"Para pemimpin kita harus mereformasi arsitektur finansial yang penuh cacat..."(David M. Smick, Penasehat Ekonomi Para Presiden AS)
Sejarah bangsa Indonesia secara umum selalu dikaitkan dengan file cerita yang berkaitan dengan heroiknya perjuangan meraih kemerdekaan. Bahkan perjuangannya lebih diidentikkan dengan pertarungan antara bambu runcing vs tank penjajah, meledakkan meriam, atau menembak dengan senapan. Ujung dari perjuangan tersebut adalah tercapainya sebuah tujuan yang dinanti-nantikan rakyat dari bangsa terjajah, yakni merdeka, merdeka, dan merdeka!
Maka persis dengan tercetusnya Proklamasi 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan bangsanya. Kemudian, sejarah bangsa mulai mencatat tokoh-tokoh perjuangan bangsa yang kelak dinobatkan dengan sebuah gelar pahlawan nasional. Sekali lagi, tokoh tersebut tentunya yang mempunyai peran dengan aktifitasnya ‘mengangkat’ senjata melawan penjajah tadi.
Padahal, dibalik heroiknya semangat dalam meraih kemerdekaan dan mempertahankan nasionalisme bangsa. Apakah sebelum atau setelah diraihnya kemerdekaan. Banyak cerita-cerita kepahlawanan yang membawa negara ini lebih berdaulat. Beragam domain dan peran-peran yang dimainkan para pendahulu republik ini. Berbagai usaha yang mereka perbuat sebagai ikhtiar menjadikan Bangsa Indonesia merdeka dengan kategori paripurna. Salah satunya adalah pergerakan di bidang ekonomi yaitu mengenai kedaulatan perbankan di Indonesia.
Diyakini, di bangku-bangku sekolah kisah perbankan lebih dititik beratkan pengajarannya hanya untuk para pelajar yang memilih jurusan berkaitan dengan perbankan saja (rumpun ilmu sosial). Itupun, pembelajarannya alpa mengenai sejarah perbankan tersebut.
Tidak sampai disini, di bangku perkuliahan tinggipun, sejarah perbankan Indonesia hanya dibahas sepintas lalu dan itupun tidak berupa sebuah historikal yang disajikan secara kronologis. Hanya ilmu-ilmu terapan dalam dunia perbakan atau keuangan yang lebih diutamakan injeksinya.
Akibatnya dapat dipastikan tidak banyak sarjana ekonomi Indonesia yang mahfum mengenai sejarah perbankan bangsanya sendiri. Jika demikian faktanya yang terjadi dengan ‘generasi perbankan.’ Apalagi dengan mereka yang sejak sekolah sampai kuliah lepas dari pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan perbankan atau ekonomi secara umum. Semakin tidak tersentuhlah pikirannya tentang salah satu kisah heroik di negeri ini. Sebuah kisah perjalanan perbankan Indonesia menemui titik kedaulatannya. Kedaulatan yang juga merupakan bentuk kedigdayaan bangsa.
Untuk itu hadirnya buku ‘Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia’ harus diapresiasi positif. Tidak hanya bagi kalangan ‘generasi perbankan’ tetapi juga bagi seluruh Rakyat Indonesia. Mengapa dikatakan demikian? Setelah membaca buku yang ketua tim penulisnya langsung dipimpin oleh Kepala Departemen Riset Kebanksentralan, Darsono. Maka menurut penulis, sedikitnya ada 3 alasan mengapa kehadiran buku ini dipandang perlu.
Pertama, jelas buku yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) ini memberikan uraian yang sangat kronologis tentang tentang perjalanan lahirnya BI. Sangat apik alur ceritanya mengenai bagaimana nasionalisasi perbankan di Indonesia yang salah satu indikator penentunya adalah berakhrinya fase De Javasche Bank (DJB).
Seperti yang disampaikan Gubernur BI, Agus Martowardojo dalam sambutannya. Beliau menuturkan bahwa berakhirnya DJB pada 1953 pada dasarnya merupakan awal beridirinya suatu fase baru dalam sejarah perbankan Indonesia. Oleh karena itulah hari lahir BI ditetapkan pada tahun tersebut, tepatnya 1 Juli 1953.
Di halaman perdana dalam Bab pendahuluanya, buku ini langsung membawa kita untuk berjalan jauh kembali pada tahun dimana kita agak sulit menafsirkan keadaan zaman tersebut. Hal ini dikarenakan karena BI memang lahir melalui proses yang sangat panjang. Sejarah BI yang tidak terlepas dengan DJB itu bermulai dari tahun 1800-an. Dimana DJB sendiri didirikan tahun 1828. Bank ini pada waktu itu merupakan bentuk perbankan modern. Akan tetapi melalui bantuan beberapa foto sejarah yang ditampilkan, visualiasasi zaman itu dapat direkam.
Kedua, buku ini juga memberikan wawasan baru bahwa kedaulatan perbankan juga merupakan bagian dari kedaulatan bangsa. Ada kesadaran yang timbur bahwa sejak hadirnya perbankan di Indonesia dalam bentuk DJB. Kemudian DJB memperluas ekspansinya dengan membuka cabang di beberapa daerah Indonesia. DJBers tersebut sangat mempunyai keterkaitan dengan ‘budaya’ curturtelsel yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) yang diterapkan penjajah.
Sebagaimana kita ketahui, korban dari STP ini tentunya warga pribumi. Sementara para penikmat hasilnya tidak lain adalah para penjajah itu sendiri. Hadirnya perbankan berdarah penjajah itu juga menghasilkan perang bisnis. Dalam perang bisnis akan memberikan dampak yang salah satunya adalah pengendalian mata uang diserahkan kepada pasar terutama pelaku bisnis (halaman 6).
Jamaknya penggunaan mata uang ini berakibat semakin jahatnya persaingan untuk menjadi pemenang dan memonopoli. Misalnya seperti ketika perlahan-lahan bangsa Indonesia sudah menggunakan uang kebanggaannya yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia). Kondisi ini justru membuat pihak Belanda semakin merasa tersaingi. Oleh karena itu pihak Belanda tetap menggunakan uang NICA-nya sebagai alat untuk memperpuruk kondisi ekonomi Indonesia. Belanda masih separuh hati mengakui keberadaan ORI.
Selain itu, pada masa tersebut (1946-1949), periode dimana semakin dekatnya waktu kelahiran Bank Sentral Indonesia. Belanda semakin terang-terangan memposisikan Republik Indonesia sebagai musuh yang akan ‘mengganggu’ kesejahteraan mereka. Padahal secara legalitas, satu tahun sebelumnya (1945) Indonesia sudah menjadi negara merdeka.
Ketiga, namanya perjuangan pastilah akan melahirkan tokoh perjuangan. Setelah membaca buku ini, ada beberapa nama yang dapat disimpulkan sebagai para pejuang perbankan Indonesia. Sebut saja R.M Margono Djojohadikusumo, Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) zaman kemerdekaan. Beliau merupakan inisiator agar di Indonesia memiliki bank yang tidak hanya mengatasnamakan Indonesia, tetapi juga berdarah daging Indonesia. Ada juga nama Moh. Hatta, tidak hanya dikenal sebagai proklamator dan Wakil Presiden. Bapak Koperasi ini ternyata termasuk petinggi negara yang sangat menyetujui ide sang inisiator tersebut. Selain Moh. Hatta, terdapat juga nama Syafruddin Prawiranegara, sosok gubernur pertama BI.
Selain itu, dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) juga diceritakan bagaimana Dr. Sumitro Dojohadikusumo yang saat itu merupakan ketua delegasi sub ekonomi dan keuangan Indonesia melawan bentuk ketidakadilan Belanda terhadap Indonesia dalam bidang ekonomi (halaman 183).
Terlihat juga bagaimana usahanya mengusulkan salah satu Bank yang ada waktu itu yaitu Bank Negara Indoesia (BNI) untuk dijadikan ‘batu lompatan’ menjadi Bank Sentral. Selain itu, masih banyak nama-nama lain terutama yang saat itu menjabat sebagai pengambil kebijakan bangsa. Mereka secara tidak langsung selain melakukan upaya normalisasi ekonomi negara juga mengatur siasat agar bagaimana Bank Sentral Indonesia yang dihadirkan mampu menjadi bank yang kompetitif dan prestatif. Tidak terkekang lagi dengan penjajah dengan liberalisasi DJBnya.
Sebagai catatan terkait tokoh perjuangan tersebut. Sebaiknya buku ini ditambahkan dengan bab baru yang khusus membahas ‘tokoh pejuang dari zaman ke zaman’ yang berperan dalam dunia perbankan Indonesia. Tujuannya agar pembaca bisa lebih mudah mengenal para tokohnya. Bukan tidak mungkin dari bab ini kemudian melahirkan indikator sebagai syarat rekomendasi yang berkenaan dengan status kepahlawanan mereka.
Selain ketiga hal yang telah diuraikan di atas. Pastinya masih banyak jejak-jejak sejarah menarik lainnya yang disajikan dalam buku yang terdiri dari 8 Bab ini. Selain menghadirkan Bab Pendahuluan (Bab I) dan Epilog (Bab 8). Diuraikan juga secara runut tentang DJB yang merupakan ‘Bapak’ dari BI. Bahkan sejarah lahirnya DJB itu sekaligus peranan DJB dalam perekonomian dunia (Bab 2). Dilanjutkan keberadaan DJB di era liberalisasi ekonomi (1870-1914) dan mengenai dimulainya perluasan DJB di Indonesia (Bab. 3).
Pada bahasan selanjutnya kita akan diajak masuk ke era dimana DJB berada dalam era peperangan baik perang dunia maupun era peperangan yang terjadi pra dan paska kemerdekaan. Sebagaimana dikatakan di awal resensi ini, banyak kisah perjuangan bangsa yang terjadi di tanah air. Sejarah perjuangan tersebut sebenarnya ada yang berhubungan dengan usaha melahirkan Bank bernafas Indonesia sebagai bentuk bangsa yang merdeka (Bab 4 dan Bab 5). Pada Bab 6, barulah pembaca akan menemukan jalan yang semakin dekat menuju lahirnya Bank Sentral Indonesia. Bahasa yang digunakan dalam bab ini adalah Indonesianisasi De Javasche Bank.
Tidak hanya sampai disitu, di Bab 7, disajikan mengenai fakta peranan BI setelah lahir pada tahun 1953. Termasuk keberadaaannya dalam pertikaian internal bangsa seperti peristiwa Gerakan 30 September.
Memang, jika sekali mengkatamkan buku yang ditulis setebal 400-an halaman ini. Pembaca mungkin tidak akan bisa menguasai isi bukunya. Akan tetapi dipastikan kita akan banyak menemukan rantai-rantai sejarah yang berkaitan satu dengan lainnya.
Pada akhirnya, dengan memiliki dan sekaligus membaca buku yang diisi kata sambutan oleh tokoh BI yang aktif, yaitu Gubernur BI dan Deputinya. Kita akan dibawa pada rasa percaya diri yang besar kepada bangsa ini, pada hadirnya BI di tanah air.
Kita tidak lagi memandang BI hanya sekedar bank yang hanya dipandang secara umum sebagai pusat pengendali uang. Tetapi BI adalah nafas kehidupan ekonomi bangsa yang dalam kelahirannya telah banyak mengorbankan ide, jiwa, dan materi. Tujuannya tidak lain adalah agar Indonesia menjadi negara merdeka yang mampu berdikari secara ekonomi. Persis seperti salah satu konsep Tri Sakti yang pernah diungkapkan Presiden pertama RI, Bung Karno pada tahun 1963. Konsep yang kemudian direvitalisasikan oleh Presiden Jokowi di era pemerintahannya saat ini.
Kehadiran buku ini juga dianggap sebagai salah satu wujud menyelamatkan anak bangsa agar tidak lost contact dengan sejarah ibu pertiwinya. Jika dibaca sumber referensi dari buku ini. Jelas bukan hal yang mudah bagi tim penulis untuk memformulasikan kegiatan ‘mengubek-ubek’ arsip sejarah yang berusia lebih dari satu abad itu menjadi sebuah buku.
Akhirnya, setelah BI lahir dengan penuh pengorbanan dan melewati berbagai rangkaian sejarah. Kita berharap heroiknya kelahiran BI tersebut tetap hidup sampai sekarang. Keberadaan BI harus selalu turut serta memberikan kontribusi positif bagi perekonomian tanah air. Meminjam istilah David M. Smick yang di awal tulisan, maka BI harus proaktif untuk terus “mereformasi arsitektur finansial yang penuh cacat.” Jika tidak, buku sejarah ini hanya akan menjadi catatan romantisme masa lalu semata.