Kanibalisme Pendidikan


Mahasiswa membunuh dosen. Masih ingat salah satu kabar duka dunia pendidikan yang hadir tepat di Hardiknas beberapa tahun lalu ini? Ketika berita tragis tersebut menjadi trending topic di berbagai media. Ada suara kecemasan dan tak percaya yang bertebaran. Sayangnya suara-suara tersebut kini seakan hilang. Kemudian datang lagi seiring hadirnya kasus baru.  

Jika kita ingin refleksi sejenak. Dalam pendidikan, kisah sedih ini bukanlah hal yang baru. Di usia dini, anak sudah dipaparkan dengan situs pornografi dan game online yang berbahaya. Waktu bermain tersita. Tugas belajarnya seperti anak dewasa. Nyanyiannya tidak lagi tentang balon, tapi tentang putus cinta. Kepribadian mereka dibunuh.

Di sekolah, anak hanya dijadikan pelampiasan hasrat target kebijakan. Setiap hari harus siap diterkam oleh berbagai pelajaran. Suka atau tidak harus dipelajari. Bahkan disaat gurunya tidak mengerti. Karakter mereka dibunuh.

Di kampus, mahasiswa disibukan mengejar target akademik. Hedonisme sudah menjadi bagian hidup. Pergaulan bebas sudah memuncak. Aborsi marak. Senioritas dijunjung tinggi, adik kelas siap ‘diuji.’ Kepekaan mereka  dibunuh.

Pada akhirnya,  kalaupun mereka lulus dari rahim pendidikan yang demikian. Keberadaaannya tidak lebih hanya sebagai pemangsa sesama. Semakin buas. Kebuasan itu kalau dalam bahasa halusnya bisa diterjemahkan menjadi korupsi, plagiasi, dan sejenisnya. Sebuah sikap yang sama sekali jauh dari harapan.

Akibatnya walau secara statistika, angka partisipasi pendidikan meningkat. Namun kita ringkih mencari pribadi yang berintegritas. Bahkan hanya untuk mencari satu orang pemimpin saja susah. Ada rasa kekhawatiran dan ketidakpercayaan. Hanya saja dalam kondisi demikian kita lupa untuk bersedih. Kesedihan biasanya hanya terasa  ketika kematian itu sudah dikonversikan dengan nyawa.

Pantas saja, 30 tahun yang lalu,  Ivan Illich dalam bukunya ‘Deschooling Society’ telah mengatakan bahwa sekolah itu sebagai sarana yang paling busuk. Bahkan dalam kalimat penjelasnya, pemikir pendidikan dunia ini berkesimpulan sekolah telah menyebabkan orang bunuh diri secara spritual.

Nah, ketika spritualnya saja sudah mati. Lengkaplah syarat manusia seperti ini menjadi  seorang kanibal. Membunuh apa saja yang ingin dibunuhnya.

Lampu Merah Pendidikan
Pendidikan sejatinya melahirkan generasi yang akan membuat kehidupan menjadi aman. Ketika keadaan justru sebaliknya. Inilah indikator bahwa lampu merah pendidikan sudah menyala. Dalam kondisi yang demikian pilihannya hanya dua. Menerabas atau berhenti.

Definisi pendidikan menurut Sisdiknas 2003 sebenarnya sudah sangat preventif.  Di dalamnya terdapat dominasi kata sifat yang terdiri dari kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia. Hanya saja, sudah tiga belas tahun hadirnya peraturan tersebut. Orientasi pendidikan bangsa masih berfokus pada aspek kognitif. Belum menyentuh secara universal  pada ranah sikap (afektif).

Salah satu contohnya adalah Ujian Nasional (UN). Sejak 2003 - sekarang, UN tetap menjadi agenda utama pemerintah. Otomatis menjadi agenda utama sekolah. Pembelajaranpun berubah hanya menuju kesuksesan UN. Apalagi ketika dihadirkan berbagai bentuk reward atas hasil UN. UNpun semakin menggerogoti niat suci dari definisi pendidikan. Bahkan adanya tagline utamakan kejujuran yang dikoarkan setiap pelaksanaan UN. Maka secara tidak langsung pemerintah menyadari bahwa masalah pendidikan adalah komponen sikap. Bukan sekedar goresan angka.

Di perguruan tinggipun demikian. Aksi plagiat semakin menjelma menjadi hal yang biasa. Orientasi nilai sudah melunturkan kebiasaan dalam menghormati proses. Sayangnya, makalah bahkan tugas akhir hasil plagiasi ini dibahas bersama sang dosen. Tanpa sedikitpun ada usaha dari dosen untuk memastikan ada/tidak unsur plagiat. Lingkaran ini akhirnya terus memutar. Merubah mindset. Kesalahan dalam kebersamaan menjadi kebenaran.

Reformasi sampai?

Bukan hal yang sulit sebenarnya meluruskan arah pendidikan bangsa. Pertama, kembali kepada pemerintah, mau diarahkan kemana?  Kebijakan pendidikan harus berlepas diri dari ego kepemimpinan. Termasuk kesepakatan politis. Seperti gonta-ganti menteri misalnya.

Jangan sampai dalam hal sikap dan integritas, pemerintah juga ikut ringkih. Apalagi ketika dikaitkan dengan amanah pengalokasian anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD.

Kedua, suara guru sebenarnya mempunyai porsi yang besar dalam penentuan kebijakan. Ada jutaan guru di Indonesia. Di tangannya dipertaruhkan nasib anak-anak bangsa. Guru harus bersikap dan bersuara. Bukan berarti turun demonstrasi. Pastinya kicauan dari suara nurani guru harus sampai di kursi para pemimpin.

Jangan sampai dalam hal sikap dan integritas, guru juga ikut ringkih. Apalagi ketika dikaitkan dengan hadirnya tunjangan sertifikasi. Kemudian ditambah dengan berbagai fasilitas dan kenikmatan yang telah mengubah cara pandang terhadapnya.

Ketiga, peran serta orang tua dan masyarakat juga harus utuh. Sekokah tidak hanya dipandang sebagai satu-satunya tempat belajar. Keluarga dan lingkungan tempat tinggal siswa juga merupakan alam pembelajaran yang tak terbatas.

Jangan sampai dalam hal sikap dan integritas, orang tua  juga ikut ringkih. Apalagi ketika melihat angka di rapor anaknya tinggi semua. Antara percaya dan tidak, bahkan ada yang nyaris sempurna.

Terakhir, berbagai tragedi sudah bermunculan. Dalam kondisi yang demikian pilihannya hanya dua. Menerabas atau berhenti. Semoga kita segera sigap. Agar berbagai bentuk kanibalisme pendidikan tidak tumbuh subur. Waspadalah!

***Tulisan sudah pernah terbit di laman Republika, naskah asli  bisa dibaca di artikelnya yang berjudul sama: Kanibalisme Pendidikan, terbit tanggal 5 Agustus 2016.