Di bulan suci ini, umat Islam akan diketemukan dengan hari Nuzulul Qur’an. Hari yang jatuh pada 17 Ramadhan ini menjadi salah satu hari yang bersejarah. Ianya merupakan waktu terjadinya peristiwa turunnya Al Qur’an pertama kali. Banyak anjuran dan muhasabah yang hadir saat peringatan hari penting ini. Diantaranya adalah untuk selalu mengajak kita agar selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan prinsipil dalam kehidupan.
Selain itu, ada satu hal penting lainnya yang dapat dipetik dari peristiwa yang memunculkan redaksi iqra’ ini. Iqra’, ayat pertama yang merupakan perintah membaca ‘bacalah’ ini tentu mempunyai pesan dan makna bagi kehidupan sehari-hari.
Merujuk salah satu tafsir Isyari, Prof. Dr. Nasaruddin Umar pernah menyampaikan bahwa terdapat empat makna pada konteks iqra’ tersebut. Makna yang pertama adalah how to read, selanjutnya adalah how to learn, how to understand dan yang terakhir adalah how to elevate. Menurut Imam Besar Mesjid Istiqlal ini kita diperingatkan agar tidak hanya mampu membaca dalam pengertian how to read and learn. Tetapi juga lebih melibatkan lagi tingkatan kesadaran berikutnya.
Paradoks
Secara sederhana, apa yang disampaikan oleh guru besar ini dapat dijelaskan dengan orang yang membaca tulisan ‘Peringatan: Merokok Membunuhmu’. Namun pertanyaannya, mengapa masih banyak orang yang tetap merokok? Bahkan sekarang bungkus rokok juga menyertai gambar menyeramkan akibat efek rokok yang membahayakan.
Begitu juga dengan kasus lainnya seperti penyebaran berita hoaks yang semakin marak. Ratusan bahkan ribuan berita hoaks kian tersebar. Hoaks telah diyakini bersama sebagai berita palsu atau bohong. Namun pertanyaanya, mengapa masih banyak orang yang dengan sengaja menyebarkannya? Bahkan tidak sedikit dari para pelakunya adalah mereka yang cerdas secara intelektual.
Ada juga peristiwa sederhana lainnya yang bisa kita jadikan pelajaran terkait Iqra’ ini. Misalnya adalah tabi'at orang yang suka membuang sampah persis di bawah tulisan ‘Dilarang Membuang Sampah Di Sini.’
Akhirnya kejadian yang bertolak belakang dengan redaksional ini sampai juga pada para pelaku koruptor. Mengapa mereka bisa mencuri uang rakyat? Padahal mereka tahu aturannya dan sering menyaksikan tertangkapnya para pelaku korupsi itu.
Kembali ke penjelasan yang pernah disampaikan profesor di atas. Ternyata jawabannya bahwa Iqra’ juga tidak hanya melibatkan sisi intelektual semata. Namun juga harus disertakan dalam landasan emosionalitas – spiritualitas. Jika tidak, jangan heran ketika selalu disuguhi dengan penampilan orang-orang yang semakin pintar tapi sekaligus semakin kurang ajar.
Dari membaca ke ‘membaca’
Momentum Nuzulul Qur’an ini dapat juga dijadikan gerakan dari membaca ke ‘membaca’. Artinya dengan indeks literasi bangsa yang masih rendah. Fokus penguatan pada minat baca secara tekstual juga perlu digerakkan. Jika meminjam istilah tadi adalah how to read harus tetap digiatkan.
Balitbang Kemendikbud pernah menyampaikan aktivitas membaca siswa kita sangat kurang. Mereka kedodoran jika membaca teks yang agak panjang. Akibatnya dalam pelaksanan Ujian Nasional, peserta didik itu rata-rata mampu menjawab soal bahasa Indonesia hanya 60 persen. Begitu juga dengan indeks literasi kita dalam pentas dunia. Skor PISA misalnya/
Bahkan untuk meningkatkan aktifitas literasi, sejak tahun 2016 pemerintah telah meluncurkan Gerakan Literasi Nasional (GLN). Gerakan ini kemudian dibagi dalam beberapa segmentasi, diantaranya sekolah dan keluarga.
Belakangan muncul perdebatan terkait kondisi minat baca anak bangsa. Beberapa aktivis literasi protes dengan ultimatum minat baca bangsa yang rendah. Diantara alasannya bukan pada minat atau semangat. Asbabnya lebih kepada sarana dan akses yang kurang mendukung.
Namun, apapun langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah. Seharusnya bertujuan akhir bukan pada tataran untuk meningkatkan indeks membaca semata. Tetapi harus berpikir bagaimana ‘indeks’ kepribadian mereka juga mumpuni. Setidaknya indikator kepribadian itu terlihat dari tumbuhnya sikap terpuji seperti rasa empati, tanggungjawab serta integritas diri.
Ketika pemerintah hanya membaca angka pencapaian hasil ujian saja. Kita akan terus menyaksikan ‘pesta perayaan’ kelulusan siswa yang selalu bablas. Ketika angka yang diperdebatkan hanya terkait indeks-indeks publikasi saja. Kita akan terus menyaksikan berbagai contoh perilaku paradoks tadi terus berkeliaran.
Bisa jadi –semoga penulis salah- reaktifnya respon pemerintah sehingga dengan mudah melahirkan berbagai kebijakan baru. Agenda baru, gerakan ini – itu. Maka bisa jadi tahap iqra’-nya selama ini baru sampai pada tataran how to read saja.
Nah, apa yang lantas kita harapkan dari hasilnya? Apakah ini yang menyebabkan tema diskusi tetang literasi tidak pernah jauh dari indeks minat baca? Bertahun – tahun. Minat baca tetap stagnan. Sementara gejala demoralisasi terus meningkat.
Andai tidak bisa berharap pada kondisi saat ini. Maka masih ada harapaan perbaikan kepada generasi dini. Generasi yang akan mengisi kehidupan masa depan bangsa. Untuk itu, gerakan penguatan literasi haruslah menyentuh secara integratif kepada mereka. Bukan hanya pada batasan membaca. Pun ketika membaca, jangan diarahkan melulu pada textbook.
Mereka harus terus dipupuk. Selain agar semangat membacanya semakin membuncah. Kekuatan emosial dan spritualnya juga harus semakin tumbuh. Semoga!
***tulisan ini pernah terbit di media massa -- dan sedikit diperbaharui melalu tayangan ini.