Sirna Harapan Integritas UN

Sebanyak 3.224.179 siswa SMA/sederajat seharusnya tercatat sebagai peserta UN pada Senin (15/4) lalu. Namun kenyataaannya lebih dari 1 juta siswa yang tersebar di 11 Provinsi dan beberapa kabupaten/kota di luar provinsi tersebut harus menambah beban psikologisnya. Dengan alasan ‘teknis’ yang sebenarnya sangat fatal, UN mereka ditunda sampai waktu yang masih abu-abu. Sebuah pembukaan yang sekaligus menjadikan awal dari sirnanya harapan tercipta UN berintegritas. Pemerintah telah menciderai kebijakan yang mereka populerkan sendiri. 

Sebenarnya tidak ada perbedaan berarti UN kali ini dengan sebelumnya. Hanya pada jumlah paket soal yang lebih variatif. Pemerintah menyiapkan 20 paket soal yang berbeda. Artinya secara langsung kesempatan untuk mencontek bagi siswa semakin tertutup. Begitu juga peluang guru untuk membantu memberikan jawaban bantuan semakin sempit. Namun bukan berarti tertutup dan sempit sama sekali. Paling tidak dengan memperkecil peluang, integritas UN tercipta. 
Adalah sebuah langkah preventif yang patut kita hargai. Hadirnya paket soal yang tidak sama merupakan bagian keikutsertaan pemerintah untuk mencoba memurnikan hasil UN. Dengan kurangnya kadar kerja sama dalam ujian. Hasil UN yang akan digunakan sebagai pemetaan kompetensi siswa pada bidang yang diujikan akan lebih akurat dari sebelumnya. Meskipun hasil UN tidak bisa disamakan dengan tingkat kelulusan. Dua hal yang harus dibedakan karena nilai sekolah berkontribusi menentukan tingkat kelulusan. Untuk itu harus secara fair mempublikasikannya. Tidak hanya mempublikasikan nilai  kelulusan, nilai murni UN juga harus dipublikasikan. Masyarakat termasuk di dalamnya orang tua siswa harus segera mengetahui perbedaan ini.

Mungkin pemerintah pusat sepertinya lelah untuk menutupi modus kecurangan yang telah terjadi. Mungkin juga dengan pemerintah daerah. Tentunya pemerintah daerah yang tidak memanfaatkan kelulusan siswa sebagai manuver untuk posisi tawar. Tabiat pemerintah daerah yang satu ini justru membuka peluang terjadinya penyimpangan pelaksanaan UN.  Dari sini, seharusnya kita berkaca kembali. Mulai dari siswa, guru di sekolah, dan pemerintah daerah. Hadirnya paket soal yang semakin banyak. Semakin menunjukkan ketidakpercayaan pemerintah pusat atas pelaksanaan UN. 

Barangkali sudah tahu sama tahu. Oleh karena itu, semakin semulah harapan tercipta UN berintegritas. Bukan berburuk sangka. Tidak mungkin seorang majikan mengajari pembantunya untuk jujur agar tidak mengambil barang/perhiasan miliknya. Sementara pembantunya itu dikunci di kamar dan perhiasan disimpan dalam lemari yang terkunci.  Kalaupun pembantunya dibebaskan berkeliaran, pantauan kamera pengintai selalu ada. Nah, pantaskah ketika majikan berkesimpulan bahwa pembantunya jujur ketika tidak ada barang yang hilang di rumahnya? 

Logika Terbalik Konsep ‘Bang Napi’
Kecanggihan zaman beriringan dengan semakin tersisihnya kepercayaan. Pernyataan  Bang Napi  menjadi pilihan. Kejahatan itu terjadi bukan hanya niat para pelaku, tapi adanya kesempatan. Tidak ada lagi tegur sapa. Adanya rasa saling curiga. Bolehlah dinyatakan benar kalau sudut pandang pemerintah memandang niat pelakunya sudah semakin akut. Kesempatan dikunci.

Namun sayangnya, pemerintah tidak memakai konsep Bang Napi untuk kasus siswa yang melakukan perbuatan seks bebas. Baik yang sampai ketahuan melalui kehamilannya, apalagi yang tidak ketahuan. Pemerintah malah memberikan kesempatan untuk mengikuti UN. Sekolah yang terpaksa mengeluarkan siswanya dianggap bersalah. Siswa setengah nakalpun akan semakin transparan menunjukkan kenakalannya. Sekali lagi, semakin sangat semulah harapan integritas pelaksanaan UN. Malah kesemuannya akan menjangkiti harapan pada sekolah serta konsep pendidikan di negeri yang padahal hampir seluruh rakyatnya beragama dan berkeyakinan. 

Preseden buruk terjadi. Melalui UN 2013 yang secara langsung ‘melegalkan’ perilaku seks bebas akan meningkatkan kadar pergaulan bebas siswa. Tidak dapat dihindari angka yang menunjukkan pengikisan moral di kalangan remaja semakin meningkat. Ditambah dengan angin kebebasan yang mulai berkeliaran. Perbuatan fatal tidak terlalu dianggap salah lagi. Meskipun sekolah telah memandang sebagai kesalahan yang sangat tidak wajar. 

Siswa dengan pasangannya sudah tidak malu lagi bermesraan di depan umum. Bahkan tidak malu kepada gurunya sendiri. Siswa yang secara hormonal masih mengalami kelabilan mendapatkan kepastian untuk melakukan apa saja yang ingin diketahuinya tanpa batas. Kalau selama ini sekolah dianggap kecolongan. Setalah UN 2013, sekolah ambruk. Sekolah bisa jadi ajang untuk berbuat mesum. Peran sekolah sudah tidak lagi dianggap.

Cukup dengan Diam? 
Memutuskan dampak kehamilan siswa –maupun yang menghamilinya- dengan UN memang dilematis. Terlebih ada sorotan media. Keputusan sekolah terasa serba salah. Mengeluarkan dianggap melanggar hak. Dibiarkan? Sungguh tidak mungkin jika ingin wibawa pendidikan dan pendidik tetap terjaga. Bukan konteksnya lagi untuk membicarakan siapa yang salah. Pastinya yang harus dicari adalah tercapainya jalan keluar yang bisa membawa pendidikan mampu mencapai tujuannya sebenarnya.

Liberalisasi pendidikan semakin menggerogoti nafas di setiap sudut sekolah. Tidak cukup memusingkan guru dengan kehadiran UN. Ujian yang hanya mengandalkan kecerdasan akal –dan akal-akalan-  itu tanpa sedikitpun mempertimbangkan tata krama siswa. Sangat wajar kalau nantinya kita melihat angka kelulusan tidak berhubungan dengan baik/buruknya catatan sikap siswa di sekolah. Wajar juga jika belakangan ini guru dan para orang tua mulai mencemaskan sikap generasi penerus yang semakin kurang ajar. Tidakkah merasakannya?

Cukupkah dengan diam menyaksikan kemerosotan moral yang terjadi? Harapan masih ada ketika mau berbuat. Sungguh dahsyat jadinya apabila guru bersepakat untuk menegakkan aturan sekolah. Terutama yang melewati batas toleransi. Tanpa tebang pilih seperti penegakan hukum di negeri yang mulai berlaku hukum rimba ini. Permasalahannya hanya ketika kesepakatan sulit dicapai. Ada tarik ulur kepentingan. Persis seperti susahnya para penegak hukum untuk memvonis atau menyelesaikan kasus tertentu. 

Sekolah tidak harus terjebak dengan hal yang merugikan tersebut. Sekolah bukan hanya tempat belajar. Sekolah juga tempat mendidik siswa agar berprilaku baik. Kita sepakat dengan pernyataannya. Sayangnya dalam tatanan praktis. Ketika sudah melangkah ke sekolah. Ketika sudah berada di kelas. Target nilai siswalah yang diprioritaskan. Semuanya kembali pada tujuan akhir yaitu target UN. Karena demikianlah titipannya. 

Sekali lagi, cukupkah dengan diam menyaksikan kemerosotan moral yang terjadi? Cukupkah kita berpuas ria dengan keberhasilan melalui patokan angka? Sekolah punya ototoritas. Guru punya kekuasan mutlak. Payung hukumnya juga telah memberikan kesempatan guru untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Apatah lagi kebijakan bagi siswa di sekolahnya. Jangan melulu mau dikebiri. 

Intinya, sudah tidak ada rasa saling percaya lagi dalam penyelenggaraan UN. Baik dari pemerintah ke sekolah. Apalagi kepercayaan kepada pemerintah. Total sudah sirnanya harapan UN berintegritas. Jadi, pantaskah kalau UN dihapuskan?

***Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  tanggal 19 April 2013 di media cetak Haluan Kepri