Guru dan Tragedi Kurikulum

Sebagai pen­didik, kabar pe­ru­bahan kuri­kulum tentu menjadi sebuah berita yang sangat sensitif.  Rasa ini bukan berarti ada­nya ketidaksiapan meng­hadapi perubahan. Tentu tidak. Sebagai seorang guru, perubahan adalah pilihan jika memang mengisyaratkan akan buah kebaikan. Jika peruba­han hanya sebuah tawaran kamuflase,  bukan tidak mungkin justru hanya menam­bah beban dan ketimpangan proses pembelajaran. Tawaran akan perubahan sebaiknya harus dikaji ulang. Bisa jadi harus diabaikan.

Secara yuridis, Undang-undang Sisdiknas mendefi­niskan kurikulum sebagai  seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.  Dari definisi yang telah disahkan oleh peme­rintah ini dan pembahasan wacana perubahan kurikulum yang mereka lontarkan sendiri, jelas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia masih sangat abu-abu.

Kisah tragis yang menim­pa kurikulum bangsa bukan kali ini saja. Sejarah mem­buktikan setelah pemerintah orde lama runtuh, pendidikan menganut acuan yang disebut kurikulum 1968. Belum genap 10 tahun perjalanan muncul kembali kurikulum 1975. Selanjutnya diikuti oleh keha­diran kurikulum 1984 yang familiar dengan singkatan CBSA. Tidak berhenti sampai disini, dunia pendidikan kem­bali disuguhkan dengan menu bernama kurikulum 1994. Setelah itu kita juga mengenal istilah KBK yang katanya merupakan cikal bakal lahir­nya kurikulum yang mene­kankan pada semangat keung­gulan lokal, yaitu kurikulum 2006 yang kemudian dikenal dengan singkatan KTSP.

Sayangnya kurikulum yang menganut paham ‘desen­tralisme’ ini sepertinya hanya berlaku di atas kertas. Mes­kipun dengan konsep yang memberikan pengembangan kreatifitas siswa sesuai de­ngan kecerdasannya. Ditam­bah dengan bentuk penilaian yang menyeimbangkan ranah afektif, psikomotorik, dan kognitif. Kenyataannya pada tatanan praktis ultimatum akhir penilaian tetap ber­orientasi pada satu kemam­puan saja.  Perhatikan saja proses pengurutan rangking kelas, ujian sekolah, sampai ujian nasional. Apakah sikap ikut menjadi faktor penentu dari semua itu? Kembali hanya satu faktor penentunya, intelektual.

Gerbong Kebijakan
Selain sekolah, dunia pergu­ruan tinggi juga me­ngalami kondisi yang sangat labil terkait dengan kurikulum yang digunakannya. Melihat dari sisi urgensinya, bukan hanya alasan peningkatan kualitas SDM melalui sistem pendidikan. Namun revisi serta perubahan total yang terjadi tidak lain di akibatkan karena banyak­nya kepentingan yang dititipkan dalam tubuh pendidikan itu. Walhasil, pendidikan yang semulanya diciptakan sebagai mekanisme membentuk manu­sia seutuh­nya, sekarang telah termutasi oleh berbagai kebijakan prag­matis.

Output yang keluar dari rahim pendidikan kini hanya sesuai dengan siapa yang berkuasa terhadap kebijakan pendidikan itu sendiri. Aki­batnya ujung tombak pendi­dikan yang dipegang oleh sang pendidik terlepas. Kemudian hanya menjadi pengikut setia terhadap siapa yang berkuasa akibat desentralisasi semu yang terjadi.

Belum lagi ketika kita bicara arah yang menjadi acuan tujuan pendidikan bangsa. Berbagai indikator mengenai kapi­ta­lisasi pendidi­kan, kom­petensi yang hanya diorien­tasikan pada dunia kerja/industri, serta ‘penu­hanan akal’ yang tiada berke­sudahan. Ini menjadi bukti nyata semangat pendididikan di Indonesia tercabut dari semangat dasar­nya. Beragam istilah yang secara kasat mata ingin menga­rahkan pendidikan untuk membali kepada fitrahnya, ternyata justru hanya menam­bah beban dan menjerumuskan.

Sederhananya dapat kita lihat dari persoalan yang mendera bangsa ini. Siapa aktornya? Mereka adalah manusia intelektual yang katanya telah sukses mele­wati sistem pendididikan yang sesuai harapan. Punya skill, pengetahuan, namum mora­litas bobrok.  Bahkan di hadapan publik  mereka tan­pa malu  beradu argumentasi untuk mempertahankan ego dan kebobrokannya itu.

Kalangan peserta didik juga demikian. Kasus tawu­ran, narkoba, dan lainnya sepertinya semakin menjamur. Kepintaran mereka yang semakin terasah berbanding lurus dengan semakin terkikis­nya sikap dan gaya hidup seperti yang kita harapkan. Belum lagi jika arah pembi­caraannya kepada pendidik itu sendiri. Sikap ‘mendidik’ untuk menjadi tidak terdidik.

Perlukah perubahan kurikulum?
Melihat besarnya jurang pemisah antara perubahan kurikulum yang sering terjadi dengan realitas yang ada, pertanyaan yang akan muncul adalah, perlukah perubahan kurikulum itu? Sebelum perta­nyaan itu terjawab, perihal yang harus diketahui bersama adalah apa pesan dibalik perubahan tersebut?  Perlu kejelian bersama, terutama bagi para pendidik agar tidak hanya ikut menyemarakkan dengan lahirnya kurikulum atau model-model baru dalam pembelajaran. Akhirnya tidak lebih hanya ingin kelihatan trendy. Mengikuti model baru yang berlaku tanpa menge­tahui akibat dan tujuannya.

Sebagai eksekutor pendi­dikan, yang memegang pera­nan penting di dunia pem­belajaran, persoalan lahirnya beragam kebijakan baru bu­kan­lah menjadi  kuasa untuk menahannya. Karena ini adalah hak mereka yang berada di atas sana. Yang (sekali lagi) terkadang kita tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan mereka ter­hadap pendidikan bangsa ini. Akan tetapi,  sebagai pendidik kita juga masih mempunyai kuasa. Kuasa untuk mengikuti atau tidak. Karena tugas kita adalah mendidik, bukan sekedar mengikuti suara penguasa.
Hanya kepada sang pendi­dik­lah harapan itu teraku­mulasi.  Meskipun kurikulum selalu berubah. Walaupun beragam titipan kebijakan siap menghantam. Orientasi sang pendidik haruslah tidak akan pernah untuk berubah.  Apalagi punah! ***

***Artikel dengan judul tersebut  telah terbit  tanggal 3 Desember 2012 di media cetak HALUAN (Padang)