20 Mei 2014. Hasil UN SMA/Sederajat diumumkan.
Cerita dan berita pengulangan terjadi lagi.
Mungkin salah satu bentuknya adalah dengan saya yang hari ini menulis (LAGI) tentang ujian yang sering diplesetkan dengan berbagai plesetan: Ujian Nasib, Ujian Na’as, Ujian Nyontek, Ujian Ngasal, Ujian Nyeleneh, Ujian bla bla bla…. Intinya hampir mayoritas berkonotasi negatif.
Kalau ditanya mengapa mayoritas berkonotasi negatif? Ya, harus diakui karena dampak negatifnya semakin lama semakin terungkap dan meluas. Begitu!
Nah, seperti biasa ketika perhelatan nasional bernama UN telah dilalui oleh siswa baik tingkatan SMA, SMP, sampai SD. —Pun walau katanya SD sudah dihapus UN-nya, tapi bentuk pelaksanaannya tidak jauh beda dari UN itu sendiri. Sehingga tanpa disadari untuk tahun ini, tetap saja kita menyebut ujian kelulusan untuk siswa yang berseragam putih-merah itu dengan: UN, bukan?— hampir semua merasa lega. Paling tidak jika dipersentasekan, tingkat kelegaannya lebih baik dari pada saat-saat sang anak sedang melakukan ujian yang berlangsung tidak sampai satu minggu itu.
Dan biasanya, secara kasat mata (pada umumnya memang begini) persentase lega itu akan sampai pada puncaknya ketika sekolah yang telah direstui pemerintah mengumumkan KELULUSAN UN. Bagi mereka yang dengan berbagai macam rasa saat menyaksikan kertas ‘SELAMAT ANDA LULUS UN’ kemudian merayakan berbagai ekspresi kelegaan itu. Dari aksi copras-copres (eh maksudnya corat-coret baju), konvoi dengan kendaraaan bermotor, sampai kepada ekspresi ‘kasih-sayang’ yang tidak pada tempatnya.
Di sisi lain, ada juga yang mengekspresikan kelegaan itu dengan hal-hal positif. Misalnya dengan sujud syukur berjama’ah, mentraktir makan teman-teman, membagikan baju-baju sekolahnya dan kegiatan sosial lain, sampai ada yang mengunjungi kebun binatang (kalau yang terakhir ini hanya perkiraan saya saja).
Bagaimana yang tidak lulus, apakah lega? Juga lega! Mereka lega sudah mengetahui hasil akhirnya, walaupun kelegaan itu diiringi dengan rasa kecewa, sedih, serta sakit hati. Sakit hati kepada siapa? Mereka dan malaikat juga tahu!
Namun, setelah mereka mengekspresikan kelegaannyadengan berbagai rasa dan gaya.
Termasuk juga ketika pemerintah yang ikut lega akibat merasa angka ketercapaian lulusannya tinggi. Lega!
Lantas, kita? Seharusnya bukan malah ikut terjebak dengan euphoria lega.
Tapi kita harus merasa berduka. Ya berduka!
Mengapa???