Pancasila & Ideologi Pendidikan Bangsa


Derasnya arus gelombang persaingan global telah memicu bangsa untuk melahirkan generasi berindeks A+.  Nilai yang sempurna. 

Generasi yang diharapkan tumbuh dan mengharumkan nama bangsa. Tidak heran kalau akhirnya gerak pendidikan juga semakin dipacu. Semuanya diarahkan untuk mencapai berbagai standar Internasional.

Namun, di balik derasnya arus tersebut. Perlu disadari dan diwasapadai kembali mengenai hadirnya turbelensi kehidupan bermasyarakat. Kita bingung sendiri dengan apa maunya kita. Perbedaan sudah tidak lagi menjadi alat perekat untuk persatuan. Tetapi perbedaan telah diterjemahkan sebagai aksioma kawan – lawan. Anehnya, kadang aksioma termentahkan kembali hanya karena kepentingan. Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan.

Jadi, ada banyak kepentingan yang akhirnya menjamur. Mulai kepentingan di jalan raya sampai kepentingan yang bersinggungan dengan istana negara. Oleh karena itu pendidikan sebagai garda utama penggerak perubahan sosial harus hadir dengan utuh. Hadir untuk menghilangkan garis singgung yang terjadi dalam masyarakat.

Selain memikirkan bagaimana melahirkan generasi cerdas akademik. Pendidikan bangsa terlebih dahulu harus menjelaskan ideologinya. Mempertegas kembali. Jika tidak, dapat dipastikan Indonesia memang mampu melahirkan berjuta intelektual super. Tetapi disisi lain, akan muncul bahaya laten yang dengan mudah mengkaburkan identitas negara. Pragmatime masyarakat akan tumbuh sumbur.

Jalan yang Lurus
Memang, perjalanan pendidikan kita selama ini seperti kehilangan pedoman hidup. Terombang-ambing dalam tujuan. Pendidikan lebih dominan dijadikan sebagai alat politis. Selain karena banyaknya persinggungan di dunia pendidikan. Pasar pendidikan juga sudah menjadi arena  bisnis yang sangat menggiurkan. 

Sebagai ideologi negara, jelaslah jawabannya bahwa Pancasila mutlak menjadi ideologi pendidikan bangsa. Harusnya tidak ada celah sediktpun bagi isme lain untuk menyelinap. Atau kemudian masuk ke setiap sudut aktifitas pendidikan. Apalagi ketika Kemendikbud sekarang begitu genjar mengkampanyekan konsep Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Maka harus dipahami kemudian adalah pendidikan karakter sejatinya bersumber dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Pancasila adalah sumber utamanya.

Bagaimana implementasinya? Menjadi sebuah ‘pekerjaan rumah’ besar pemerintah untuk menginternalisasikan kepada setiap lembaga pendidikan. Dari lembaga pendidikan tersebut diharapkan merasuk ke setiap jiwa para pendidik dan peserta didiknya. Kemudian secara simultan membentuk masyarakat Pancasila.

Terkait implementasi ini, dari dulu bapak Proklamator Kemerdekaan, Bung Hatta dalam tulisannya yang berjudul ‘Pancasila Jalan Lurus’ telah mengingatkan Pancasila itu hendaklah diamalkan benar-benar dengan perbuatan, janganlah sekedar lips sevice saja.

Menuju Manusia Merdeka
Sebagai negara yang majemuk, Pancasila menjadi perekat agar semangat NKRI terus berkibar. Begitu jugalah dengan pendidikan yang berideologikan Pancasila. Agenda dan proses pendidikan haruslah mencerminkan pengamalan lima sila Pancasila. Banyak hal yang bisa djiabarkan sebagai bentuk  pengintegrasian Pancasila sebagai ruh dalam dunia pendidikan.

Tetapi secara sederhana dan singkat dapat dideskripsikan sebagai berikut, Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendidikan Indonesia harus mampu menumbuhkan semangat religius. Bukan menjebak peserta didik kedalam dalam pemikiran yang anti ketuhanan.

Kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab. Pendidikan bangsa harus memberikan ruang yang sama untuk bereksplorasi. Adanya bentuk evaluasi yang distandarkan secara nasional. Misalnya UN untuk siswa, UKG untuk guru , dan UKKS untuk Kepala Sekolah. Sebaiknya mempertimbangkan pemerataan akses, sarana/prasarana, dan kondisi wilayah terlebih dahulu.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Pendidikan harus melahirkan generasi yang mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi/golongan. Menghiangkan egoisme dalam bentuk dan skala apapun.

Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Pendidikan harus mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Bukan keputusan yang dilandaskan atas tendensi tertentu. Bukan sebaliknya,mekanisme voting seakan sudah menjadi tren di  kalangan siswa. Misalnya, pemilihan ketua kelas atau OSIS atau ketua senat di kampus.

Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Output pendidikan haruslah menghasilkan generasi yang peduli sesama. Ketika pendidikan mampu menginjeksikan sila terakhir ini. Adanya tembok megah yang berbatasan rumah gubuk seharusnya tidak ada lagi.

Implikasi dari pendidikan yang beridelogikan Pancasila. Tentu yang diserti dengan pengamalannya. Dipastikan akan melahirkan manusia Indonesia yang merdeka. Manusia hasil tempaan proses pendidikan seperti  yang diharapkan oleh Ki Hajar Dewantara. Dengan demikian, terlahirlah generasi bangsa yang berjati diri dalam satu bendera: Merah Putih, satu bahasa: Bahasa Indonesia, dan satu tanah air: Tanah Air Indonesia.

Hanya saja pertanyaanya, apakah pendidikan yang kita jalani telah menjadikan Pancasila sebagai ideologinya? Saatnya mengamalkan. Bukan memperdebatkan lagi.

*Tulisan terbit di Koran Banten Pos, 22 Januari 2017