Saatnya Kokohkan Koalisi, Di Mulai Dari Keluarga...



Pastinya tulisan ini bukan tentang siapa yang ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden pada tanggal 25 Mei 2019 -bisa jadi dipercepat menjadi tanggal 24- mendatang oleh KPU RI. Bukan sama sekali. Bukan juga tentang arah partai politik yang sedang bersiasat mempertahankan perolehan suara di Pileg 2019 ini. Tidak sama sekali.

Memang sebelum ataupun sesudah pemilu kali ini. Arus perbincangan masih menempatkan ranah politik di posisi teratas. Selain tentang dua kandidat yang berkompetisi menuju RI-1 dan RI-2. Suasana perpolitikan juga semakin power full dengan adanya kompetisi meraih kursi di DPRD, DPR, dan DPD. 

 Tidak hanya di sosial media yang suhu time line semakin panas dengan saling dukung plus saling serang. Hampir di semua sisi. Mulai dari ulasan media, di rumah, di kendaraan umum, di sekolah, di warung nasi, di tukang sayur. Bahkan - maaf- toiletpun tidak ketinggalan. Semua pembicaraan nyaris berisi topik yang sama.

Satu sisi adalah wajar, karena memang ini adalah tahun politik. Semua aktifitas terutama bagi sang kandidat memang susah untuk dipisahkan dengan kerja-kerja politik. Begitu juga dengan sang pendukung, relawan atau apalah sebutannya. Tensi pembicaraannya juga dapat ditebak. 

Namun, jika semua aktifitas sudah tercurah ke ranah ini. Apakah kemudian harus menenggelamkan ranah yang lainnya? Termasuk diantaranya ranah pendidikan yang sebenarnya berfungsi vital dalam melahirkan para generasi yang akan berkompetisi di ring perpolitikan bangsa. Sementara itu, saat ini kondisi pendidikan kita masih banyak celah yang mengkhawatirkan.

Mengapa mengkhawatirkan? Pertama, hadirnya kebijakan pendidikan kadang sulit kita pahami. Bukan kontennya, tetapi tujuannya. Apakah murni untuk tatanan pendidikan agar lebih baik. Ataukah sebaliknya. Hanya untuk popularitas. Lagi-lagi terkait politis.

Kedua, akibat dari kebijakan yang demikian. Kondisi pendidikan kita justru bukan memberikan jalan perbaikan bagi generasi muda. Sebaliknya, yang muncul justru suasana kebatinan yang harap-harap cemas terhadap generasi yang dididik tersebut. 

Sebut saja salah satu contohnya adalah tawuran di kalangan anak SD atau ‘goyang’ bersama saat pesta kelulusan. Juga merambah ke tingkat SD. Apakah kejadian ini akan kita anggap sebagai angin lalu?

Waspadalah bibit itu sudah mulai menyebar. Sudah merambah ke satuan pendidikan dasar. Belum lagi kisah dramatis perlakuan guru yang tidak senonoh kepada siswanya. Juga virus kekerasan orang tua ke anaknya. 

Ketiga, maka akibatnya lagi akan muncul rasa tidak saling percaya. Sekolah ke pemerintah. Guru ke sekolah dan seterusnya. Terbentuklah lingkaran yang apatis. Instruksi dilakukan hanya karena menggugurkan kewajiban. Bukan karena tanggung jawab moral dan profesi. Guru mengajar hanya memenuhi jam ajar. 

Orang tua juga demikian, merasa lepas tangan jika anaknya sudah di sekolah. Guru pun ikut-ikutan, kejadian di luar sekolah bukan tanggung jawabnya. Jika anak meraih prestasi, masih bisa saling klaim keberhasilan. Namun jika ada masalah. Siapa yang dengan sigap paling depan bertanggung jawab?

Kokohkan Koalisi
Terlepas posisi pemerintah yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan politis. Namun harus ada yang berani menjawab pertanyaan tentang siapa yang harus bertanggung jawab terhadap fakta-fakta yang meresahkan publik. 

Cara menjawabnya bukan dengan menunjuk dada secara personal. Tapi harus secara komunal. Keluarga, masyarakat dan sekolah haruslah bersatu. Istilah popular dalam perpolitikan saat ini adalah berkoalisi. Koalisinya harus kokoh. Bukan setengah hati.

Ada dua hal pokok yang harus dipahami agar terciptanya kekokohan koalisi ini.

Pertama, memahami bahwa tujuannya kita bersama hanya satu yakni tentang kebaikan generasi penerus. Kedua, dengan memahami bahwa mereka juga adalah generasi milik bersama. Mungkin sekarang belum terasa milik bersamanya. 

Yakinlah ketika mereka sudah mengisi panggung-panggung di republik ini. Baru kita akan merasakan. Salah langkahnya, bukan hanya menyengsarakan keluarga atau mencoreng nama baik sekolah. Tapi akan dirasakan oleh banyak pihak. 

Sebaliknya, bijak dalam bersikap maka kebijaksanaannya akan memberikan kebaikan pada kita semua.Persis seperti yang kita rasakan terhadap apa yang dilakukan para pemimpin di negeri sekarang ini. 

Salah satu langkah pemerintah yang menghadirkan sistem zonasi sekolah sebenarnya bisa menjadi pemicu bersatunya tiga komponen ini. Sistem zonasi seharusnya secara psikologis akan menghadirkan tanggung jawab keluarga dan masyarakat untuk menjadikan sekolah di sekitarnya lebih baik. Karena tidak ada pilihan, itulah yang akan menjadi tempat belajar anaknya. 

Seharusnya alur berpikir normalnya demikian. Tentu dengan catatan kebijakan ini harus disertai dengan kesiapan pemerintah untuk terus menstimulus agar gurunya berkualitas secara merata. Termasuk kualitas pendapatannya.

Selain itu, peran lainnya yang bisa memanggil tanggung jawab keluarga dan masyarakat agar semakin peduli adalah dengan melahirkan semacam Poskamling. Jika Poskamling dijadikan sarana keamanan lingkungan. Mengapa kita tidak melahirkan pos sejenis ini? Misalkan dengan nama Poskamdik alias Pos Keamanan Peserta Didik.

Di era teknologi yang canggih, pos ini tidak harus berbentuk bangunan. Poskonya bisa dibangun di dunia maya, misalnya melalui pembuatan aplikasi khsusus atau bisa juga dengan WhatsApp Group. Mekanisme bisa dibentuk perwakilan pengurus yang terdiri dari perwakilan tokoh masyarakat setempat, orang tua dan guru. Di media ini, semua bisa berbagi peran untuk mengawasi anak-anak di sekitar tempat tinggal secara bersama.

Raih Kemenangan
Andai kita sudah saling bergandengan tangan. Kemenangan itu sudah di tangan. Namun perlu diingat bahwa persoalan pendidikan hari ini bukan sekadar melahirkan anak cerdas intelektual. Sarana untuk pemenuhan asupan intelektual sudah banyak tersedia. Mereka kadang lebih cerdas dari yang kita duga. 

Masalah utamanya adalah mengenai kasus degradasi moral dan pengikisan karakter. Karena sarana mereka untuk terjebak dengan perilaku negatif ini juga bertebaran. Misalnya, berdasarkan laporan KPAI (2017) setidaknya terdapat kasus video pornografi yang korbannya lebih dari 750 ribu anak.

Selain itu juga dinyatakan adanya kasus-kasus bullying yang masih terjadi di sekolah-sekolah. Pada tahun 2018, lembaga ini juga menerima sejumlah laporan dari para pemilik apartemen terkait dugaan maraknya praktik prostitusi yang melibatkan anak.

Nah, para keluarga, masyarakat dan sekolah seharusnya merasa menang dan senang jika di sekitar tempat tinggalnya tidak terdapat kasus kejahatan seperti di atas. Siap? Kita harus memulai telepas dari pilihan politik kita saat ini.


***Tulisan terbit di Suara Karya, 18 Mei 2019