Apa yang kita pikirkan dengan nasib dunia pendidikan ketika menyaksikan anak seusia SMP sudah dengan berani melakukan dan mempamerkan pesta adegan mesumnya? Apalagi kasus siswa salah satu SMP di Jakarta yang sedang ramai diperbincangkan ini, bukanlah kasus kenakalan pelajar yang pertama.
Melihat kasus ini, tentu banyak pihak ikut bicara termasuk suara langsung dari Mendikbud yang meminta harus adanya sanksi. Tapi sebelum membahas sanksi itu. Ada baiknya, kita semua termasuk Mendikbud dan jajarannya kembali mengingat kejadian melalui hebohnya pemberitaan siswa SMA yang dikeluarkan oleh sekolahnya akibat telah berstatus menikah. Pernikahan tidak lain akibat perilaku yang sama, hubungan bebas.
Diyakini, hebohnya berita itu tidak akan sehangat seperti kasus siswa SMP di atas ketika sekolah mencoba untuk ‘berdamai’ dengan pelakunya. Sayangnya, siswa yang berada di kelas 3 SMA itu mencoba ngotot untuk tetap diberikan kesempatan mengikuti UN. Akhirnya kabar tersiar menjalar. Pemberitaan mencuat hangat. Sampai akhirnya pemerintah melalui Kemdikbudnya tadi mengeluarkan komentar. Komentar yang memberi syarat dan sebuah petunjuk jalan damai.
Sampel kasus siswa SMP dan SMA ini pada dasarnya sama. Hanya penanganan yang akhirnya melahirkan tanggapan berbeda. Mirisnya saat menjelang UN lalu, bukan masalah amoralnya yang menjadi beban pikiran. Tetapi bisa atau tidaknya siswa tersebut untuk ikut UNlah yang lebih dipentingkan. Sangking pentingnya dan atas nama konsep pendidikan untuk semua. Mendikbud membolehkan siswa hamil dan menikah untuk ikut UN. Inilah ‘sanksi’ dari Mendikbud pada waktu itu. Bahkan tidak diberikan perlakuan berbeda sedikitpun. Sebaliknya, sekolah yang terlanjur mengeluarkan atau memberi hukuman kepada siswa nakal itu. Justru dianggap sekolah nakal. Sekolah bebal dan tidak mendengarkan petunjuk peringatan. Siapa sebenarnya yang nakal?
Mozaik Kehancuran
Potongan-potongan mozaik kejadian yang ada semakin menguatkan kita untuk memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, bahwa virus pornografi sudah mendera sedemikian rupa di tubuh bangsa. Bukan tidak mungkin akhirnya virus ini sudah tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penyakit masyarakat. Akibat sudah menjadi kebiasaan. Akibat hukumannya selalu diabaikan.
Pantas ketika Indonesia selalu ditempatkan sebagai negara yang paling banyak mengunduh video porno. Dengan pengunduh terbanyaknya anak sekolahan. Pantas ketika hasil survey selalu menunjukkan data yang mencengangkan ihwal perilaku remaja. Tidak peduli dimana posisi dan dimensinya. Kota besar dan desa terpencil sama sudah dinoktahi dengan kasus kenakalan remaja yang sama. Generasi muda semakin blak-blakan untuk berbuat maksiat. Generasi di atasnya sudah tidak lagi mendapat tempat terhormat.
Kedua, sekolah sebagai ajang penempaan sikap telah dipaksakan berubah hanya untuk mengejar target kebijakan. Pemerintah sepertinya tidak ingin programnya dinyatakan gagal. Termasuk dengan UNnya. Kalau beberapa tahun lalu kita senantiasa disajikan berita kecurangan UN. Banyak yang mencuat, tetapi diyakini lebih banyak yang berhasil menutupi kecurangan. Sehingga bebas untuk tersenyum dengan keberhasilan memanipulasi. Hasilnya terpublikasi dengan status mengembirakan. Bertaburlah angka kelulusan yang diluar logika tapi sudah diperkirakan.
Ketiga, terkait dengan UN itu sendiri. Pelaksanaan UN semakin menunjukkan sebuah sikap pendikotomian ilmu pengetahuan. Pelajaran semakin terkotakkan oleh keputusan yang sepihak. Siswa tidak lagi mendapat tempat untuk menempatkan diri sesuai kemampuannya. Padahal sudah diakui kecerdasan itu tidak hanya berada pada sisi akademik. Sisi akademik yang tidak diperkuat oleh ketahanan moral akan melahirkan pelacuran intelektual. Ide cemerlang yang dikeluarkan tidak lebih hanya untuk hasrat pematangan kedudukan dan citra diri. Terjawablah mengapa kadang terpampang publikasi oknum akademisi yang memanipulasi keilmiahannya sesuai patokan bayaran yang diterima.
Keempat, peran guru semakin dimandulkan. Baik peran sebagai eksekutor yang melakukan proses pembelajaran maupun penempaan budi pekerti siswa. Siswa sudah semakin cerdas menganalisa. Pengalaman telah menunjukkan tidak terlalu berpengaruh hubungan antara rajin belajar dengan kelulusan. Kecuali siswa yang memang sudah memiliki target prestesius dan sejenisnya.
Akibatnya kemudian siswa tidak lagi terlalu serius untuk memahami pelajaran yang diajarkan. Ujung-ujungnya akan tetap dikasi nilai aman. Ditambah semakin mengertinya mereka kalau nilai sekolah berkontribusi membantu kelulusan. Bukan hanya demi siswa, juga demi nama baik sekolah. Sekolah pasti akan ‘berjuang’ memberikan predikat kelulusan kepada seluruh siswa. Seratus persen.
Itu dari sisi pembelajaran. Dengan diikutsertakannya siswa yang melakukan perbuatan asusila sebagai peserta UN. Otomatis tidak akan ada lagi buku catatan hitam sekolah yang berisi daftar siswa yang dikeluarkan. Sekolah seolah bersih. Siswa memandang, UN saja dibolehkan. Apalagi ujian sekolah/semester. Dan apalagi kalau tidak buat PR. Guru akan semakin tersudutkan posisinya. Serba salah. Guru tidak hanya harus menahan emosi untuk tidak memberikan hukuman fisik –meskipun sewajarnya. Menyentil saja bisa didramatisir dan masuk ke ranah hukum. Guru juga hanya bisa mengelus dada ketika mendengarkan siswanya berbuat maksiat. Sebatas itu.
Bahkan nantinya guru hanya bisa melihat saat menyaksikan tindakan amoral siswanya itu berada persis di depannya. Sebatas melihat. Berbasa-basi menegur. Bagaimana mau lebih. Siswa yang melanggar perintah Tuhan saja diberikan perlindungan. Berarti perintah guru tidak akan ada artinya lagi? Atau kalau dianggap terlalu campur tangan malah kembali dikatakan nakal.
Generasi Binal
Arah pendidikan bangsa yang terseret ke arah sesat haruslah segera diselamatkan. Kalau harus berbicara secara nurani. Semua kita sepakat bahwa ada yang tidak beres dengan pelaksaaan pendidikan akhir-akhir ini. Akan tetapi akibat faktor ‘hidup-mati’ yang harus dihadapi terkait dengan semakin tingginya kompensasi yang diberi. Landasan nurani itu menguap. Hilang tanpa jejak sama sekali. Berubah menjadi sikap yang terpaksa menyelamatkan diri. Menyelamatkan anak-istri. Menyelamatkan ‘periuk-nasi.’ Dilematis memang.
Namun harus sampai kapan? Maukah kita generasi yang akan dilahirkan menjadi generasi yang tidak diharapkan? Siapkah kita ketika menitipkan anak sekolah dengan harapan menjadi lebih baik, namun justru sebaliknya? Relakah kita ketika dengan pembiayaan yang menghabiskan jutaan bahkan milyaran rupiah, hanya untuk mendapatkan perubahan sikap anak menjadi tidak bermoral? Sementara untuk mendidik di rumah, kesibukan pekerjaan sudah menghalangi.
Sebenarnya semua ada di tangan kita, para pendidik bangsa. Sambil mengharap datangnya kebijakan lebih baik. Antisipasilah dengan sikap yang lebih masif. Andai masalah krusial ini hanya dipandang sebelah mata. Andai hanya dibiarkan terus berlalu tanpa merasa sedikitpun terganggu. Bersiapalah negeri untuk dihuni generasi yang durhaka. Durhaka dengan orang tuanya. Durhaka dengan guru serta tanah kelahirannya.
Termasuklah generasi binal yang dilahirkan secara legal melalui diperbolehkannya siswa berhubungan bebas menjadi peserta UN. Bisnis pornografipun menjalar. Bintang pornografi berdatangan. Setan berjingkrak senang. Tetapi, Indonesia? Indonesia abadi berduka!
***Artikel dengan judul tersebut pernah terbit pada kolom OPINI tanggal 29 Oktober 2013 di media Tribun Jabar