Tafsir Ulang Reformasi Pendidikan



Sumber gambar : comicphonics.com

Pentingnya peran pendidikan dalam meningkatkan daya saing sumber daya manusia sudah diakui secara universal. Termasuk di Indonesia. Kesadaran ini salah satunya dapat dilihat melalui UUD 1945. Poin perlunya melakukan upaya ‘mencerdaskan bangsa’ menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam preambule konstitusi tertinggi bangsa.


Namun dalam perjalannya. Berbagai upaya yang dilakukan dalam ranah pendidikan tidak selaras seperti yang diharapkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya kekuatan dan kepentingan politik. Sama halnya dengan dinamika sosial – politik yang terus berkembang dan melahirkan gerakan serta kebijaan baru. Kemudian akumulasi dari gerakan tersebut melahirkan momentum semangat perbaikan.  


Maka demikian juga pendidikan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa. Kesadaran akan perlunya sebuah gerakan kebangsaan dalam bidang pendidikan juga terus bergulir. Salah satu hal yang fundamental dapat dilihat dari terjadinya perubahan payung hukum pendidikan bangsa.


Sebelum era Reformasi hadir. Rumah hukum yang bernama Sistem Pendidikan Nasional mengacu pada undang-Undang No. 2 tahun 1989. Kemudian digantikan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang hal yang sama, Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Selain sebagai bentuk konsekuensi logis hadirnya reformasi politik. Undang- Undang No.20 tahun 2003 ini juga dihadirkan tidak lepas sebagai upaya menjadikan pendidikan lebih baik. Harapannya bisa diatur lebih baik. Diimplementasikan lebih baik. Bukan sebaliknya.

Tafsir Sisdiknas
Maka setelah hadirnya payung hukum baru di tubuh pendidikan Indonesia. Setiap pasal dan ayat yang ada seharusnya diterjemahkan dengan baik. Harus ada penafsiran yang dipahami dalam bahasa yang utuh. Bukan tafsir-tafsir yang mengedapankan egoisme politik atau kekuasaan tadi.  Tujuannya agar agenda reformasi pendidikan tidak salah arah.

Beberapa hal yang terkait dengan agenda reformasi pendidikan di Indonesia  dapat dilihat dari pertama, anggaran pendidikan yang mewajibkan 20% dari total postur APBN/APBD. Kedua, peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru melalui lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 beserta peraturan turunannya.

Ketiga, Ujian Nasional (UN) yang namanya sudah beberapa kali berubah. Ujian yang menjadi alat kelulusan dan sejak tahun 2015 menjadi alat ukur indeks integritas. Keempat, desentralisasi pendidikan dasar/menengah dan otonomi kampus. Kelima, lahirnya jalur pendidikan informal dan non formal sebagai ruang agar masyarakat lebih proaktif. Keenam,  perubahan kurikulum yang selau intens terjadi.

Apakah agenda reformasi pendidikan di atas sudah tepat? Harus diakui, setelah 18 tahun perjalanaan reformasi bangsa (1998 – 2016) atau 13 tahun terbitnya Undang-Undang Sisdiknas 2003 (2003 – 2016). Bangsa Indonesia secara kuantitatif mengalami perubahan yang siginifikan. Selain semakin meningkatnya angka partisipasi pendidikan tiap tahun. Berbagai karya inovatif dan prestatif juga telah lahir dari sitem pendidikan nasional.

Dibalik itu, jurang antara fakta dan harapa dalam dunia pendidikan juga hadir semakin kontras. Inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi dunia pendidikan yang sejatinya menciptakan generasi dengan sifat paripurna. Persis sebagaimana yang termaktub dari definisi pendidikan pada Undang- Undang Sisdiknas.

Persoalan Mendasar
Definisi pendidikan menurut Undang – Undang Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperkukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Jika dibandingkan dengan peraturan Sisdiknas sebelumnya. Sangat jelas terdapat perbedaan yang mendasar dari definisi pendidikan itu. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, sasaran terhadap peserta didik. Sidiknas terbaru lebih mengarah kepada pengembagan potensi peserta didik yang dialokasikan pada ranah sikap. Kedua, harapan terhadap peserta didik. Peraturan Sisdiknas 2003 memandang peserta didik sebagai harapan bersama.

Dari definisinya saja. Ada sebuah kekhawatiran sekaligus keinginan besar. Kekhawatirannya karena pendidikan selama ini dianggap belum mampu menyentuh persoalan mendasar. Sederhananya, menjadikan anak didik itu pintar mudah. Tetapi bagaimana membangun integritas kepribadiannya? Tentu tidak cukup diajarkan. Harus hadirnya ketauladanan. Pendidikan, baik dari tingkat usia dini bahkan sampai ke perguruan tinggi mempunyai kewajiban yang sama.

Oleh karena itu, melalui momentum Hari Pendidikan Nasional ini. Ada baiknya  kita bersama memahami kembali apa sebenarnya tujuan pendidikan bangsa. Mulai dari para pengambil kebijakan di kursi kekuasaanya. Sampai kepada para guru yang sedang bercengkerama dengan siswanya. Jangan sampai kita hanya merayakan pesta atas kenikmatan besarnya anggaran pendidikan yang didapat. Namun lupa ada kewajiban besar yang telah diamatkan.

Toh, kalaupun ada klausul yang tidak memberikan kemanfaatan bagi pendidikan. Mengapa masih bertahan? Pada dasarnya reformasi pendidikan bukanlah sebuah bentuk  keabadian. Sejak 1998, persis saat reformasi sedang bergulir di Indonesia, Hellen Connell melalui buku aslinya yang berjudul ‘Reforming Schooling – What Have We Learnt?’ telah mengingatkan. Melalui penelitiannya di berbagai negara, Beliau menyatakan reformasi itu kompeks dan penting ditinjau ulang secara sistematis.

Kalau bagus, kita jalankan. Jika tidak? Jangan enggan untuk menolaknya! Semoga kita tidak sedang menggali lobang untuk pendidikan bangsa. Semoga!

***Tulisan telah terbit di Kolom Republika, 9 Mei 2016