Pancasila dan Sistem Zonasi Sekolah

gambar: penguman sistem zonasi di salah satu sekolah

Saya Indonesia, Saya Pancasila! Mayoritas masyarakat sudah sangat familiar dengan slogan ini. Bahkan sewaktu baru dilahirkan – tepatnya pada kemeriahan Pekan Pancasila tahun 2017 – slogan ini langsung viral. Terutama di sosial media (sosmed). Bahkan sampai sekarangpun masih tetap digunakan sebagai upaya branding diri. Juga pemantapan diri sekaligus menegaskan sikap sebagai seorang yang Pancasilais.

Dalam konteks rasa, upaya ini patut diacungi jempol. Apalagi strategi ini dipandang efektif menyasar kepada generasi milenial. Generasi yang menjadi cikal bakal penerus kepemimpinan bangsa saat ini. Generasi yang notabene banyak menghabiskan waktunya di akun-akun sosmed.
Oleh karena itu, langkah membumikan Pancasila sebaiknya juga harus menyentuh makna kepada diri mereka. Tujuannya agar Pancasilaisnya tidak terhenti hanya sebatas tagar (tanda pagar). Tetapi teraktualisasi dalam aktifitasnya. Tentunya semua ini dapat terwujudkan ketika mereka telah menikmati rasa sekaligus makna dari Pancasila itu sendiri.


Sistem Zonasi
Pada tahun 2017 juga, Pemerintah melalui Kemendikbud telah mengeluarkan peraturan mengenai sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Usaha pemerintah melalui kebijakan ini setidaknya mendekati kongruen jika dikaitkan sebagai semangat menginternalisasikan nilai-nilai luhur Pancasila.

Jika dilihat dari peraturannya -untuk saat ini merujuk pada Permendikbud No. 51/2018- semangat itu dapat dilihat dari dua konteks. Pertama, dalam salah satu pasalnya dinyatakan bahwa PPDB harus berdasarkan pada 5 hal, yaitu nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Kedua, sebagai bentuk langkah konkrit dari pelaksanaan ini, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan zonasi sebagai salah satu jalur pendaftarannya. Jalur berdasarkan domisili ini bahkan mengalokasikan kuota paling sedikit 90 persen dari daya tampung sekolah.

Meskipun sampai sekarang masih mendapat pertentangan. Kebijakan ini setidaknya akan menghilangkan beberapa konsep yang selama ini bersarang dalam mindset kita. Diantaranya adalah hilangnya kasta sekolah favorit.

Hadirnya sekolah favorit sebenarnya secara tidak langsung menciptakan suasana eksklusif pada siswa. Juga pada guru dan orang tua siswa sendiri. Bisa jadi kelak sifat ini bertransformasi menjadi ‘eksklusivisme.’ Hanya sekolahnya saja yang maha benar dan maha pintar. Bahaya bukan?

Sementara itu, bukan rahasia umum jika sekolah favorit biasanya menjadi anak emas. Investasi baik yang berasal dari pemerintah maupun swasta datang silih berganti. Alasannya sederhana. Alumninya bertebaran. Aksesnya mudah. Walhasil gurunya juga ceria nan cerah. Kepala sekolah bergairah.

Kondisi ini berbeda jauh dengan sekolah ‘sisa.’ Banyak kejumudan disini. Guru butuh kerja keras untuk mengupgrade kemampuan siswanya. Sementara gurunya sendiri jarang berkesempatan mengupgrade diri. Dari sini juga biasanya muncul ‘pemberontakan’ siswa. Baik kepada dirinya maupun gurunya. Walhasil juga, mereka mencari jalan eksistensi dengan jalannya sendiri. Maka kemudian kitapun disuguhkan dengan hal yang tidak diinginkan. Aksi tawuran dan sebagainya.

Tabir yang sudah terbuka ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Bagaimana mungkin kelak kita bercerita tentang indahnya Pancasila. Sementara mereka ditakdirkan terus berpisah dalam lakon borjuis vs proletar?

Zonasi Guru?
Apakah kebijakan zonasi ini otomatis akan menghilangkan permasalahan seperti di atas? Tentu tidak serta merta. Keberhasilannya tidak hanya terhenti dengan peraturan semata. Kehadiran metode zonasi dalam PPDB harus diiringi dengan hal lainnya. Paling tidak ada tiga hal utama yang harus beriringan dengannya.

Pertama, pemerataan kompentensi guru. Apakah harus zonasi guru juga? Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan jika bicara guru. Kompetensi dan kompensasi.

Seiring usaha menghilangkan kasta sekolah melalui siswa. Pemerintah juga harus serta merta menghilangkan kasta gurunya. Guru PNS, Guru swasta, Guru honorer, Guru Tidak Tetap (GTT) dan sebutan lainnya. Tentu ‘pelabelan’ ini seirama dengan perbedaan pendapatannya bukan? Kait kelindan kompensasi dengan kompetensi kadang susah untuk diuraikan.

Kedua, pemerataan sarana dan prasarana. Kerja keras untuk memberikan sarana yang mendukung dalam proses pembelajaran harus digesa. Dalam evaluasi kinerjanya tahun 2018. Kemendibud mengakui perosalan ini belum bisa dilakukan secara optimal. Bahkan masih banyak yang belum terpenuhi.

Ketiga, penguatan akses. Persis akhir bulan April (30/4), Pemerintah melakukan uji coba teleteaching pada guru yang di Natuna (Kepri), Timika (Papua) dan Jakarta sekaligus. Kegiatan ini sebagai bentuk pemanfaatan proyek Palapa Ring Barat (PRB) dan Palapa Ring Timur (PRT). Model pendekatan akses semacam ini tentu akan mengeliminir salah satu masalah terkait akses.


Nah, kerja ini memang berat. Namun masih ada waktu dan jalan untuk merealisasikannya. Anggaran pendidikan harus tepat sasaran. Dengannya kita berharap semua ketimpangan ini segera berakhir. Kasta-kasta itu harus dianulir. 

Jadi, ketika ketiga aspek ini juga utuh diperhatikan. Kebijakan zonasi PPDB sebenarnya bisa menjadi pintu penutup ketimpangan di dunia pendidikan. Bukankah ini juga bagian dari ikhtiar membumikan nilai-nilai Pancasila itu?

Selamat menempuh proses PPDB 2019. Semoga tercipta keadilan sosial bagi seluruh siswa Indonesia 

***Tulisan terbit di halaman Sahabat Keluarga Kemendikbuddan juga tayang di laman batamtoday