Membatasi Tontonan Di Era Kekinian






Berbagai sumber belakangan menceritakan bagaimana menyesalnya seorang Albert Einstein mengenai dampak dari teori relativitasnya. Penemuan yang menjadi dasar untuk membuat bom atom dan senjata nuklir itu memang spektakuler. Namun akibatnya berupa tragedi kemanusian menjadi catatan sejarah yang tidak terlupakan. Sebut saja tragedi Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 silam. Jika masih ingat, beberapa waktu lalu dunia sempat cemas dengan unjuk kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Korea Utara.

Mungkin begitu juga bagi Eadweard Muybridge yang pada tahun 1878 silam berhasil menemukan sebuah ‘gambar bergerak.’ Temuan yang kemudian menjadi sumber inspirasi munculnya era sinematografi. Atau bagi John Logie Baird yang dianggap sebagai penemu televisi pertama kali. Andai sekarang masih hidup, kedua ilmuan ini bisa juga menyesal atas temuannya.

Mengapa demikian? Sekarang kita sudah mulai diresahkan dari berbagai dampak tontonan. Diantaranya adalah dampak negatif bagi anak-anak. Keresahan memilah dan memilih tontonan sesuai usia seperti tidak ada habisnya. Apalagi bagi generasi milenial, tidak hanya melalui televisi atau bioskop. Cukup melalui smartphone yang di gengaman tangan, tontonan kegemaraannya bisa mereka akses kapan dan dimana saja.

Padahal sebuah lembaga sekelas American Academy of Pediatrics (AAP) dalam studinya tujuh tahun lalu telah menegaskan adanya dampak buruk bagi otak anak-anak jika berlamaan menonton televisi

Sebagaimana temuan Albert Einstein, kita tentu tidak bisa menyalahkan atau memboikot hasil kajian akademisnya. Ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan dan manfaatnya bisa jadi ada yang lebih besar. Demikian juga dengan kehadiran arus tontontan di era digital ini. Film misalnya, selain sebagai bagian dari konten industri kreatif yang dianggap salah satu input pembangunan ekonomi nasional. Film juga bisa dikatakan bagian dari kreatifitas, seni, dan sumber inspirasi. Bahkan amatan secara psikologis menyatakan bisa membantu penguatan kecerdasan majemuk (multiple intelligence) bagi anak.

Menjadi  Remote Control             

Memang tidak dapat dipungkiri. Derasnya arus informasi membuat para orang tua semakin cemas dengan kehadiran tontonan yang tanpa batas. Betapa tidak, secara fitrahnya usia anak termasuk kategori peniru ulung. Salah tontonan, bisa salah perilakunya. Meskipun telah ditetapkan beberapa golongan berdasarkan rentang usia. Seperti kategori Semua Umur (SU), 13 tahun ke atas (13+), 17 tahun ke atas (17+), dan 21 tahun ke atas (21+). Namun tetap saja berbagai kasus bermunculan.

Di bioskop misalnya, sering kita saksikan masih ada anak-anak yang menonton film tidak sesuai dengan usianya. Sementara itu, di rumah semakin sering kita saksikan anak terpapar berbagai film yang tidak layak baginya. Parahnya baik di bioskop ataupun di rumah tadi, para anak itu ternyata asik menonton bersama orang tua dan keluarganya. Lantas ketika anak beradegan tak pantas seperti film yang ditontonnya, orang tua harus menyalahkan siapa?
           

Untuk itu, para orang tualah yang harus segera mengambil sikap dan berperan dengan utuh. Diantaranya bisa berfungsi sebagaimana remote control.  Bagaimana caranya? Pertama, pastikan orang tua juga telah berhasil mengkontrol dirinya terhadap tontonan. Mengapa bisa terjadi ada anak melihat tontontan yang tak sesuai usianya? Bahkan bersama orang tuanya lagi. Jawabnya sederhana: karena orang tuanya sendiri. Dipastikan orang tuanyalah yang sebenarnya sakau terhadap tontonan tersebut.
           
Saat ini, bukan hal yang aneh juga ketika menyaksikan banyak balita yang di asuh di depan layar kaca. Hanya karena orang tuanya tidak bisa lepas dengan layar kaca itu sendiri. Termasuk juga tidak bisa lepas dengan gadget-nya. Akibatnya berjam-jam sang balita melek dengan tontonan. Padahal beberapa rekomendasi terkait jam tontonan sudah banyak dipublikasikan. Misalkan Prof. Matt Sanders, Direktur Pusat Parenting di salah satu kampus terkemuka Australia ini pernah merekomendasikan bahwa untuk usia sampai 12 tahun saja maksimal waktunya hanya satu jam sehari. Perintis Program Parenting Positif yang pernah bertandang ke Indonesia ini beranggapan menonton termasuk kegiatan pasif.
           
Lebih dari itu, bahkan banyak kasus perseteruan orang tua dengan anaknya hanya karena bentrok jam tayang tontonan kesukaan. Bahkan bentrok sesama orang tuapun sering terjadi. Dari kasus ini tidak sedikit yang berakhir pada penambahan jumlah televisi di rumah.

Kedua, orang tua harus konsiten dengan aturan yang dibuat. Ketika orang tua membuat aturan jam tontonan dan jenis tontonan apa saja yang bisa dilihat anak. Maka jangan sampai aturan ini ditabrak sendiri. Misalkan hanya karena kesibukan kerja, orang tua lantas teledor dengan memberikan ‘bonus’ tontonan pada anaknya. Orang tua juga harus menjadi contoh untuk berpuasa menonton pada waktu  sang  anak dilarang menonton. Deal?

Edukatif plus Solutif

Selanjutnya peran sebagai remote control jangan berakhir sampai disini. Ketika orang tua memainkan fungsinya tersebut, maka harus diiringi dengan pola yang edukatif - solutif.

Edukatif maksudnya adalah adanya pendampingan orang tua saat anak melihat tontonan yang disepakati aman. Anak-anak masih sangat rawan dalam menterjemahkan tontonan. Oleh karena itu seaman apapun, orang tua harus tetap mendampingi  dan menjelaskan. Terutama untuk tayangan yang absurd. Bisa juga dengan menguatkan pesan-pesan positif yang terdapat dalam tontonan tersebut.  Dengan demikian, aktifitas pasif dari menonton bisa kita ubah menjadi aktif. Anak-anak tidak hanya terpaku menonton saja.
           
Begitu juga ketika membuat aturan terkait adanya larangan terhadap suatu konten tontonan. Orang tua harus menjelaskan dengan baik dan bijak kepada anak. Tentu penjelasan yang harus disesuaikan dengan umurnya. Jangan sampai orang tua terjebak dengan keegoisannya dengan berucap ‘pokoknya tidak boleh, titik!’ Bentuk larangan yang otoriter seperti ini biasanya justru mendobrak rasa ingin tahu anak lebih liar.  
             
Sedangkan solutif maksudnya orang tua harus memberikan solusi disaat mengeluarkan aturan larangan tadi. Ketika anak dilarang menonton, apakah aktifitasnya sudah diarahkan? Misalnya jalan-jalan santai di luar rumah, bermain peran bersama, melibatkannya dengan aktifitas memasak di dapur, bersih-bersih kamar atau mobil dan lain sebagainya Banyak pilihan bagi orang tua. Hanya semua itu tergantung dengan semangat serta kemauan saja.

Nah, mulai sekarang apakah berani membatasi tontonan kepada anak? Berani menekan tombol off ketika ada tontonan yang berbahaya baginya? Jawabannya harus berani!