Karena, Guru Itu Segalanya....

Setelah diperingati setiap tanggal 25 November, selanjutnya peringatan hari guru akan berlalu. Akan tetapi rasa terimakasih harus selalu kita haturkan padanya. Terutama atas pengabdiannya dalam menyinari negeri ini dengan beragam kilauan cahaya ilmu. Dan hal yang terpenting selanjutnya adalah sudah sepantasnya kita kembali menyadari  (bagi yang lupa) betapa pentingnya peranan guru dalam membangun bangsa. Bagi yang sedari dulu sudah sadar, sejauh mana kesadaran itu diimplementasikan? 

Memang pada saat ini, kita selalu disuguhkan dengan berbagai berita mengenai penanganan masalah guru. Katakanlah masalah kesejahteraan guru sehingga dulunya guru mendapat gelar Pahlawan dengan embel-embel tanpa tanda jasa. Sekarang sudah terjawab dengan adanya proses sertifikasi. Hasilnya jelas, meski masih belum maksimal. Paling tidak kita sudah menjumpai kehidupan guru yang sejajar dengan profesi bergengsi lainnya. Bahkan lebih.

Jalan untuk mensejahterakan guru dengan nama sertifikasi ini juga sekaligus dianggap sebagai jalan menciptakan guru lebih profesional. Minimal melalui jenjang pendidikannya sudah tidak lagi diragukan. Sehingga bagi yang hidup di zaman ini, sudah bisa melihat nama guru yang kalau dulunya bergelar di depan, itupun hanya satu gelar dan bahkan hanya milik satu guru di sekolah. Sekarang di belakang nama guru sudah dibuntuti dengan berbagai gelar. Lebih dari satu malah.

Tentu perihal yang berhubungan dengan kesejahteraan dan jenjang pendidikan ini dilindungi oleh payung hukum yang diorbitkan sejak tahun 2005 lalu. Artinya secara yuridis guru berhak menuntut kehidupannya lebih baik. Juga dengan aturan kewajibannya guru harus siap dituntut.

Begitu pula dalam penanganan masalah pendidikan yang berhubungan dengan guru lainnya. Kita mengenal adanya istilah Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Tertinggal, dan Terdepan (SM3T) yang bertujuan menanggulangi kekurangan guru di daerah terpencil. BOS, BSM, dan bantuan lainnya yang diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi guru dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dengan kata lain, akumulasi dari kesemuanya ini menyatu dalam satu tujuan yaitu agar guru dapat lebih fokus meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Terlepas bagaimana kondisinya di lapangan.

Tapi inilah bukti kalau guru mempunyai peranan yang luar biasa. Oleh karena itu salah satu persoalan mendasar sekaligus utama dalam pendidikan adalah bukan hanya pada persoalan yang sudah ‘dituntaskan’ jawabannya oleh berbagai program pemerintah tadi. Tapi bagaimana cara pandang kita terhadap guru itu. Baik dari gurunya sendiri, ataupun  dari luar lingkungan profesi guru.

Dimanakah Guru?
Bagaimana guru memposisikan dirinya dan seperti apa guru diposisikan? Inilah pertanyaan yang harus dijawab tuntas. Mungkin susah untuk kita menguraikan jawabannya, tetapi semuanya ini jelas terlihat dan terasa. Baiklah, biar tidak terlalu abstrak. Contoh sederhananya adalah ketika kita menyaksikan seorang guru -atau kitalah gurunya pada waktu itu- yang menjumpai Bupati, anggota DPRD, camat, atau bahkan kepala desa sekalipun. Untuk pengandaian ini memang sengaja tidak disebutkan pejabat yang dianggap di atasnya. Karena jawaban setelah kalimat berikut pasti seratus persen sama. Nah, ketika adanya pertemuan seperti itu, pada umumnya siapa yang lebih merasa untuk ‘menghormati?’

Di luar konteks kewajiban antar sesama makhluk hidup dan tutunan kehidupan. Pada saat sekolah kedatangan orang-orang dengan jabatan yang barusan disebutkan tadi. Dapat disaksikan bagaimana prosesi penyambutannya. Tapi sebaliknya, apakah ada prosesi penyambutan ketika guru yang bertandang? Kembali pada pertanyaan di awal, siapa yang lebih merasa untuk ‘menghormati?’

Belum lagi kalau membicarakan ‘transfer profesi’. Sangat pasti ketika membicarakan ini akan dibilang sebuah kekonyolan. Maka jangan heran jika banyak guru yang lebih bangga jika dipindahkan  posisinya menjadi camat misalnya. Guru memang kadang lebih tertarik pindah kerja ke jabatan struktural di berbagai kantor dengan jabatanya yang ‘diangkat’ dengan posisi  a, b, c, dan seterusnya. Padahal hanya ‘dipindahkan’, tetapi bahasa yang umum dipergunakan adalah ‘diangkat’. Sehingga wajar merasa lebih di atas. Tapi sebaliknya, apakah ada kebanggaan ketika transfer profesi itu di balik? Selain langka, kejadian ini justru akan berbuah pandangan negatif.

Reposisi Status Guru
Tanpa bermaksud menilai secara keseluruhan, tetapi itulah realitas mayoritas posisi guru sampai hari ini. Hingga akhirnya kadang kita sulit mendengar suara kontra guru terhadap kebijakan fatal yang berkaitan langsung dengannya. Termasuk kebijakan lainnya yang masih berhubungan dengan nafas pendidikan.  Sebenarnya suara-suara kontra itu ada, tapi hanya berupa nada sumbang. Kemudian lenyap ditelan arus rutinitas dan ketakutan  karena cara pandang terhadap posisi diri tadi.

Oleh karenanya, cara terpenting bagi guru dalam mereposisi statusnya sekarang adalah dengan mengubah pola pikir terhadap status dan kedudukannya. Guru itu adalah segalanya. Di setiap sekolah, ada berbagai mata pelajaran yang diampu oleh gurunya di bidang masing-masing. Fungsinya, para guru tidak hanya menumpahkan isi buku paket yang sudah disetting melalui kurikulum kepada peserta didik.  Tapi bagaimana membuat peserta didik bisa dan lebih kritis dalam memandang  persoalan yang ada dalam kehidupan di sekitarnya.

Karena guru adalah segalanya, guru harus terlebih dahulu mempunyai daya kritis yang tinggi. Kritis bukan berarti hanya sekedar menghasikan kritik. Lebih dari itu kritis adalah daya tahan terhadap munculnya persoalan yang bisa menggangu keadaan normal. Semakin kritis, berarti daya tahannya semakin kuat dan tidak mudah terjebak dalam rantai kepasrahan.

Karena guru adalah segalanya. Guru harus selalu mengajak siswa untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan siswa dan lingkungannya. Karena guru adalah segalanya. Guru harus menjadi pemciu pengambilan keputusan dan pengusung ide – ide dalam kehidupannya membangun masyarakat. Karena guru adalah segalanya, kita masih mempunyai mimpi ketika munculnya sebuah persoalan di tubuh bangsa ini. Maka yang ditanya terlebih dahulu bagaimana cara menyelesaikan persoalan itu adalah sang guru.

Misalnya saat gejolak ekonomi berlangsung, maka yang bicara adalah guru ekonomi. Menyikapi prestasi olahraga bangsa, guru olahraga yang menjadi pengamat sekaligus komentatornya. Ketika adanya kasus ‘penyadapan’, maka yang menjadi komentar referensinya adalah guru komputer/IT yang mengajar di sekolah. Bahkan, bukan tidak mungkin jika ada konflik antar negara, maka guru-guru sejarahlah atau rumpun ilmu sejenis yang juga bisa kita minta pendapat atau analis-analisisnya. 

Jangan mentertawainya. Andai kita masih mentertawakan pengandaian ini, berarti reposisi status guru itu memang masih jauh dari harapan. Bahkan masih terlalu abstrak. Tapi bukankah harapan itu selalu ada?

::::::: Artikel dengan judul tersebut  pernah terbit  pada kolom OPINI di media Harian Pelita