Dari Demokrasi Ke Mediakrasi

Dari sisi seremonial, perhelatan demokrasi di Indonesia kini sudah semakin menunjukkan semangat yang luar biasa. Dari kanan-kiri jalan sudah dapat dilihat begitu banyaknya aksi mereka yang mengaku sang perubah,  yang nantinya akan mampu membawa perubahan. Tentunya dengan ending mereka harus dipilih. Itulah intinya, dipilih! Memangnya mau jika bukan karena untuk dipilih semua kontestan itu melakukan aksi pameran dan unjuk gigi seperti itu? Mustahil mungkin!

Baiklah terlepas dari mustahil atau tidaknya. Pastinya hari-hari kita menjelang pesta pemilihan demokrasi ini tidak terlepas dari prosesi kampanye mereka. Bagaimanapun Kita tidak akan bisa lepas dari fenomena pembagian stiker, kalender, (uang?) dan lain sebagainya. Di jalan, di televisi, bahkan di kamarpun bisa jadi kita akan temui bentuk sosialisasi –kalau ada yang tidak ingin dibilang kampanye- itu. Inilah faktanya, karena katanya inilah negara demokrasi itu.

Demokrasi! Yah tidak ada yang salahlah jika kita mengatas namakan demokrasi. Tapi atas dasar demokrasi jualah, melalui tulisan ini saya mencoba memberikan sebuah analisa terhadap fenomena demokrasi yang terjadi itu.

Sejenak, mari kita coba mencermati bersama apa sebenarnya yang sering kita saksikan dalam perhelatan menyambut pesta demokrasi?  Bukan partai! Bukan Sang calon! Tapi medialah yang membuat kita sering melihat partai dan caleg tersebut. Apalagi sekarang distribusi media sudah menyebar hampir sempurna melalui dunia maya. Istilah kekininian dikenal dengan media sosial itu.

Dari media inilah. Yang kemudian dari sering melihat menjadi kenal. Dari kenal menjadi seterusnya dan seterusnya. Atau sebaliknya, membuat kita agak bingung, tambah bingung, dan makin bingung. Benarkan?

Menuju Kebingungan? Nah jika kita sudah meyakini dan menyadari bahwa medialah yang mempunyai peran besar dalam memberikan pengaruh (sugesti) kepada kita. Terkhusus dalam hal ini mengenai bagaimana pengaruh kita sehingga kita jatuh cinta kepada sesuatu yang akan kita pilih. Sekarang, mari kita coba untuk mereduksi permasalahannya. Agar kemudian kita tidak justru menyalahkan media semata. Karena bagaimanapun media hanyalah sebuah alat transfer informasi. Ada pemain utama di balik media yang kita lihat itu.

Adapun beberapa permasalahan itu adalah pertama, pemborosan. Publik telah mengetahui setiap kontestan yang berkampanye, terutama yang getol melalui media elektronik seperti televisi yang telah menghabiskan uang dengan hitungan rupiah yang banyak. Bukan tidak mungkin sampai hitungan milyaran - triliyunan juga? Bisa jadi!

Bahkan itu akan lebih membengkak lagi dikarenakan jadwal pemilihan yang semakin dekat, otomatis akan semakin intens propagandanya digencarkan. Kalau tidak percaya, kita lihat saja nanti laporan resmi dana kampanye masing-masing kandidat yang akan disampaikannya ke lembaga terkait. Ini belum lagi ditambah dengan budaya tebar pesona melalui bagi-bagi atribut yang diwujudkan dalam bentuk semisal baju, topi, dan bentuk-bentuk lainnya.
Padahal seperti kita ketahui data jumlah masyarakat yang hidup dalam kesengsaraan – yang dihaluskan dengan istilah ‘hidup sederhana’ sangat banyak. Apakah ini bukan pemborosan namanya? Menghambur-hamburkan uang hanya demi popularitas, sementara disisi lain banyak masyarakat kita yang hidup dalam kondisi serba kekurangan.

Kedua, iklan kampanye yang beredar sekarang hanya menunjukkan sifat saling mengklaim keberhasilan dan sifat saling mengeksplorasikan kegagalan. Dalam hal mengklaim keberhasilan tentunya dilakukan oleh kandidat yang menguasai pemerintahan. Sebaliknya kebanyakan adalah bagian yang mengeksplorasi kegagalan pemerintahan. Tidak lebih seperti inilah fenomena yang selalu kita santap. Para elit politik seakan-akan belum mampu menunjukkan profesionalismenya dalam melewati tahapan dalam prosesi demokrasi.

Ketiga, dampak dari adanya hiruk pikuk permasalahan diatas akan menghasilkan pembingungan saja pada masyarakat kita. Masyarakat bingung, siapa yang benar siapa yang salah. Bukankah mereka yang ‘bertengkar’ diatas itu adalah orang-orang pilihan? Kemudian malah para pendudukung dan simpatisannya juga ikut ‘adu suara.’ Lengkaplah kebingungan itu. Jadi, kedepan siapa yang mau dipilih? Bingungkan jadinya?

Keempat, permasalahan lain dari propaganda media tersebut adalah akan munculnya pembodohan sistematis dan membiasakan budaya instant terhadap rakyat. Dampak dari kebingungan tadi tentunya akan meimbulkan sikap masa bodoh (apatis) pada masyarakat. Kalau sudah masa bodoh, ya akan malas berpikir, kalau malas berpikir, lama-kelamaan akan terjadilah kebuntuan pikiran.

Kalau sudah sepeti ini, semakin jauhlah kesadaran untuk melek politik. Akhirnya, virus budaya instanlah yang akan dibiasakan oleh kandidat. Program ‘bagi-bagi’lah yang akan dilakukan. Bagi sembakolah,bagi inilah, bagi itulah. Instant!

Political Marketing dan Pendidikan Politik. Sekedar mengingat, jika kita kembali mendefiniskan demokrasi, kita pasti akan berpikir kepada istilahnya  yang berasal dari Yunani Kuno  dan diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM tersebut. Terjemahan sederhana dan yang sudah lazim kita dengar adalah sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Artinya konsep demokrasi menjadi keyword dalam bidang yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Alasan ini tidak lain karena demokrasi juga menjadi petunjuk (indicator) terhadap perkembangan politik dan pemerintahan suatu negara.

Untuk itulah, agar kemudian rakyat tidak hanya menjadi tumbal-tumbal demokrasi, ada dua hal utama yang harus di programkan dan saya anggap wajib untuk dijalankan oleh partai politik saat ini. Pertama, Political Marketing. Disini partai politik tidak harus menguras saku partainya untuk melakukan pemasaran program-programnya, tapi kemudian yang di luar sistem merekalah yang akan memasarkannya. Media akan memperlihatkannya kepada khalayak ramai, masyarakat akan ramai meceritakannya, karena memang media dan masyarakat telah melihat program nyata yang dilakukan oleh partai teresebut. Pastinya yang dikedepankan dalam hal ini adalah prestasi bukan sekedar sensasi.

Dan yang kedua adalah pendidikan politik. Program partai politik seharusnya tidak hanya sekedar program ‘bagi-bagi’ yang penulis sebutkan diatas tadi, tapi lebih bagaimana pada usaha memahami masyarakat mengenai sistem perpolitikan dan pemeritahan yang ada. Kita punya jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Jika punya keinginan, manfaatkanlah jalur yang ada ini dengan seoptimal mungkin.

Dengan dua program ini, hasil yang diharapkan bukan hanya dapat meminimalisir jumlah golput (golongan tidak memilih)  yang menjadi sebuah momok pada pesta demokrasi. Namun hasil utamanya akan membawa kita kepada peningkatan kualitas demokrasi. Ini terjadi karena pemilihnya (voter) sudah dapat memilih dengan cerdas, bukan hanya dengan bisikan-bisikan kampanye melalui media yang mehambur-hamburkan uang itu. Akan tetapi jika partai politik masih enggan untuk melakukan hal ini. Masih hanya berkutat dengan kampanye-kampanye sesaat nya itu.

Maka tidak salahlah kalau akhirnya kita membuat suatu kesimpulan, negara ini akan mengalami metamorposis dari demokrasi ke mediakrasi. Siapa yang menguasai media, merekalah yang akan langgeng menuju tampuk kekuasaan. Waspadalah!