Hoax adalah Kita?

                                                                 
"Kita berseru A, namun kita berbuat B. Kita berbuat B,
namun kita mengaku C. Kita arahkan telunjuk kemunafikan
ke arah 
lawan sambil menebarkan opini kebohongan"


Jakarta, CNN Indonesia -- Dia adalah hoax. Sebuah istilah asing yang sekarang sudah tak asing lagi di telinga, mata dan bahkan jiwa. Istilah yang secara jamak disepakati sebagai ‘berita palsu’ ini sudah menjadi keresahan bersama. Bahkan banyak komentar sudah sampai pada kesimpulan akhir, yakni sebagai ancaman bagi bangsa.

Istilahnya memang baru ramai tersiar, namun jika merunut ke belakang maka kasus hoax bukanlah hal yang baru. Berita yang penuh kepalsuan sudah menyentuh segala lini dan generasi. Akan ada banyak kisah kalau diuraikan di setiap lininya. 

Banyak waktu juga jika dibahas pergenerasinya. Pastinya, akibat itu secara sadar dapat dirasakan bersama. Juga tanpa sadar kita sudah terbiasa dengan berbagai modus kepalsuan serta kebohongan. Parahnya, secara sadar juga kita merayakan agenda-agenda kebohongan itu. 


Hanya saja, mengapa sekarang kita baru resah? Apakah hanya karena sang hoax sudah menjadi komoditas yang dipolitisisasi? Ditambah lagi ketika hoax sudah menyentuh pertarungan di arena kekuasaan. Semakin resah.

Andai demikian kondisinya, upaya mencegah hadirnya hoax hanya merupakan agenda yang sia-sia. Ada kepentingan yang berseteru. Habis hoax terbitlah hoax. Akhirnya kita hampir tidak bisa menghindari paparannya. Klimaksnya, kita yang katanya turut serta melawan hoax malah bisa terbawa arus. Bukan mematikan langkahnya, malah menjadi buzzer dari persebaran hoax itu sendiri.

Pun kalau hari ini ada semangat melawan hadirnya serial hoax. Gerakan anti hoax atau apapun itu namanya. Sayangnya, niat baik dan semangat ini masih terlihat parsial. Mereka masih kerja dalam kelompok sendiri. Lebih terkesan mengklarifikasi kisah hoax yang dianggap merugikan kelompoknya saja. Namun, membiarkan jika yang tersebar itu adalah kisah hoax yang menguntungkannya. Ada standar ganda. 

Menjaring Diri
Sekali lagi, akhirnya bukan malah melenyapkan. Berita palsu alias fitnah semakin meluas dan tanpa batas. Walaupun banyak energi yang akan dikeluarkan. Banyak dana yang akan digelontorkan. Namun belum tentu hoax akan mati. Ia malah hadir tak terkendali. 

Bukan hanya karena sang pengendalinya bekerja begitu rapi. Tapi hoax juga sudah menjelma sebagai wadah yang mempunyai sisi ‘keuntungan.’ Secara politis sampai pada pelipatgandaan penghasilan. 

Untuk itu, sebelum semakin terlalu jauh melangkah. Sebelum terlalu lelah hanya untuk aktivitas tutup lobang - gali lobang. Ada baiknya, upaya melenyapkan hoax ini terlebih dahulu dengan menjaring kita sendiri sebagai ‘tersangkanya.’ 

Ya, kita! Simpel, apakah ucapan dan tingkah laku kita sudah bersih dari kepalsuan? Nah, pertama mari mulai menyisir dari lingkaran terkecil. Keluarga. 

Pohon kebiasaaan yang hari ini sudah mengakar utuh dalam diri adalah berawal dari bibit-bibit yang ditanamkan di sini. Sekiranya kita sering mendengar ‘bawaan orok.’ Maka, sejak oroklah sejatinya injeksi budi pekerti itu dimulai. Apabila anak dari kecil disuguhi kebohongan. Meskipun di mata para orang tua hanya berkapasitas ‘kecil.’ Kelak, mereka juga akan meremehkan perilaku bohong. 

Dengan tujuan untuk menghindari tangisan atau menyenangkannya. Eh, malah kita membuat berbagai skenario palsu. Kita alpa, padahal dalam kondisi itu kita masih bisa untuk berkata apa adanya. Kita lupa, bahwa kelak mereka akan menirunya. 

Selanjutnya kebiasaan ini tanpa sadar membawa kita untuk terbiasa hidup dengan berbagai intrik. Main cantik atau apapun istilahnya. Demikian juga hendaknya dalam menjaga komunikasi bersama anggota keluarga lainnya. Antara suami-istri, ayah – ibu, anak- bapak, adik – kakak. Sudahkah terlepas kepalsuan dalam lingkup ini? 

Sekarang, coba kita intip juga ke lingkaran selanjutnya, yaitu sekolah. Bukan sebuah rahasia lagi jika sekolah sudah menjadi tempat titipan kebijakan. Sekolah juga sudah menjadi alat untuk mencapai popularitas. Sayangnya, kebijakan dan popularitas itu dilakukan dengan cara terpaksa dan berharap hasilnya nyata secara instan. Di sinilah data hoax merayap masuk. Datanya kemudian menghiasi setiap laporan yang ujungnya berharap “Asal Bapak Senyum.”

Melawan Gangguan Moral
Begitu juga saat kita berdiri sebagai tokoh masyarakat, pejabat publik, ataupun pemegang tampuk kekuasaan. Di saat berharap hadirnya banyak kebaikan. Apakah sudah berlepas diri dari berbagai bentuk kedustaan? Akibat kepentingan, barangkali di lingkaran ini terlalu rumit kita menjawabnya. 

Namun dengan rasa optimis, jawaban perbaikan itu bisa dimulai di sini. Pada basis pendidikan utama. Keluarga dan sekolah seharusnya menguatkan peran. Peran vitalnya bukan mengejar kepuasan angka saja. Lebih dari itu adalah menumbuhkan budi pekerti dan menguatkan mentalitas moralnya. Karena sesuatu yang terkait kepalsuan atau kebohongan sangat identik dengan ‘gangguan’ moral. 

Persis sebagaimana usaha Kemendikbud dalam rangka Gerakan Menumbuhkan Budi Pekerti. Pemerintah mengharapkan dalam keseharian generasi nantinya akan tumbuh antara lain internalisasi nilai moral dan spiritual dalam kehidupan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air, dan interaksi positif. Selain itu, diupayakan juga untuk menerapkan semangat gemar membaca.

Nah, di tengah krisis ketauladanan sekarang. Untuk menumbuhkan perilaku mutiara itu di dalam setiap jiwa anak. Tentu kitalah, para orang tua dan guru yang terlebih dahulu harus menanamkan dalam kebiasaan diri. Jika tidak, maka upaya memerangi hoax hanya mimpi. 

Kita berseru A, namun kita berbuat B. Kita berbuat B, namun kita mengaku C. Kita arahkan telunjuk kemunafikan ke arah lawan sambil menebarkan opini kebohongan. 

Akhirnya, bisa jadi kita sendirilah yang terganggu moralnya.
Dan jangan-jangan selama ini kita sendirilah biangnya.
Hoax itu adalah kita!

 ***Tulisan terbit di CNN Indonesia, Selasa, 10/10/2017