oleh: SYAFBRANI
::::::: Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom OPINI tanggal 15 Juni 2013 di media cetak HARIAN HALUAN (SUMATERA BARAT)
::::::: Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom OPINI tanggal 15 Juni 2013 di media cetak HARIAN HALUAN (SUMATERA BARAT)
Penerapan Kurikulum 2013 tinggal menghitung hari. Meskipun di
tengah bertaburan suara penolakan. Namun Kemdikbud
terus berpacu bagaikan tidak ada aral yang melintang. Boleh saja optismis.
Namun yang lebih diperlukan adalah paramater optimis itu. Andai ingin jujur.
Kita bersama pasti berkesimpulan bahwa pergantian kurikulum yang selama ini
terjadi tidak memberikan efek kemajuan. Justru menunjukkan adanya stagnasi
dunia pendidikan bahkan kemunduran.
Parameter
optimsime itu seharusnya juga dihubungkan dengan masih adanya persebaran
kualitas serta sarana/prasarana pendidikan yang tidak merata. Terakhir namun
yang paling terpenting adalah kondisi mereka yang sangat berpengaruh terhadap
penerapan kurikulum baru. Merekalah sang guru. Kompetensi guru baik mencangkup
sisi akademik, pedagogik, dan moral individual-sosial akan mendominasi sebagai
penentu keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan kurikulum, tapi keberhasilan
pendidikan itu sendiri.
Aktor
Utama
Berbagai
kebijakan yang bertujuan memberikan pelayanan terbaik kepada guru semakin
digelontorkan. Guru dapat memperoleh standar hidup yang bisa disejajarkan
dengan profesi lainnya. Pelayanan yang salah satunya sedang mengalir adalah dengan
memberikan berbagai tunjangan. Kemapanan finansial diharapkan juga dapat mengubah
cara pandang terhadap status guru. Guru tidak lagi dipandang sebagai komunitas kere. Guru sudah bertambah kece.
Akibatnya
bisa dilihat. Fenomena calon mahasiswa yang memilih untuk kuliah di fakultas
keguruan semakin meningkat. Seleksi untuk menjadi calon guru di LPTKpun sudah
mulai tampil beda. Kini jurusan keguruan sudah tidak lagi menjadi pilihan
pelarian semata.
Dapat
ditangkap, kebijakan yang hadir tersebut
tidak lain karena guru dipandang sebagai aktor utama pendidikan. Sayangnya yang
muncul kemudian adalah terjadinya jurang
pemisah yang tinggi antara harapan dengan kenyataan yang ada. Tunjangan yang
semestinya dapat menambah semangat dan potensi kinerja berbuah kejumudan
kreatifitas. Guru tersesat di area kenikmatan. Aktifitas pembelajaran malah
berjalan di tempat. Prestasi pendidikan menurun pesat. Lebih parah lagi dengan
semakin maraknya degradasi moral yang terjadi di lingkungan sekolah. Para guru
yang malah menjadi aktornya.
Hubungan
yang berbanding terbalik ini salah satunya diperjelas dari hasil Uji Kompetensi
Awal (UKA) dan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilakukan beberapa waktu
lalu. Sebagaimana yang kita ketahui UKA
adalah ujian bagi guru yang belum mendapatkan sertifikasi. Sementara UKG adalah
ujian bagi guru yang telah mendapatkan sertifikasi. Rerata
UKA hanya 42,25 dan rerata UKG hanya 43,66.
Dari
angka tersebut setidaknya memberikan beberapa gambaran sederhana. Pertama, jika diibaratkan sebagai siswa.
Nilai komptensi guru seiring peningkatan tunjangan masih berkategori tidak
mencapai KKM. Alias tidak tuntas. Adalah hal wajar sebenarnya ketika siswa
banyak mendapatkan nilai tidak tuntas atau tidak lulus ujian. Tapi justru tidak
wajar ketika banyak siswa yang tuntas dan lulus. Padahal ditilik dari angka
kompetensi mereka yang mendidiknya demikian rendah.
Kedua, tidak ada
pengaruh yang berarti antara kompetensi guru yang belum atau yang telah
mendapatkan sertifikat pendidiknya. Selisih UKA dan UKG tidak mencapai 1,5
poin. Selisih yang sangat rendah ini menunjukkan perlakuan pada proses
sertifikasi seperti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tidak terlalu
memberi arti.
Remindset
Sertifikasi
yang memberikan jaminan kesejahteraan saja belum mampu membawa perubahan
terhadap kompetensi guru. Padahal nyata dampaknya. Apalagi program kurikulum
yang secara fisiknya akan menggangu kenyamanan. Kurikulum baru tidak akan
dipandang sebagai pembaharuan. Perubahan kurikulum lebih diidentikkan sebagai
beban. Artinya sebagus apapun program yang dicanangkan tanpa diringi oleh
kemampuan kinerja sang guru. Program tersebut hanya akan bagus di lembar slide presentasi saja. Aplikasinya
gagal. Apalagi untuk mecapai tujuan yang telah tersusun rapi itu. Seperti
pepatah, jauh pangggang dari api.
Untuk
itu, semuanya kembali kepada guru. Guru harus menata ulang pola pikirnya
(remindset) terhadap profesi yang diembaninya. Pertama, jika memang menggangap sebuah kebijakan –dalam pembahasan
ini mengenai kurikulum baru- tidak berpihak. Sudah sepantasnya hak itu
disuarakan. UU No.14 tahun 2005 yang menjadi rumah hukum guru dengan jelas
menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki
kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Tujuannya agar pelaksanaan kebijakan
yang dilakukan tidak dilakukan dengan alakadar. Asal ada laporan. Asal atasan
senang. Mindset totalitas harusah segera memenuhi setiap ruang kerja dan kepribadian guru.
Kedua, melalui mindset
yang totalitas akan terbentuk sebuah upaya untuk memamahi secara utuh kebijakan
yang muncul. Kekhawatiran yang muncul bahwa
nasib kurikulum 2013 akan mengikuti nasib kurikulum terdahulu sangat beralasan.
Rentang sosialisasi dan pelatihan kepada guru yang terlalu dekat jaraknya dengan
penerapan kurikulum. Menjadi salah satu alasan. Harus diakui semangat belajar
otodidak masih sangat rendah. Bagaimana mau memahami kalau tidak ada upaya
untuk memahaminya? Melulu berharap sama pemerintah? Pemerintah sendiri mengakui
keterbatasannya sehingga rute
pelaksanaan kurikulum dijalani secara bertahap.
Ketiga, jumlah guru
yang sangat banyak sehingga secara umum rasio perbandingannya dengan siswa
sekitar 1:18. Sebagai perbandingan, negara maju seperti Korea saja rasionya
1:30. Lantas mengapa masih tersiar kekurangan guru disana-sini? Jawabnya karena
guru masih banyak yang ingin bertahan dengan wilayah pilihan.
Guru
masih memilih dan memilah tempat tugas. Menumpuk di satu sekolah, kekurangan di
sekolah yang lain. Semakin nyamanlah ketika pemerintah daerah menguasi penuh
pengaturan. Angin otonomisasi yang harusnya berperan sebagai pengatur terjebak
dengan faktor ‘tenggang rasa’ dan desakan yang bernuansa kekeluargaan serta
politis.
Untuk
itu perlu jiwa pengabian yang utuh. Jiwa pengabdian menyebabkan pembelajaran
akan berkesan. Siswapun akan bertambah subur motivasinya untuk mengekesplorasi
diri di sekolah. Sebaliknya, pengabdian yang berorientasi hanya untuk tujuan
‘kenyamanan’ akan menyebabkan suasana pembelajaran gersang. Meskipun
diaplikasikan dengan kurikulum terbaru dan model pembelajaran terpopuler.
Sentuhan psikologis yang tidak kasat mata itulah yang sangat mempengaruhi.
Nurani harus diperankan kembali secara universal.
Bukan
Gladiator Kurikulum
Penyedian
buku, pelatihan guru, dan tata kelola. Itulah tiga agenda utama Kemdikbud yang dijadikan pagar dalam meluncurkan
kurikulum 2013. Diataranya itu peranan gurulah yang akan menentukannya.
Penentuan itu tidak hanya bisa dengan sekedar melalui pelatihan, workshop, dan sejenisnya. Revolusi
mindset haruslah menjadi fokus utama sehingga bisa memberi efek terhadap budaya
kerja.
Jika
tidak terjadi perubahan mindset dan budaya kerja pada 2,7 juta guru di negeri
ini. Maka triliunan uang negara yang dianggarkan setiap tahunnya untuk
kurikulum akan mengalir tanpa bekas. Tidak akan memberi pegaruh dan prestasi
yang berarti. Terutama bagi peserta didik yang tersebar lebih dari 200.00 ribu
sekolah di Indonesia.
Akhirnya
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang selalu bercokol di atas diperingkat 100.
Tingkat Daya Saing Global yang menetapkan Indonesia berada pada urutan 42 dari
59 negara. Hasil Trends in Mathematic and
Science Study (TIMSS) yang menempatkan kemampuan pelajar bidang Matematika
pada rangking 38 dan Sains rangking 40 dari 42 negara. Serta sederetan publikasi
statistik lain yang menunjukkan ketercapaian pendidikan bangsa tidak akan pernah
mampu berubah lebih baik.
Semuanya
terjadi ketika aktor guru yang seharusnya berperan sebagai eksekutor kebijakan.
Namun ujung tombak pendidikan itu berubah bak
gladiator yang rela diadu hanya demi mempertahankan zona nyamannya. Bukan
berdo’a, tapi jika demikian adanya. Implementasi Kurikulum 2013 yang melakukan
pendekatan saintifik ini dijamin akan bablas. Dunia pendidikanpun terjun
bebas.