Adalah kisah seorang ayah, tidak hanya mencintai anaknya sendiri namun juga mempunyai perhatian terhadap nasib anak di belahan dunia lainnya. Namun nasib berkata lain, keberadaannya dalam sebuah sasaran ‘serangan’ yang menewaskan banyak orang itu telah merubah cara pandang masyarakat dunia terhadap sosoknya. Termasuk pandangan dari anaknya sendiri.
Padahal keberadaannya disana adalah untuk sebuah misi kemanusiaan. Bahkan di tengah kepanikan orang yang ingin menyelamatkan diri masing-masing. Sang ayah ini masih menyempatkan diri untuk menyelamatkan para korban walau dia sendiri akhirnya menjadi korban. Apakan daya, selain nyawanya hilang. Malah tuduhan keterlibatan dirinya sebagai teroris dalam tragedi 9/11 itu yang kini beredar. Akibatnya, anaknya sendiri terseret dalam pusaran arus kebencian. Termasuk juga isteri dan apapun yang berhubungan dengan identitas sang ayah itu.
Deskripsi di atas memang bukan diambil dari cerita nyata. Inilah adalah sedikit kisah dari film ‘Bulan Terbelah di Langit Amerika’ yang baru tayang akhir tahun 2015. Film inspiratif yang lahir dari novel besutan Rangga Almahendra - Hanum Rais ini secara langsung mengingatkan tentang tragedi ‘Bom Sarinah’ yang terjadi pada Kamis pilu, 14 Januari 2016. Insiden yang menyebabkan (pada waktu itu) banyak orang sepakat menyatakan Jakarta berduka.
Sekarang? kita semua kembali berduka yang sedalam-dalamnya atas tragedi bom yang beruntun di Surabaya itu.
Kembali ke film tersebut...
Melihat rangkaian film itu penulis coba bertanya mengapa tuduhan mengalir begitu cepat? Di kisah ini adalah tuduhan kepada Sang ayah. Andai sejatinya tuduhan itu untuk menjatuhkan reputasi sang ayah (dan apapun yang berhubungan dengan identitasnya). Tidakkah terpikirkan efek berkepanjangan yang timbul, termasuklah dalam pola pikir anaknya. Anak teroris?
Di film itu, walau skenario akhirnya memulihkan nama baik sang ayah dan kemudian berbuah kebanggaan anak, istri dan tentu apapun yang berhubungan dengan identitas sang ayah itu. Tapi di dunia nyata pemulihan nama baik membutuhkan waktu yang super lama. Bahkan bisa jadi tidak akan terpulihkan bahkan sampai anaknya melahirkan generasi berikutnya.
Kita sepakat bahwa kejahatan terorisme adalah musuh bersama. Akan tetapi dalam membangun kesepakatan jangan sampai yang terlihat sebuah argumentasi dan ulah yang justru memunculkan riak permusuhan. Kesepakatan harus dibangun melalui gagasan-gagasan positif yang jauh dari spekulasi. Kesepakatan harus diikhtiarkan dengan rasa persatuan tanpa adanya tendensi. Kesepakatan harus diajarkan kepada generasi penerus dengan kosa kata edukatif, bukan diskriminatif.
Poin yang terakhir inilah barangkali yang menjadi salah satu keresahan Kemendikbud hinga mengeluarkan sebuah panduan dalam menghadapi aksi terorisme. Memang sebagai generasi dewasa –atau generasi tua, kita telah diinjeksikan dengan ego yang di atas namakan kecerdasan berpikir. Ego yang akhirnya membuat kita punya banyak alasan atas ucapan dan sikap yang diperbuat. Meski itu salah.
Barangkali Kemendikbud sangat sadar sudah seharusnya egoisme yang ada dalam diri kita tidak di wariskan kepada mereka yang hari ini masih hidup damai dengan dunianya. Itulah dunia anak, generasi yang selalu terpaksa masuk dalam arus konflik generasi dewasa – atau generasi tua- yang tidak diinginkannya. Walau sekalipun.
Dengan sangat sadar kita mengakui bahwa dunia mereka adalah himpunan kehidupan yang penuh dengan suka cita. Dunia yang selalu dihiasi canda tawa. Dunia mereka juga merupakan akumulasi cinta yang tidak dinodai sedikitpun oleh titik kemunafikan. Mudah-mudahan melalui panduan yang berisi poin bagaimana seharusnya orang tua dan guru membicarakan aksi terorisme terhadap anak itu. Diharapkan anak-anak kita bisa bebas dari berbagai pola pikir yang salah. Pola pikir yang selalu dihembuskan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Sekali lagi, hanya karena egoisme!
Akhirnya rumah dan sekolah dengan guru dan orang tua sebagai gardanya pertahanannya menjadi harapan dalam memberikan pemahaman yang utuh mengenai apa itu terorisme. Ketika informasi itu belum didapatkan secara utuh. Setidaknya para guru dan orang tua mampu mengarahkan rasa sensitif anak dengan tepat. Persis seperti salah satu poin panduan Kemendikbud: arahkan rasa kemarahan pada sasaran yang tepat, yaitu pada pelaku kejahatan, bukan pada identitas golongan tertentu yang didasarkan pada prasangka.
Satu lagi yang menjadi panduan dari Kemendikbud yang tidak kalah penting adalah mengenai paparan media. Sudah tidak dipungkiri lagi, akibat desakan kebutuhan informasi teraktual. Kadang media menyuguhkan pemberitaan yang minus verifikasi. Termasuk jugalah kita yang hari ini berkelana dalam arus media sosial. Menyebarkan tanpa memahami. Memang melalui kondisi yang demikian, sudah seharusnya mereka diberhentikan dari paparan media. Termasuk juga terhadap pemberitaan lain yang belum belum jelas kebenarannya.
Sebagai rangkaian kalimat penutup. Sebaiknya usaha pemerintah menyelamatkan generasi bangsa dari bahaya terorisme ini juga harus diiringi dengan sikap para pemimpin. Jangan sampai terorisme menjadi bagian dari sebuah kebiasaan yang tumbuh subur di negeri ini. Karena secara maknawi, kita juga harus menyadari teror atau ancaman itu bukan hanya bersifat ledakan bom atau serangan orang bersenjata saja. Pertikaian elit politik, korupsi yang merajalela, termasuklah kebijakan yang tidak pro rakyat juga merupakan bentuk ancaman bagi bangsa.
Untuk bentuk-bentuk teror terakhir ini juga kita dituntut bijak dalam memberikan penjelasan kepada sang anak. Bukan karena landasan sakit hati, kemudian membabi buta lantangkan suara kebencian. Lupa bahwa yang bersangkutan juga punya anak. Nah?
*Tulisan telah terbit di Kolom Republika, 18 Januari 2016
**(Catatan Ini dipostingkan kembali sebagai Apresiasi Terhadap Langkah Kemendikbud yang Hadirkan Panduan Pembicaraan Guru & Orang Tua dengan Anak tentang Kejahatan Terorisme)
BERIKUT PANDUANNYA:
Panduan Bagi Orang Tua
Panduan Bagi Sekolah