Kurikulum 2013: Antara Sensasi dan Politisasi

Penerapan kurikulum hanya tinggal beberapa bulan lagi. Namum dokumen resminya belum bisa diakses oleh masyarakat. Meski sudah berada di alam reformasi akan tetapi akses untuk publik masih rentan tertutup.  Penelitan yang dilakukan oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) memberikan jawaban ilmiah atas perkara ini. Skor indeks untuk akses publik dalam pembuatan peraturan hanya sebesar 1,38. Begitu juga dengan akses terhadap perundang-undangan yang hanya 1,39. Skor indeks tersebut mempunyai skala 1 (buruk) -10 (baik). Artinya? 

Seperti yang dikutip Tempo (10/4), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) membantah ketidaktransparansinya. Namun mengakui  ‘kompas' pendidikan yang akan diberlakukan Juli itu belum final. Cari alasan tutup alasan. Akan tetapi, melalui alasan barunya kembali semakin menguatkan publik untuk beragumetasi bahwa penerapan kurikulum 2013 penuh dengan ketergesaan. Nah, ada alasan selanjutnya wahai Tuan?

Faktor ketergesaan ini kemudian memberikan sinyal pertanyaan. Ada apa di balik sikap tergesanya pemerintah untuk memberlakukan kurikulum 2013?  Dengan berpikir sederhana. Mari bersama kita menjawab alur pikir dari beberapa alasan yang sering dikeluarkan terkait kehadiran kurikulum yang diberlakukan menjelang pemilu ini. 

Pertama, benarkah kurikulum 2013 akan mampu meningkatkan kemampuaan matematika dan sains siswa? Beberapa publikasi yang sering menempatkan kemampuan Indonesia pada bidang yang  diidentikkan dengan dunia eksakta selalu berkisar pada nomor bontot. Salah satu yang sering dijadikan bahan dan ‘kesempatan' mengevaluasi adalah rilis dari Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS). Begitu juga dengan tren perolehan medali emas olimpiade sains tingkat Internasional yang semakin merosot. 

Sangat tidak adil jika kurikulum diberlakukan hanya berorientasi pada sekelompok kemampuan saja. Sementara siswa memiliki kemampuan yang beragam. Tidak ada istilah anak emas bagi siswa yang kebetulan kompeten dan berminat dengan mata pelajaran yang diunggulkan. Sementara siswa yang kompeten di bidang lainnya diabaikan. Juga demikian dengan guru di sekolah. Mereka berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda. Belum lagi persoalan masih banyaknya guru yang mengajar di luar kemampuan. Dan tak berkemampuan serta terpaksa memampukan.

Kurikulum tidak akan berjalan lancar untuk mengubah proses pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh guru. Terlebih ketika proses pembelajaran tersebut sudah berubah menjadi ‘karakter.' Abadilah proses itu meski bertubi kurikulum baru berdatangan. Ditambah lagi dengan alasan permasalahan tunjangan. Lengkaplah. 

Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional yang tidak mampu mencapai poin 45 saja menjadi salah satu indikator. Harusnya pemerintah fokus pada perbaikan kemampuan dan cara pandang guru. Bukan malah menambah bebannya sehingga semakin sulit diperbaiki. 

Kurikulum 2013 disinyalir memang menambah persoalan guru . Guru yang dipaksakan untuk memiliki beban mengajar dengan jumlah jam tertentu akan semakin sulit ketika adanya peleburan mata pelajaran. Proses pembelajaran di sekolah akan semakin sengit dengan kompetisi meraih jam pelajaran. Semakin terbuka lebar hadirnya senioritas di sekolah dan pendekatan lainnya dengan tujuan mengamankan jumlah jam mengajar. Bukan kompetisi meningkatkan kompetensi. 

Kedua, benarkah kurikulum 2013 akan mampu mengurangi kemerosotan moralitas siswa? Masalah degradasi moral yang terjadi pada kalangan remaja memang sedemikian akut. Perlu penanganan yang tepat dan berkelanjutan. 

Kerjasama antara sekolah dan orang tua harus utuh. Bukan saling lempar tanggung jawab yang menyebabkan perilaku siswa terlempar kelembah nista. Diperkirakan sekitar seperlima remaja yang ada di Indonesia pernah melakukan praktik aborsi. Berapa bagian yang berperilaku menyerempet kesana? 

Sebelumnya pemerintah telah mengkampanyekan‘Penddikan Karakter dan Budi Pekerti.' Walau diawal konsepnya terlalu membingunkan dan berbuah kekakuan pelaksanaan. Kini pendidikan yang difokuskan pada perubahan sikap ini mendadak sunyi. Terlebih ketika tergilas dengan wacana kehadiran kurikulum baru. 

Berharap menjadi jawaban terbaik, Kurikulum 2013 yang melalui pendekatan saintifik justru akan menambah beban moral guru untuk bertanggungjawab. Meluas dampaknya hingga siswa semakin merasa tidak terbebani untuk melakukan pergaulan bebas. 

Entah ada korelasinya atau tidak dengan kurikulum, keputusan Kemdikbud yang tidak mempersoalkan siswa hamil/menikah akibat free sex menjadi peserta Ujian Nasional (UN) menjadi bukti semakin anehnya budaya pendidikan bangsa. Mungkinkah keanehan ini akan disebarkan secara legal melalui kurikulum? Demoralisasi remaja mengancam bangsa. 

Ketiga, benarkah kurikulum 2013 akan mampu menjaga warisan budaya bangsa? Persaingan global yang memberikan kebebasan akses juga membidik pada budaya lokal bangsa. Sebuah kepentingan yang harus dikendalikan sebab kebudayaan lokal merupakan ketahanan dari budaya bangsa. Terkikisnya semangat untuk mencintai budaya daerah semakin mengkhawatirkan . 

Malah sebaliknya, remaja Indonesia sudah lebih percaya diri ketika mengikuti gaya dan budaya hidup negeri luar yang sedang populer.  Upaya untuk menguatkan potensi lokal, termasuk kebudayaan menjadi akar sejarah lahirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) . Namun belum menyeluruh dan jelas evaluasinya. Kurikulum  yang lahir tahun 2006 itu mendadak tergilas habis tahun ini. Lebih dari itu, kurikulum baru malah mengurangi peluang untuk membumikan budaya sejak dini. 

Keempat, Benarkah kurikulum 2013 tidak membebani anggaran negara? Sebelum diberlakukan saja masyarakat Indonesia sudah disajikan dengan penambahan jumlah anggaran dari hitungan milyaran menjadi triliunan. Hitungan sederhananya begini saja. Untuk tahap awal 2,4 Triliun sudah anggaran negara tahun 2013 dialokasikan untuk kurikulum baru. Tidak menutup kemungkinan ditambah lagi pada APBN Perubahan. 

Daerah secara simutan berkesempatan juga membuat anggaran dengan subjek yang berkaitan dengan kurikulum. Andai tidak meleset, tahun 2016 ditargetkan terlaksananya kurikulum baru secara menyuluruh. Nah, tinggal kali-kalikan saja berapa uang negara yang akan dikuras. 

Padahal pemerintah telah memiliki ‘PR' bagaimana mencari jalan menyelesaikan pembengkakan anggaran negara jika semua guru telah menyelesaikan proses sertifikasi pendidiknya. Eh malah membuat buat anggaran baru

Terakhir, jika alasannya adalah pendidikan Indonesia berada dalam keadan kritis sehingga kurikulum 2013 harus segera diberlakukan. Kritisnya dimana? Menjawab pertanyaan ini berarti minimal ada 3 (tiga) komponen yang harus dibahas dengan detail dan adil. Ketiga komponen itu adalah siswa, guru, dan kebijakan. 

Hasil survey yang disebarkan hanya  berkutat pada dua komponen saja. Akhirnya muncul diskusi yang berkepanjangan mengenai kualitas peserta didik dan pendidik. Amat disayangkan, nyaris hampir tidak pernah dibahas komponen yang terakhir. 

Kebijakan pendidikan yang dikeluarkan terkadang justru menambah kesemerawutan prestasi atau kerja guru. Guru dipersibukkan dengan urusan yang tidak substantif. Siswapun terkena dampak berkepanjangan. Termasuklah kebijakan gonta-ganti kurikulum. 

Untuk itu, masih maukah kita menggantung harapan perubahan melalui kurikulum 2013? Bukankah tahun 2013 adalah tahun politik yang dipersiapkan menuju pesta demokrasi 2014? Terlepas apakah berbagai alasan yang dikemukakan untuk mencitrakan kurikulum 2013 tidak lebih dari sensasi atau politisasi. 

Pastinya dunia pendidikan termasuk kurikulum di dalamnya memang begitu seksi untuk dimanfaatkan. Namun pastinya juga  kedua alasan itu, sensasi atau politisasi tidak sama sekali bisa memberikan arti lebih untuk perbaikan dunia pendidikan bangsa. Justru hanya menjerumuskan kelembah terdalam. Wallahu'alam...(*)

*** Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  tanggal 13 April 2013 di media Harian Online Kabar Indonesia