Kita Anak Indonesia, Kita Gembira?


Betapa senang melihat berseliwerannya foto plus video di media sosial. Dengan berbagai caption yang membanggakan. Dengan berbagai view yang menggoda kita untuk tersenyum ceria. Tentu semua ini dilakukan tidak lain sebagai wujud suka cita.

Ada ruang – ruang kegembiraan yang  terbuka. Ada wajah-wajah polos yang  ingin mengejar citanya. Ada bahasa – bahasa cinta yang mengalir dari para gurunya. Ada pesan optimisme dari orang tua saat melepaskan anaknya ke gerbang sekolah. Inilah suasana  Hari Pertama Sekolah (HPS) yang baru kita rayakan beberapa hari lalu itu.

Namun, nuansa kegembiraan ini tak kuat untuk bertahan lama. Kabar duka ternyata masih mewarnai kegiatan di awal tahun ajaran.  Bahkan duka ini sudah terkonversikan pada hilangnya nyawa sang siswa.

Sampai disini, pastikan tidak ada lagi alasan dengan mengatakan ‘hanya’. Hanya satu kasus. Hanya satu orang. Dan hanya lainnya. Pastinya, andai  tidak ingin muncul korban jiwa selanjutnya, maka semua harus mengambil peran untuk bertanggung jawab.

Jika kita runut. Lahirnya para gladiator cilik di sekolah bukan secara dadakan. Ada proses yang mereka dapatkan. Mulai dari lingkungan keluarga. Periksa kembali aktifitas kita sebagai orang tua. Dengan daya filternya yang masih lemah, anak akan terlahir sebagai sang peniru ulung. Kebiasaan yang selalu menghadirkan kekerasan baik secara verbal maupun fisik masih sering kita temui.  Dengan dalih ingin membuat anaknya lebih baik, kita alpa bahwa itu semua dilakukan hanya karena egoisme diri yang masih berkuasa.

Selain itu, banyak anak yang tak punya pilihan. Mereka harus hidup dalam arus ‘broken home’ yang dialirkan orang tuanya. Setidaknya berdasarkan data dari Mahkamah Agung (MA) yang pernah dikutip detik.com bulan lalu (13/4). Tercatat 419.268  pasangan yang bercerai sepanjang tahun 2018. Ini baru angka yang sahnya saja.

Dari sini, dalih ingin membuat anak lebih baik tadi semakin terpatahkan. Lah orang tuanya saja terjebak dengan berbagai hal yang tidak baik. Semisal perselingkuhan, KDRT dan sebagainya.

sumber gambar: kissmemom.com

Lantas, kemana larinya anak jika hidup dalam kondisi keluarga yang demikian? Ke sekolah?

Ada benarnya pandangan Ivan Illich sekitar 50 tahun yang lalu. Penulis karya fenomenal ‘Descholling Society’ yang juga sudah mendapatkan penghargaan dari World Board of Education ini menilai sekolah telah menjadi agama baru di dunia. Membuat murid semakin bergantung secara memalukan pada seorang guru. 

Sekarang terlihat jelas. Tanpa konferensi, kita sudah sepakat dan berpandangan sama tentang sekolah. Sekolah tidak hanya sebagai wadah ‘pencuci dosa’. Anak yang dianggap nakal, dengan sekolah diharap menjadi super baik. Sekolah juga bak mesin pencetak akal. Anak yang dianggap tulalit, dengan sekolah diharap menjadi pintar. Berakal.

Bak surga yang selalu dideskripsikan dengan bermacam tingkatan. Tidak heran bila kemudian para orang tua berbondong mencari sekolah terbaik untuk anaknya. Mendapatkan sekolah dengan tingkatan terbaik. Ada yang rela menggelontorkan berapun dananya. Bahkan jauh sebelum anaknya lahir, dana pendidikan sudah disiapkan.

Kontradiksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) beberapa waktu lalu juga menjadi bukti nyata betapa sekolah dianggap pelukis takdir. Ada yang rela antri sebelum subuh untuk mendaftarkan anaknya. Juga ada yang rela mengotori masa depan anaknya dengan kebohongan data.

Sampai disini. Sekolahpun ternyata tidak menjamin kenyamanan kepada anak. Kekerasan demi kekerasan kerap hadir. Bukan hanya antar siswa. Gurupun  kadang tidak luput dari tindak kekerasan dari siswa.  Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan anak sebagai pelaku bullying terhadap guru malah meningkat drastis di tahun 2019.

Akhirnya keramahan sekolahpun masih menjadi ‘PR’ bagi sekolah. Sekolah Ramah Anak (SRA) di Indonesia baru segelitir. Tak lebih dari 4 persen. Menurut KPAI saat ini SRA baru sekitar 13.000-an dari 400.000-an sekolah/madrasah yang ada di Indonesia. Nah, apakah sekolah anak – anak kita masuk kategori itu?

Selain keluarga dan sekolah. Salah satu yang berpotensi besar melahirkan anak berlaku tak berperikemanusian adalah hiruk pikuknya tontonan yang kita sajikan. Dengan mata telanjang mereka menyaksikan bagaimana narasumber bertutur kasar di ruang diskusi. Dengan jiwa yang suci mereka dikotori sinetron atau film yang mengajarkan hedonisme. Di media sosial, dalam sepi mereka disuguhkan berbagai konten hujatan yang tak beradab.

 Ada peran media. Ada peran penguasa. Ada tanggungjawab untuk keduanya.

Ketika semua telah mengambil peran untuk bertanggung jawab. Celah lahirnya kanibalisme di tubuh peserta didik akan tertutupi. Padahal hanya berupa celah saja. Karena sebenarnya masih ada ruang humanisme yang masih terbuka lebar. Ruang yang sebenarnya bisa kita isi dan manfaatkan bersama. Bukan hanya untuk peserta didik. Namun untuk siapapun yang bersentuhan dengan kehidupan sekolah.

Dengan demikian. Hari –hari kedepan, bukan hanya tidak ada lagi kisah kekerasan yang berujung pada kematian sang siswa. Tapi kita juga berharap tidak ada lagi tragedi guru tinggal di WC sekolah. Dan tragedi lain yang tak kita inginkan bersama. Termasuk cerita Baiq Nuril yang sedang  menanti amnesti. Bukankah ceritanya juga membawa nama sekolah?

#KitaAnakIndonesiaKitaGembira    #HAN2019    #HariAnakNasional2019   #MimpiAnakNegeri

***Tulisan terbit dengan judul Sekolah dan Ruang Humanisme di halaman batamtoday, 18 Juli 2019