. Semua menjadi serba bisa, asalkan jangan ada yang bersuara.

UN juga tidak sekedar memberikan rayuan gombal, cintanya nyata tertera dalam angka pada anggaran negara/daerah.  UN tidak pilih kasih, semua berkesempatan mendapatkan cintanya. Mulai dari desa sampai kota. Semua suara ingin membicarakannya,  dari ruang kelas sampai –mungkin - kursi rapat terbatas. UN tidak memandang umur, siapa saja bisa membawa dirinya untuk sebuah kenikmatan  lembaran rupiah.

Pun, jika ada yang sempat tidak menyukainya. Namun apakan daya, daya tarik cinta UN membuat siapapun tak mampu berkata. Akhirnya lama-lama terbiasa hidup dengannya. Bahkan jika ada yang mencoba nekat menolak cintanya. Maka keterasingan sudah dipastikan menanti. Untuk kasus terkahir  ini, salah satu sejarah yang tercatat adalah  melalui kisah ‘Ibu Siami’, masih ingatkah?

Memang, jika sudah terlanjur cinta maka  bukan perkara mudah bagi kita menjelaskan bahwa ada yang salah dalam cinta tersebut. Walau semua pasti merasakan ada ketidakwajaran yang terjadi. Putusan Mahkamah Agung  tahun 2009 jelas menyatakan penuhi dulu syarat yang diantaranya adalah peningkatan kualitas guru, baru kemudian mengeluarkan kebijakan UN. Namun, apakan daya. Putusan ini sepertinya tidak mampu memutuskan hubungan pendidikan di Indonesia dengan sang UN. Kasmarannya sudah memuncak.

Terakhir, jika kita semua sudah terlanjur cinta. Mari sisakan waktu untuk bertanya kepada mereka yang hari ini menjadi objek dari pelaksanaan UN. Apakah mereka yang duduk di tingkat akhir sekolah itu juga terlanjur cinta? Jangan-jangan para siswa itu selama ini tak ubah seperti pelakon Siti Nurbaya yang harus terpaksa berucap cinta. Mereka lakoni karena tak mampu melawan peran kekuasaan yang besemayam. 

Ah, mungkin benar sebuah nasehat bijak yang mengatakan jangan memberi nasehat kepada orang yang terlanjur cinta. Persis seperti UN ini. Bukankah mulai dari siswa, guru, bahkan para pakar sudah berteriak. Mulai dari sekedar perasaan sampai narasi akademik.  Namun kenyataanya?