Guru dan Nasib Implementasi Kurikulum 2013


Penerapan Kurikulum 2013 tinggal menghitung hari. Meskipun di tengah bertaburan suara penolakan. Namun Kemdikbud terus berpacu bagaikan tidak ada aral yang melintang. Boleh saja optismis. Namun yang lebih diperlukan adalah paramater optimis itu. Andai ingin jujur. Kita bersama pasti berkesimpulan bahwa pergantian kurikulum yang selama ini terjadi tidak memberikan efek kemajuan. Justru menunjukkan adanya stagnasi dunia pendidikan bahkan kemunduran.

Parameter optimsime itu seharusnya juga dihubungkan dengan masih adanya persebaran kualitas serta sarana/prasarana pendidikan yang tidak merata. Terakhir namun yang paling terpenting adalah kondisi mereka yang sangat berpengaruh terhadap penerapan kurikulum baru. Merekalah sang guru. Kompetensi guru baik mencangkup sisi akademik, pedagogik, dan moral individual-sosial akan mendominasi sebagai penentu keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan kurikulum, tapi keberhasilan pendidikan itu sendiri.

Aktor Utama

Berbagai kebijakan yang bertujuan memberikan pelayanan terbaik kepada guru semakin digelontorkan. Guru dapat memperoleh standar hidup yang bisa disejajarkan dengan profesi lainnya. Pelayanan yang salah satunya sedang mengalir adalah dengan memberikan berbagai tunjangan. Kemapanan finansial diharapkan juga dapat mengubah cara pandang terhadap status guru. Guru tidak lagi dipandang sebagai komunitas kere. Guru sudah bertambah kece.

Akibatnya bisa dilihat. Fenomena calon mahasiswa yang memilih untuk kuliah di fakultas keguruan semakin meningkat. Seleksi untuk menjadi calon guru di LPTKpun sudah mulai tampil beda. Kini jurusan keguruan sudah tidak lagi menjadi pilihan pelarian semata.

Dapat ditangkap, kebijakan  yang hadir tersebut tidak lain karena guru dipandang sebagai aktor utama pendidikan. Sayangnya yang muncul kemudian adalah terjadinya  jurang pemisah yang tinggi antara harapan dengan kenyataan yang ada. Tunjangan yang semestinya dapat menambah semangat dan potensi kinerja berbuah kejumudan kreatifitas. Guru tersesat di area kenikmatan. Aktifitas pembelajaran malah berjalan di tempat. Prestasi pendidikan menurun pesat. Lebih parah lagi dengan semakin maraknya degradasi moral yang terjadi di lingkungan sekolah. Para guru yang malah menjadi aktornya.

Hubungan yang berbanding terbalik ini salah satunya diperjelas dari hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) dan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.  Sebagaimana yang kita ketahui UKA adalah ujian bagi guru yang belum mendapatkan sertifikasi. Sementara UKG adalah ujian bagi guru yang telah mendapatkan sertifikasi. Rerata UKA hanya 42,25 dan rerata UKG hanya 43,66.

Dari angka tersebut setidaknya memberikan beberapa gambaran sederhana. Pertama, jika diibaratkan sebagai siswa. Nilai komptensi guru seiring peningkatan tunjangan masih berkategori tidak mencapai KKM. Alias tidak tuntas. Adalah hal wajar sebenarnya ketika siswa banyak mendapatkan nilai tidak tuntas atau tidak lulus ujian. Tapi justru tidak wajar ketika banyak siswa yang tuntas dan lulus. Padahal ditilik dari angka kompetensi mereka yang mendidiknya demikian rendah.

Kedua, tidak ada pengaruh yang berarti antara kompetensi guru yang belum atau yang telah mendapatkan sertifikat pendidiknya. Selisih UKA dan UKG tidak mencapai 1,5 poin. Selisih yang sangat rendah ini menunjukkan perlakuan pada proses sertifikasi seperti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tidak terlalu memberi arti.

 

Remindset

Sertifikasi yang memberikan jaminan kesejahteraan saja belum mampu membawa perubahan terhadap kompetensi guru. Padahal nyata dampaknya. Apalagi program kurikulum yang secara fisiknya akan menggangu kenyamanan. Kurikulum baru tidak akan dipandang sebagai pembaharuan. Perubahan kurikulum lebih diidentikkan sebagai beban. Artinya sebagus apapun program yang dicanangkan tanpa diringi oleh kemampuan kinerja sang guru. Program tersebut hanya akan bagus di lembar slide presentasi saja. Aplikasinya gagal. Apalagi untuk mecapai tujuan yang telah tersusun rapi itu. Seperti pepatah,  jauh pangggang dari api.

Untuk itu, semuanya kembali kepada guru. Guru harus menata ulang pola pikirnya (remindset) terhadap profesi yang diembaninya. Pertama, jika memang menggangap sebuah kebijakan –dalam pembahasan ini mengenai kurikulum baru- tidak berpihak. Sudah sepantasnya hak itu disuarakan. UU No.14 tahun 2005 yang menjadi rumah hukum guru dengan jelas menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikanTujuannya agar pelaksanaan kebijakan yang dilakukan tidak dilakukan dengan alakadar. Asal ada laporan. Asal atasan senang. Mindset totalitas harusah segera memenuhi setiap ruang  kerja dan kepribadian guru.

Kedua, melalui mindset yang totalitas akan terbentuk sebuah upaya untuk memamahi secara utuh kebijakan yang muncul.  Kekhawatiran yang muncul bahwa nasib kurikulum 2013 akan mengikuti nasib kurikulum terdahulu sangat beralasan. Rentang sosialisasi dan pelatihan kepada guru yang terlalu dekat jaraknya dengan penerapan kurikulum. Menjadi salah satu alasan. Harus diakui semangat belajar otodidak masih sangat rendah. Bagaimana mau memahami kalau tidak ada upaya untuk memahaminya? Melulu berharap sama pemerintah? Pemerintah sendiri mengakui keterbatasannya sehingga rute pelaksanaan kurikulum dijalani secara bertahap.

Ketiga, jumlah guru yang sangat banyak sehingga secara umum rasio perbandingannya dengan siswa sekitar 1:18. Sebagai perbandingan, negara maju seperti Korea saja rasionya 1:30. Lantas mengapa masih tersiar kekurangan guru disana-sini? Jawabnya karena guru masih banyak yang ingin bertahan dengan wilayah pilihan.

Guru masih memilih dan memilah tempat tugas. Menumpuk di satu sekolah, kekurangan di sekolah yang lain. Semakin nyamanlah ketika pemerintah daerah menguasi penuh pengaturan. Angin otonomisasi yang harusnya berperan sebagai pengatur terjebak dengan faktor ‘tenggang rasa’ dan desakan yang bernuansa kekeluargaan serta politis.

Untuk itu perlu jiwa pengabian yang utuh. Jiwa pengabdian menyebabkan pembelajaran akan berkesan. Siswapun akan bertambah subur motivasinya untuk mengekesplorasi diri di sekolah. Sebaliknya, pengabdian yang berorientasi hanya untuk tujuan ‘kenyamanan’ akan menyebabkan suasana pembelajaran gersang. Meskipun diaplikasikan dengan kurikulum terbaru dan model pembelajaran terpopuler. Sentuhan psikologis yang tidak kasat mata itulah yang sangat mempengaruhi. Nurani harus diperankan kembali secara universal.

 

Bukan Gladiator Kurikulum

Penyedian buku, pelatihan guru, dan tata kelola. Itulah tiga agenda utama Kemdikbud  yang dijadikan pagar dalam meluncurkan kurikulum 2013. Diataranya itu peranan gurulah yang akan menentukannya. Penentuan itu tidak hanya bisa dengan sekedar melalui pelatihan, workshop, dan sejenisnya. Revolusi mindset haruslah menjadi fokus utama sehingga bisa memberi efek terhadap budaya kerja.

Jika tidak terjadi perubahan mindset dan budaya kerja pada 2,7 juta guru di negeri ini. Maka triliunan uang negara yang dianggarkan setiap tahunnya untuk kurikulum akan mengalir tanpa bekas. Tidak akan memberi pegaruh dan prestasi yang berarti. Terutama bagi peserta didik yang tersebar lebih dari 200.00 ribu sekolah di Indonesia.

Akhirnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang selalu bercokol di atas diperingkat 100. Tingkat Daya Saing Global yang menetapkan Indonesia berada pada urutan 42 dari 59 negara. Hasil Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) yang menempatkan kemampuan pelajar bidang Matematika pada rangking 38 dan Sains rangking 40 dari 42 negara. Serta sederetan publikasi statistik lain yang menunjukkan ketercapaian pendidikan bangsa tidak akan pernah mampu berubah lebih baik.

Semuanya terjadi ketika aktor guru yang seharusnya berperan sebagai eksekutor kebijakan. Namun ujung tombak pendidikan itu berubah bak gladiator yang rela diadu hanya demi mempertahankan zona nyamannya. Bukan berdo’a, tapi jika demikian adanya. Implementasi Kurikulum 2013 yang melakukan pendekatan saintifik ini dijamin akan bablas. Dunia pendidikanpun terjun bebas. 

 ::::::: Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  pada kolom OPINI tanggal 15 Juni 2013 di media cetak HARIAN HALUAN (SUMATERA BARAT)