Mari Berduka, Walau Hanya Satu Jam Saja!



SETELAH sebelumnya pada Selasa (9/7/2019) Bareskrim Polri berhasil menangkap pelaku grooming yang merupakan narapidana. Korban dari perilaku biadab ini baru berhasil diidentifikasi sebanyak 50 orang anak. Sementara di emailnya masih terdapat seribuan foto/video anak tanpa busana. File tersebut didapat pelaku setelah berhasil mendekati para korban melalui akun sosial medianya.

Selanjutnya, Kamis (25/7/2019), kembali Polda Metro Jaya berhasil menangkap pelaku grooming yang lainnya. Melalui pola pendekatan yang sama. Tidak hanya melalui sosial media. Kali ini, pelaku menggunakan aplikasi games online untuk menyasar korbannya. Targetnya lagi-lagi anak di bawah umur.

Sampai di sini, sebagai orang tua masihkah kita bisa tertawa? Mengingat berbagai jenis media sosial plus games online itu bukan barang langka bagi anak zaman sekarang. Maka dan dapat dipastikan, mereka sudah menjadi pasar dari para pelaku. Jika abai, mereka hanya menunggu waktu untuk disasar pada tahap berikutnya 'Jual - beli.'

Wabah Tersembunyi
Setiap hari. Kadang pagi. Kadang malam. Sesekali seharian alias siang-malam. Di sudut luar tempat biasa penulis beraktifitas. Ada sekawanan anak. Berjumah 4-7 orang. Kadang mereka hanya berempat. Kadang personilnya lengkap. Tujuh orang. Usia mereka di antara 6-9 tahun. Mengapa mereka disana? Jawabannya bermain game online.

Setiap hari. Mereka didekati. Dinasehati untuk kembali ke rumahnya. Berkali-kali pula mereka menjawab dengan jawaban ala politisi. Alasannya banyak. Namun satu dari sekian banyak alasan yang selalu terngiang itu adalah 'kenapa situ sewot, ortu kita saja nggak melarang' Jleb. Saya kalah telak!

Bak peribahasa zaman dulu sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kondisi yang dianggap mengkhawatirkan ini tentu saya lapor dengan kerabat kerja. Dengan harapan mendapatkan jalan keluar mengatasi sekawanan bocah tadi.

Namun bukan solusi yang didapatkan. Malah jawaban yang kurang lebih sama seperti yang dilontarkan anak-anak tadi. Kerabat inipun menjawabnya sambil sibuk menatap layar gadget dengan tangannya yang bergerak kesana kemari. Bermain game online.

Inilah wabah yang tersembunyi. Bergerak menjalar tak terlihat. Kita hanya tahu bahwa itu wabah ketika pertahanan sudah mulai ambruk. Ketika anak-anak itu (dan kita sendiri) sudah menjadi korban. Sampai disini kemana obat akan dicari?

Sebuah lembaga penduli anak internasional, termasuk pada kasus grooming ini, NSPCC (National Society for the Prevention of Cruelty to Children) menjelaskan bahwa perilaku ini merupakan upaya seseorang untuk mengeksploitasi bahkan sampai pada pelecehan serta perdagangan anak melalui berbagai pendekatan yang diantaranya dengan membangun kepercayaan dan kedekatan emosional. Bukankah pendekatan itu yang semestinya dibangun oleh orang tua terhadap anak - anaknya?

Reposisi Fungsi Keluarga
Meskipun tiap tahun jelang peringatan Hari Anak Nasional (HAN) pemerintah selalu menganugerahi Kota Layak Anak (KLA) kepada daerah yang terpilih. Dimana banyak daerah berkompetisi untuk meraihnya. Namun program ini tidak akan membawa dampak signifikan jika 'layak anak' hanya terpetakan dalam ruang fisik belaka. Bukan pada aktifitas serta keramahtamahan kaum dewasanya (baca: orang tua) terhadap anak-anak tersebut.

Mulai dari tutur kata. Sampai pada upaya rasa bertanggungjawab kepada anak secara bersama. Oleh karena itu, tidak perlu menunggu hadirkan anugerah KLA yang baru, alias Keluarga Layak Anak. Setiap keluarga harus kembali mereposisi fungsinya. Dari hanya sekedar fungsi biologis yakni melahirkan dan membesarkan. Tapi juga harus sampai pada fungsi metamorfosis, yakni memahami step by step perubahan anak. Mulai dari perubahan fisik sampai psikologisnya dengan tidak ada yang terlewati.

Fungsi biologis biasanya hanya dipahami dengan rentang tertentu. 6 bulan, satu tahun, usia SD, usia SMA dan batasan lain yang pada umumnya digunakan. Sementara rentang metamorfosis tidak demikian. Bahkan detik perdetik perubahan anak harus masuk dalam catatan historis di memori harian keluarga.

Jika fungsi yang kedua ini terlewati. Kita akan gagap dengan pertumbuhan anak. Sadarnya ketika anak sudah mulai beranjak dewasa. Disaat mereka telah mempunyai 'tangkisan' kejutan. 'Mengapa Bapak ikut campur? Mama kemana saja selama ini' Dan lain sebagainya yang membuat para orang tua hanya memiliki dua pilihan. Diam atau malah melawan dengan kekerasan fisik maupun verbal.

Perlawanan yang terlambat tentunya. Karena hanya akan menghasilkan perlawanan baru lagi. Anak semakin lari dan menjauh dari ruang keluarganya. Memilih ruang baru. Ruang yang baginya aman dan menentramkan.

Jika kita perhatikan kembali bahwa pada umumnya pelaku kejahatan pornografi terhadap anak itu memulai aksinya dari celah ketiadaan perang orang tua. Dari sini mereka masuk untuk mensubtitusikan dirinya. Jangankan sang anak. Anak sesusia dewasa saja banyak yang salah pilih teman curhatnya. Alasanya klasik, ruang komunikasi bersama orang tua yang membeku.

Terakhir. Canda tawa serta saling sindir penguasa saat bertarung merebut tahta. Kebisingan politisi yang datang silih berganti. Keduanya memang sedang asyik menghiasi media. Andai memang ini semua tidak bisa dinafikan untuk hilang dari gaya politik di tanah air. Tapi, paling tidak di tengah berita duka anak yang bertubi ini. Berhenti dan kemudian berempatilah walau sejenak. Jika tidak bisa satu hari. Cukup satu jam saja.

Satu jam untuk serentak kita sadari bersama bahwa dunia anak semakin terhimpit sakit. Satu jam saja untuk kita menahan tawa. Menahan canda. Termasuk menahan aktifitas di sosial media.

Mari kembali untuk beramah tamah kepada mereka. Menatapnya dengan penuh cinta. Melihat apakah ada jejak yang tersakiti. Baik menggores fisik maupun yang melukai jiwanya. Untuk mereka yang telah menjadi korban. Mari kita lantukan do'a dan sekaligus ucapkan rasa turut berduka. Meskipun sejenak, satu jam saja. Meskipun derita ini bukan menimpa (anak) kita!


***Tulisan terbit dengan judul yang sama di Batamtoday, 5 Agustus 2019