Sekolah Dan Budaya Lokal, Masih Bisakah "Kasmaran"?




Keterangan foto: Silat Pengantin Daik Lingga (sumber: youtube rian syah)

Kebudayaan memang menjadi salah satu topik pembahasan pada debat Cawapres yang digelar 17 Maret lalu. Namun terlepas bagaimana kita menilai semangat dari kedua kubu dalam memajukan kebudayan. Pastinya perlu untuk diketahui bahwa telah banyak unsur kebudayaan dan seni yang hampir bahkan sudah punah. Salah satu contoh terbarunya adalah hasil survei pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud pada Provinsi Kepri.
Sebagaimana yang dilansir dari laman resmi Kemendikbud bahwa diantara budaya yang hampir punah tersebut adalah seperti bejenjang, tari merawai, zapin penyengat dan teater bangsawan.
Kita yakin, tragedi di ujung kepunahan tidak hanya menerpa budaya seni di provinsi termuda ini saja. Masih banyak kisah pilu lainnya. Namun kondisi ini sudah lebih dari cukup menjadi alarm bagi kita semua. Terutama insan pendidikan di Indonesia.
Jika ingin jujur fakta terkikisnya rasa cinta generasi muda terhadap budayanya semakin mengkhawatirkan. Apalagi di tengah maraknya ekspansi budaya luar. Plus adanya dominasi akses kehidupan sosial media yang tanpa batas.
Padahal Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan kesepakatan yang sangat fundamental. Diantaranya adalah pendidikan telah diamini sebagai usaha sadar dan terencana. Bukan usaha yang didasarkan pada persespi atau politisasi semata. Selain itu, tujuan pendidikan juga telah disepakati untuk mengembangkan manusia seutuhnya. Bukan parsial.
Hanya saja permasalahannya apakah kebijakan pendidikan saat ini sudah totalitas menjalankan amanat kesepakatan itu?
Meskipun dulu sempat hadir pendidikan berbasis kurikulum lokal. Namun kemudian dianulir dengan hadirnya kurikulum baru. Akan tetapi untuk tidak ingin terjebak pada perdebatan kurikulum mana yang lebih bersahabat dengan kearifan lokal, tulisan ini hanya ingin memastikan kebutuhan untuk mengoptimalkan hadirnya budaya lokal melalui sekolah sudah sangat mendesak.
Tanpa ingin merusak hubungan kemesraan pemerintah dengan berbagai kebijakannya saat ini. Setidaknya pemerintah dalam hal ini Kemendikbud harus juga fokus pada kebutuhan penguatan budaya lokal di sekolah. 1.000 siswa yang tidak lulus matematika, satu bulan kemudian bisa lulus dengan ujian susulan. Tapi satu saja komponen budaya yang punah maka 1.000 tahun kemudian belum tentu bisa kita hadirkan kembali keberadaannya.
Mengapa Melalui Sekolah?
Tanpa mengeliminir peran yang lain. Sekolah sangat mempunyai nilai strategis sebagai wadah penguatan budaya lokal. Selain karena merupakan bagian dari sistem pendidikan di daerah. Keberadaan sekolah otomatis akan selalu bercengkerama dengan lingkungannya.
Dalam hal pembelajaran, sekolah juga sudah mempunyai struktur kurikulum yang terukur. Oleh karena itu, langkah efektif yang bisa dilakukan untuk mengakrabkan sekolah dengan budaya lokal adalah melalui pembelajaran.
Proses pembelajaran bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, pembelajaran formal baik yang terintegrasi dalam mata pelajaran maupun pada pelajaran khusus. Untuk pelajaran khusus biasanya sudah sering dilakukan. Misalnya mata pelajaran seni dan budaya daerah. Namun untuk pembelajaran yang terintegrasi ini jarang dilakukan. Apalagi mata pelajaran yang masuk dalam list Ujian Nasional (UN).
Biasaya orientasi mata pelajaran UN hanya pada penyelesaian soal-soal semata. Contoh sederhana pembelajaran yang terintegrasi itu seperti memberi soal matematika dengan contoh objek rumah adat. Jadi sambil menyelesaikan soal, siswa mendapat input informasi tentang rumah adat daerahnya. Bisa juga ketika belajar peluang, contoh soalnya bisa menggunakan sampel huruf yang tersusun dalam bahasa daerah. Ini baru contoh sederhana. Banyak hal jika ingin dikembangkan.
Kedua, pembelajaran ekstrakurikuler (eskul). Kegiatan eskul siswa juga seharusnya bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta pada budayanya. Tidak salah jika di sekolah ada eskul modern dance. Namun sebaiknya juga harus diimbangi dengan eskul tarian daerah, wayang dan kesenian daerah lainnya.
Ketiga, pembelajaran melalui interaksi keseharian. Di luar pembelajaran. Interaksi guru dengan siswa juga jangan terlepas pada budaya lokalnya. Misalkan sekolah di beberapa daerah sudah menggunakan pakaian daerah di hari tertentu. Hanya saja perlu dilakukan internalisasi filosofi, tata cara berpakaian dan perilakunya. Bukan hanya menggugurkan kewajiban melalui seragam semata.
Membangun Kolaborasi
Salah satu rekomendasi RNPK 2019 adalah memperkuat pelibatan publik dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan. Bahkan salah satu dari agenda strategis pemajuan kebudayaan hasil Kongres Kebudayaan 2018 adalah melindungi kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Untuk itu, upaya mengakrabkan budaya lokal melalui sekolah juga harus berlanjut. Langkah lanjutan awalnya adalah di lingkungan keluarga. Disini perlu komunikasi yang lancar dan hubungan yang harmonis antara sekolah dengan para orang tua. Selagi tidak bertentangan dengan syari’at. Kehidupan berkeluarga haruslah tetap menjaga kelestarian adat istiadat. Selanjutnya perlu dukungan dari media, terutama media lokal.
Di saat menghadapi pertumbuhan generasi milenal yang akrab dengan dunia teknologi-informasi. Media sekiranya perlu memberikan literasi yang bernafaskan budaya lokal. Beberapa media misalnya telah menyediakan satu kolom yang kontennya bertuliskan bahasa daerah.
Terakhir, untuk menguatkan itu semua pastilah diperlukan dukungan dari pemerintah. Perlu hadir legitimasi yang mengatur agar sekolah bisa leluasa beraktifitas agar para guru berani berimajinasi membangun jati diri siswanya. Tidak hanya terjebak dengan sederetan rutinitas administratif belaka.
Landasan konstitusional negara dengan sangat jelas mengutarakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Maka ketika pemerintah ingin memajukan kebudayaan nasionalnya. Maka budaya-budaya lokal masyarakatnya haruslah dihidupkan.
Meskipun Samuel P. Huntington berpendapat bahwa kebudayaan dapat menjadi kekuatan pemecah belah sekaligus pemersatu. Namun jika budaya lokal bangsa telah diperkuat. Kebudayaan nasional pasti akan menjadi perekat untuk masyarakat bersatu.
Selanjutnya dengan budaya lokal yang kokoh, kebudayaan nasional tidak akan ragu lagi untuk berekspansi di tengah derasnya arus globalisasi. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi khawatir tarian yang dibajak. Juga tidak akan takut makanan khas dijiplak.
Semua berawal dari sekolah yang sudah kasmaran dengan budaya lokalnya. Injeksi budaya lokal tidak lagi dianggap beban hanya karena dititipkan dalam kurikulum. ***

***Tulisan terbit di Suara Karya, 24 Maret 2019