Ujian Nasional (UN) sampai saat ini masih menuai pro dan kontra. Walau suara kontra sudah sedikit lenyap dengan hadirnya sebuah diplomasi penilaian. Diplomasi ini dianggap langkah win-win solution bagi sekolah dan pemerintah. Sejak beberapa kali pelaksanaan UN diberlakukan. Kontribusi evaluasi sekolah dieliminir total. Hanya hasil UN sebagai faktor tunggal penentu kelulusan. Tapi sekarang sekolah telah diberi porsi untuk bermain peran. Bagi hasil 40:60 yang kemudian diakumulasikan untuk kelulusan siswa menjadikan sekolah sedikit lega.
Nah melalui peran yang telah diberikan, kembali memunculkan sebuah pertanyaan. Pertanyaannya terkait standarisasi penilaian itu sendiri. Walaupun sudah diberikan acuan kompentensi kelulusan siswa. Setiap guru mempunyai standar tersendiri untuk memberikan nilai kepada siswa. Guru di sekolah tidak hanya memberikan nilai dengan basis ujian. Tetapi ada faktor lain yang ikut memberikan kontribusi penilaian.
Akhirnya kita menyaksikan meskipun siswa dengan beda sekolah mempunyai nilai sama. Tetapi kompetensinya kontras berbeda. Domain guru dan sekolah ini tidak mungkin bisa diintervensi. Guru punya hak dalam urusan penilaian siswanya.
Oleh karena itu, terkait dengan nilai kelulusan. Sekolah sudah dapat mensiasati dengan memberikan nilai panjar. Dengan nilai panjar siswa tinggal mentargetkan berapa soal minimum yang harus dijawabnya ketika pelaksanaan UN. Semakin tinggi nilai panjar, semakin sedikit soal minimumnya. Dan semakin mudah untuk lulus.
Strategi yang dilakukan terlihat jelas ketika batas ketuntasan nilai (KKM) selalu –dipaksakan- naik. Sedikit bahkan jarang mereka yang mendapatkan nilai tidak tuntas. Beginilah metode yang sudah awam dan jamak diketahui.
Sekolah yang -sengaja- dipandang tidak unggul. Terlebih ketika sekolah itu sendiri memandang dirinya tidak unggul. Metode tadi dapat dijadikan sebuah kewajiban. Bagaimana dengan sekolah yang diunggulkan? Mereka harus mempertahankan nama unggulnya. Apalagi persentase kelulusan sempurna dapat dijadikan alat pemasaran untuk merayu siswa baru.
Angka ketidaklulusan memang sering dikaitkan dengan mutu. Kemudian apakah kita meyakini ketika angka kelulusannya tinggi, mutu pendidikan semakin baik? Prestasi pendidikan bangsa masih dalam bayangan keterpurukan. Keterpurukannya diakui secara langsung oleh pemerintah sendiri melalui usahanya untuk menghadirkan kurikulum baru.
Mereduksi Perspektif
Usaha yang terencana tersebut tanpa disadari telah mereduksi perspektif siswa sebagai pembelajar. Pembelajar yang aktif adalah pembelajar yang berorientasi ilmu, bukan nilai. Siswa yang sudah merasa nilainya diamankan. Otomatis akan bisa mengurangi semangat belajarnya. Ilmu yang berhasil diserap akan otomatis membawa kepada nilai yang bagus.
Nilai itu sendiri merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmu. Kalau hanya mengejar nilai, yang muncul adalah sabotase keilmuan. Seperti yang dikatakan sebelumnya, siswa dengan nilai sama tapi penguasaan keilmuannya kontras berbeda. Faktor orientasilah yang menyebakannya. Akhirnya muncullah nilai yang tidak bisa dipertanggunjawabkan. Nilai yang justru tidak menyelesaikan permasalahan.
Akan semakin mengakar ketika perspektif sekolah/pendidiknya juga demikian. Sekarang coba bersama kita perhatikan kembali visi dan misi sekolah yang telah dicetuskan. Beberapa sekolah yang sempat penulis baca dokumennya. UN ditempatkan sebagai parameter utama penentu keberhasilan sekolah.
UN dijadikan sebagai indikator awal pencapaian visi. Aktifitas yang berhubungan dengan ‘perpeloncoan’ siswa ketika masa UN menjelang, dijadikan strategi pilihan pencapaian misi. Intinya menjadi target prioritas. Sementara target lain, bahkan target prestatif guru berada di nomor buntut dalam usaha pencapaian misinya.
Perspektif di lingkungan keluarga/masyarakat juga demikian. Tolak ukur keberhasilan siswa dan sekolah selalu melulu dipandang dari hasil UN. Tidak cukup mendapatkan’perpeloncoan’ di sekolah. Siswa malah dipadatkan aktifitas hariannya dengan beragam belajar tambahan, baik di rumah maupun lembaga bimbingan belajar. Kehilangan hak untuk mendapatkan kebebasan berekspresi dan bermain menjadi takdir wajib mereka ketika UN menjelang.
Ah, semoga apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Kita bersama sangat berharap saat mereka sudah duduk di pemerintahan dan dunia kerja nantinya. Mereka tidak lagi banyak mainnya sehingga tidak menghasilkan kebijakan yang main-main. Akibat telah hilangnya masa bermain.
Semua perspektif yang muncul diperparah saat kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan UN tidak terlalu dianggap masalah serius. Setiap daerah melalui pemerintahnya malah keasyikan membuat target kelulusan. Tidak cukup dengan target, reward juga disiapkan sebagai bentuk balas jasa bagi sekolah yang berhasil melaksanakan targetnya.
Adanya reward sekaligus mengisyaratkan punishment bagi yang tidak berhasil. Sekolahpun berlomba menyenangkan pemerintahnya. Terlepas bagaimana cara meraih targetnya. Meski terlambat karena setiap daerah sudah sejak awal mematok persentase kelulusan. Di tahun inilah baru kita mendengar himbauan untuk tidak perlu memasang target. Sekedar himbauan.
Menuju Titik Elusif
Persepektif yang telah mengakar tersebut merupakan wabah yang akan menggerogoti tubuh pendidikan bangsa. Pendidikan akan semakin sakit. Keampuhan intelektual semakin sulit disejajarkan dengan standar moral. Gelar sudah tidak lagi menjadi acuan keberadaban. Kebiadaban justru muncul dari rahim institusi pendidikan. Dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi sudah dijangkiti perspektif angka.
Padahal pendidikan dilahirkan untuk membentuk suatu peradaban yang bermartabat. Konstitusi pendidikan bangsa juga jelas menggariskan fungsi pendikan nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik agar bertanggung jawab. Tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun linear kepada sesama atas dasar perbuatan yang dilakukan.
Tripartit pendidikan harus segera mencerahkan kembali fungsi pendidikan. Orientasi kebijakan yang tidak lagi hanya berpusat kepada angka. Begitu juga dengan aktifitas yang hanya sekedar mengejar pencitraan. Haruslah segera dimusnahkan. Pondasi pendidikan tidak boleh dibangun atas dasar semua itu.
Andai dibiarkan begitu saja. Wabah perspektif yang berbuah sikap menjauhkan ketercapaian pendidikan nasional akan semakin mengakar kuat. Arah pendidikan nasionalpun akan semakin menuju titik elusif (sukar dijelaskan). Lantas apa jadinya?
*** Artikel dengan judul tersebut pernah terbit tanggal 29 Maret 2013 di media cetak TRIBUN JABAR