Memprediksi Takdir Kurikulum Baru





Seperti biasa ketika ingin melahirkan kurikulum baru. Pemerintah selalu menghembuskan angin segar perubahan. Hembusan itu sekaligus diiringi dengan keterpaksaan membuat rapor merah kurikulum sebelumnya. Begitu jualah yang terjadi dengan kurikulum 2013. Kebiasaan itu persis terungkap ketika membaca artikel ‘Kurikulum 2013'  yang ditulis sekaligus hak jawab Menteri Pendidikan Nasional yang pernah terbit di salah satu media nasional beberapa waktu lalu. Secara sistematis Mendikbud mematahkan argumentasi yang kontra dengan kebijakannya tersebut.

Wajar, karena sebagai pimpinan dalam mengeksekusi, tidak mungkin Pak Menteri membeberkan kelemahan kurikulum baru. Padahal logika sederhana, selalu ada celah kegagalan dalam menggelontorkan kebijakan. Namun kali ini bak malaikat, kurikulum 2013 diklaim super top  bahkan dianggap dewa penyelamat. 


Hasrat dan Arogansi
Pendidikan saat ini dianggap gawat darurat sehingga nafsu pemberlakuan kurikulum sudah tidak dapat dicegah lagi. Ketidaksiapan guru segera dijawab dengan kesiapan melaksanakan pelatihan kepada guru pilihan secara estafet. Kekhawatiran proses distribusi buku dijawab dengan menyiapkan pencetakannya sejak dini. Terima atau tidak, asumsi berkesimpuan bahwa kekacauan UN tahun ini merupakan rentetan yang tidak bisa dipisahkan dari usaha mempersiapkan kurikulum baru. Sampai pemerintah akhirnya teledor mempersiapkan agenda yang ada di depan mata. Inilah gambaran betapa kuatnya hasrat untuk memberlakukan kurikulum baru. 

Sayangnya jawaban untuk ‘meyakinkan' itu hanya berdasarkan satu perspektif. Pihak Kementerian berlogika dengan semua dalihnya masalah pemberlakukan kurikulum selesai. Kesan mengenyampingkan suara kontra juga terlihat kental. Hanya suara pro yang sering dipublikasikan dan dipakai sebagai legalitas memperkuat dukungan. Harusnya kita tidak melupakan bahwa gurulah yang merupakan eksekutor sebenarnya. Faktor kesiapan guru tidak bisa diklaim sukses hanya setelah diberikan sosialisasi. 

Klaim mendapat dukungan dan tidak peduli dengan kritikan justru akan memunculkan antipati. Terlebih ketika membaca tulisan penutup pemimpin Kemdikbud itu. Dengan penuh percaya diri beliau menulis ‘Ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah ditetapkan UU sisdiknas sebelum mengkritik.'  Kalimat ini jelas bukan hanya sebagai bentuk kritik balik terhadap kritikan yang muncul. Lebih dari itu, Pak Menteri ingin menyatakan kritikan yang mencuat terhadap gagasannya itu adalah buah dari ketidakpahaman. 

Wajar jika akhirnya di kelas-kelas pembelajaran sering terjadi arogansi intelektual seperti itu. Ketika guru telah merasa meguasai siswa. Pendapat dan kritikan siswa kadang selalu divonis sebagai ketidakpahaman. Guru selalu benar dan hanya siswa yang memiliki kemungkinan salah telah menjadi jargon di kalangan siswa sendiri. Dampaknya kreatifitas siswa dalam mengekspolarasikan intelektual, bakat, dan minatnya tereduksi oleh berbagai instruksi guru. Bagaimana kurikulum 2013 dianggap mampu meningkatkan kreatifitas siswa dan guru? Kebijakannya saja lebih kuat bernuansa instruksi dan siap saji serta mengedapankan arogansi.

Tawaran Ilusi
Dari fenomena tersebut, menatap optimis keberhasilan kurikulum 2013 bagaikan ilusi. Rasa pesimis juga semakin diperkuat ketika adanya petisi yang menolak pemberlakuan kurikulum baru.  Karena sampai saat ini petisi tetap tidak mengubah hasrat Kemdikbud. Justru semakin menguatkan semangat untuk berteriak bahwa tidak ada yang bisa menunda bahkan menolak kurikulum 2013. 

Selain itu, tidak puas dengan mengkastakan sekolah melalui indentitas ‘standar internasional' dulunya. Kini pengkastaan sekolah kembali terjadi. Alangkah lucunya dalam setiap daerah hanya beberapa sekolah yang melaksanakan kurikulum baru. Ada sekolah kurikulum baru, ada sekolah kurikulum lama. 

Sekolah yang tidak terpilihpun akan merasa tersisih. Apa bedanya sekolah yang terpilih dengan yang tidak? Bukankah jika Kemdikbud mengklaim kurikulumnya bagus, seharusnya dapat dirasakan oleh setiap sekolah? Terutama bagi sekolah yang dianggap tertinggal. Bukan malah memilih sekolah yang bagus. Alih-alih nantinya mengklaim lagi kurikulumnya berhasil di sekolah yang bagus itu. Toh sekolahnya memang sudah berprestasi dari awal. Bukti ketidaksiapan Kemdikbud dalam mengakui kegagalan nantinya.

Jika endingnya Kemdikbud tetap ngotot. Kata ‘jika' penulis gunakan, karena masih berharap dan ada kesempatan Kemdikbud membukakan mata hatinya. Sangat dipastikan kurikulum 2013 tidak lebih sebagai pelengkap administrasi setiap sekolah. Dinas Pendidikan provinsi/kabupaten/kota yang diharuskan menjadi tim sukses akan memainkan perannya. Karena atasannya tanpa ragu meminta anggaran triliunan atas nama kurikulum. Tanpa ragu pula dan merasa telah mendapat restu. Anggaran pendidikan di daerahpun akan dialokasikan untuk beberapa hal terkait kurikulum.

Anggaran akan terus mengucur habis. Padahal di sisi lain ada begitu banyak sekolah yang berada dalam nuansa menyedihkan. Jangankan untuk bicara kurikulum baru, bicara bangku baru atau atap baru saja susah. Masih adanya para pendidik yang dibayar dengan honor memprihatinkan juga penting untuk diperhatikan. Karena tanpa kurikulum baru, sekolah akan tetap jalan. Tapi tanpa guru apalagi guru yang dengan dedikasi serta semangat tinggi. Sekolah akan tenggelam.

Di bayangi dinas pendidikan daerahnya, Kepala Sekolah juga akan tertunduk untuk menerima. Gurupun akan terpaksa mengikuti arahan. Ada yang dikutsertakan ke berbagai pelatihan dan pendampingan. Bahkan diantaranya ada yang dipaksa menjadi guru untuk sesama rekan guru. 

Nah, dalam kondisi ini akan terdapat lagi sebuah kesenjangan baru. Apakah ada jaminan guru pilihan tersebut secara aklamasi diakui kompetensinya di sekolah? Kalaupun ya, bagaimana hubungan emosionalnya dengan sesama guru? Dua hal yang menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan guru untuk ‘mengajari' guru.

Guru hebat tidak hanya bisa dilihat dari kompetensi akademik atau penguasaan kurikulum semata. Tidak percaya? Coba tanyakan kepada seluruh siswa atas dasar apa mereka menempatkan seorang guru sebagai guru favoritnya. Hubungan emosional yang berbuah keakraban akan lebih membantu seorang siswa untuk semangat belajar.

Terakhir, melalui guru yang dianggap mengerti terhadap kurikulum baru itu. Mungkinkah dijamin dapat membawa perubahan positif dalam pembelajaran? Seperti yang dikatakan di atas. Semua hembusan angin segar perubahan tersebut hanya melenakan. Nasib kurikulum baru tidak hanya sama dengan para sepuhnya. Kelenaan atas kehadiran kurikulum baru, tanpa sadar  juga akan menjadikan pendidikan bangsa kembali terpuruk. Demoralisasi kaum terpelajarpun akan mengkristal. 

Pastinya, kita tidak ingin nasib penyajian kurikulum baru seperti Ujian Nasional tahun ini. Bukti ketidaksiapan yang akhirnya berbuntut pada turunnya harkat pendidikan bangsa. Pendidikan yang seharusnya menyelesaikan persoalan justru menambah beban penderitaan. Jangankan bicara kualitas, yang bakal terjadi itu uang negara yang selalu terkuras. Lantas, apa jadinya pendidikan bangsa melalui kurikulum yang ‘dipaksakan' ini?  (*)

****Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  pada kolom PENDIDIKAN tanggal 24 Juni 2013 di media  Harian Online Kabar Indonesia

------
Nah, bagimana prediksi umur K-Merdeka? Sederhana, jika banyak muatan kepentingan yang notabene itu semua di luar azaz pendidikan  + investasi-investasi politik dengan berbagai tujuan. Jika demikian, dapat dipastikan umurnya tak akan bertahan lama dibanding K-13. Bahkan mungkin, tumbang sebelum berkembang.  Wallahu a'lam.