Harian Pelita, 21 April 2016 |
Tanpa menutup mata atas berbagai prestasi yang mereka raih. Degradasi moralitas yang menimpa generasi dini bangsa haruslah menjadi prioritas yang harus segera dicari jalan keluarnya. Jika abai bukan kemustahilan prestasi yang diraih itu akan menguap cepat. Mereka bertansformasi menjadi manusia-manusia imut namun berjiwa pemangsa. Menjadi pemangsa sesamananya, pemangsa guru, dan pemangsa orang tuanya sendiri.
Ini bukanlah sebuah prediksi, tetapi semuanya telah terjadi. Tanpa perlu menguraikan contoh cerita. Faktanya telah tersebar di berbagai media dan di lingkungan sekitar kita. Bahkan (mudah-mudahan tidak) terjadi di rumah kita sendiri. Baik dalam bentuk materi, psikologis, maupun nyawa sekalipun.
Siapa yang salah atas hadirnya anak-anak dengan berbagai prilaku yang jauh dari kemanusian itu? Banyak faktor, penyebab, dan semua harus bertangungjawab.Sebuah jawaban klasik yang masih bertebaran. Tidak salah, tetapi jawaban tersebut sekaligus memberikan kesempatan untuk saling melemparkan masalah.
Siapa yang salah atas hadirnya anak-anak dengan berbagai perilaku yang memupuskan harapan negeri ini? Sebagai orang tua, jawablah dengan melihat apa yang telah kita perbuat. Anak adalah peniru ulung. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasanya akan terekam dengan jelas di alam bawah sadarnya. Alam pikiran yang menurut psikolog dunia, Sigmund Freud, paling menentukan perilaku manusia.
Menjadi Anak Emas
Tanpa disadari walau telah bersusah payah memberikan ketauladan terbaik.Kita tetap kecolongan karena selalu menghadirkan objek tiruan lain di tengah kehidupan berkeluarga. Parahnya waktu yang dihabiskan sang anak kadang lebih banyak bersama objek tiruan ini ketimbang keluarganya. Apa objek tiruan itu? Siaran televisi!
Tayangan televisi itu bagaikan zat aditif yang tingkat ketergantungannya bisa mencapai level over dosis. Di tengah derasnya arus informasi yang silih berganti dengan hitungan detik. Kita memang dihipnotis untuk dituntut menjadi warga yang terus update atas setiap kejadian. Akhirnya televisi sudah menjadi bagian penting dari keluarga.
Tidak salah kalau akhirnya muncul sindiran yang menyatakan remote televisi kini sudah menjadi anak emas dalam keluarga. Mengapa? Pertama, karena ketika remote televisi hilang atau rusak. Semua anggota keluarga merasa kehilangan. Semua anggota keluarga segera untuk menemukan atau memperbaikinya sesegera mungkin. Sementara jika salah satu anak dalam keluarga itu sakit atau terlambat pulang ke rumah. Adakah rasa yang sama hadir di tengah keluarga itu? Kedua, jelas karena posisi televisi itu sendiri sering mendapatkan tempat yang strategis, termasuk di ruang keluarga.
Sebagai orang dewasa saja kita tanpa sadar bisa mencapai level over dosis itu dengan cepat. Tidak percaya? Saksikanlah berapa banyak diantara kita yang terpaksa menunda makan atau pekerjaannya. Tidak sedikit juga yang dengan sukarela menunda kebelet pipisnya. Malah sering ditemui ibu rumah tangga yang sesaat mengalihkan pekerjaan dapurnya ke ruang televisi. Semua dilakukan hanya karena tayangan televisi.
Benteng Integritas
Jika orang dewasa saja demikian. Bagaimana dengan anak-anak yang diidentikan dengan sang peniru ulung tadi? Sementara semakin kesini tayangan televisi sangat jauh dari unsur edukatif. Melalui halaman virtualnya, awal tahun ini Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menegaskan sepanjang 2006 - 2015 terdapat 59 persen acara yang tidak ramah anak. Parahnya angka ini muncul dari analisis terhadap 1.401 acara anak. Sekali lagi, ini khusus acara anak saja. Sederhananya kalau acara anak sangat tidak aman bagi mereka sendiri. Bagaimana dengan ribuan tayangan lain yang bukan khusus untuknya?
Setidaknya ada dua langkah nyata agar para anak dan kita sendiri tetap hidup dengan wawasan serta informasi yang bertambah. Pertama, matikan televisi sekarang! Bukan ekstrim. Tapi ini langkah awal yang perlu dilakukan oleh orang tua sebagai pengambil kebijakan keluarga. Kebijakan yang juga sebuah kewajiban. Jika masih berat dan menuai pro-kontra dalam keluarga. Diagonosanya jelas, ada yang ketagihannya sudah over dosis!
Kedua, perkuat budaya baca. Dapat dipastikan ada kaitan yang sangat jelas antara tingginya ketergantungan terhadap tayangan televisi dengan rendahnya minat baca. Secara neurosains telah diketahui bahwa membaca akan membuat kerja saraf otak lebih aktif. Sementara menonton membuat otak cenderung pasif. Bukti juga menunjukkan lima tahun lalu UNESCO mengungkapkan indeks membaca orang Indonesia hanya 0.001. Terjemahannya adalah hanya satu yang minat membaca dari 1.000 orang. Miris sekali bukan? Maka bisa jadi ini alasan mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan gerakan 15 menit membaca bagi siswa. Bukan menonton!
Untuk mengaplikasikan kedua langkah tersebut diperkukan komitmen dari orang tua sendiri. Bukan langsung menagih komitmen dari anak .Jangan kemudian melarang anak menonton sementara dirinya sendiri asyik menatap sinetron kesayangan. Bukan hanya menyuruh anak membaca, sementara membaca dan membeli buku tidak menjadi agenda prioritas keluarga.
Orang tua harus satu kata satu perbuatan. Orang tua harus menjadi benteng integritas. Melalui orang tua yang berintegritas akan melahirkan generasi yang berintegritas pula. Generasi yang akan membunuh rasa saling tidak percaya yang tumbuh subur. Generasi yang akan menggantikan para pemimpin yang minus karakter serta miskin moral di negeri ini.
Nah, jika sang anak bertanya sampai kapan tidak diperbolehkan menonton televisii? Jawabnya adalah jika pemerintah sudah konsisten menegakkan regulasi yang telah dibuatnya. UU N0. 32 tahun 2002 tentang penyiaran tegas menyatakan tujuan dari tayangan. Di dalam regulasi ini disebutkan bahwa penyelenggaraan penyiaran diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional, dan memajukan kebudayaan nasional.
Andai sudah demikian. Bolehlah tekan kembali tombol on televisi kita.
*** Tulisan ini terbit di Harian Pelita, 21 April 2016