Mari Kembalikan Ruang Kegembiraan Anak

sumber gambar: UNESCO (by six-year-old Liao Wang)

Meski tidak seviral kabar politik. Apalagi jika dibandingkan dengan isu rekonsiliasi, oposisi, berebut kursi menteri dan perebutan tahta pimpinan parlemen. Termasuk isu hangat paska pertemuan Teuku Umar antara Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto yang selama ini dipersepsikan publik keduanya berseberangan politik dalam Pilpres 2019. Di waktu yang sama tak kalah gesit juga pertemuan Ketum Partai Koalisi penyokong kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin minus PDI Perjuangan, yang digagas Surya Paloh sebagai simbolisasi pertemuan Gondangdia.

Konon beberapa momentum politik itu dianggap sangat penting karena menyangkut nasib bangsa. Namun kabar lain yang beberapa hari ini beredar justru sebenarnya tak kalah lebih penting. Dianggap penting karena menyangkut kejadian yang bersinggungan kepada persoalan nasib bangsa, nasib dan masa depan anak bangsa di masa mendatang. Bisa dikata menyangkut masa depan dan kelangsungan bangsa ke depan.

Dua kabar duka yang semestinya menjadi concern bangsa tersebut adalah pertama ditangkapnya pelaku grooming. Pelakunya sendiri adalah narapidana yang telah mencabuli 50 lebih anak melalui media sosial. Kabar kedua adalah didapatinya 15 siswa yang menjadi korban sodomi yang dilakukan oleh oknum pendidik, tak lain adalah guru para korban sendiri. Tentu perbuatan bejat yang menimpa anak-anak korban kekerasan seksual ini dikategorikan sebagai perilaku biadab.

Dari dua kasus ini saja sudah puluhan anak terkapar menjadi korban. Belum lagi, masih banyak kasus serupa yang belum terungkap karena alasan korban yang lebih memilih bungkam.

Pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise rasanya sudah cukup untuk menjadi renungan semua pihak. Renungan tentang nasib anak dan masa depan tunas bangsa ke depannya jika persoalan-persoalan itu selalu dan selalu menimpa anak-anak Indonesia. Bahkan tidak tertangani, terselesaikan dan tertuntaskan agar kasus anak ini tidak terulang kembali.

Dalam sambutannya pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli lalu, Menteri Kabinet Kerja Jilid 1 asal tanah Papua yang akrab disapa Mama Yo ini dengan tegas menyatakan bahwa "Menjaga hak satu anak berarti melindungi masa depan bangsa Indonesia.”

Beberapa hari lalu, lini masa memang dimeriahkan dan disenarakkan dengan ucapan Selamat Hari Anak Nasional. Bahkan para warganet berhasil menghantarkan tagarnya berada pada posisi trending topic. Selain itu juga turut menggema tagline Kita Anak Indonesia, Kita Gembira! Tentu dengan kekuatan jagad maya yang menggema.

Secara kasat mata publik seperti menyaksikan ruang kegembiraan anak nyaris sempurna. Namun, dengan hadirnya dua fakta miris tragedi anak, apakah kita masih yakin anak-anak Indonesia masih dalam ruang yang aman? Apakah kegembiraannya itu hanya pose yang dipaksakan? Dan, siapakah sebenarnya yang menikmati selebrasi dari peringatan hari besarnya ini?

Sebelum jauh menyimpulkan sebab dan akibat. Jalan utamanya tentu kembali mengevaluasi kondisi keluarga masing-masing.

Temuan miris dari Ending Violence in Childhood: Global Report 2017 mengungkapkan betapa anak terhimpit oleh perilaku yang membahayakan jiwa dan raganya. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah. Dari data laporan ini ditemukan bahwa di Indonesia tercatat 73,7 persen anak (umur 1 -14 tahun) pernah mendapatkan hukuman fisik di rumah. Sementara itu , di sekolah ada sedikitnya 50 persen anak (umur 13-5 tahun) mengalami perilaku bullying dari temannya sendiri.

Ini artinya, di rumah, anak tak pernah luput dari luapan amarah yang berujung pada terhujam fisiknya. Di sekolah juga demikian. Sebagai rumah kedua, anak seperti sulit untuk lepas dari buasnya perilaku kekerasan. Baik dari guru maupun temannya sendiri. Garansinya nihil!

Selain itu, aktifitas anak di dunia maya cukup mengkhawatirkan. Profile Anak Indonesia (2018) yang diterbitkan oleh Kementerian PPPA dan BPS menunjukkan bahwa anak umur 5-6 tahun sudah terbiasa mengakses internet. Bahkan mayoritas atau tepatnya 91 persen anak seusia ini mengakses internet dengan tujuan untuk hiburan. Hal ini menjadi catatan kritis internet lebih jamak dipakai untuk ruang pemuas keinginan anak bahkan menjadi addict dan nyaris sebagai pemuja nafsu.

Jadi tegasnya tidak hanya untuk hiburan saja. Bahkan sebanyak 15 persen sudah menggunakanya untuk aktifitas di sosial media seperti Facebook, Whats App dan Twitter. Bukankah ini jejaring sosial yang menjadi sarana para pelaku biadab atas tragedi tadi? Mengapa anak seusia belia bisa sampai sejauh ini menjadi korban? Padahal anak-anak usia itu belum mempunyai daya filter yang tinggi. Para orang tua saja sering terjebak dengan paparan informasi yang tidak bisa dipercaya kebenarannya. Juga sering terbuai dengan aktifitas di sosial media. Apalagi yang menimpa anak-anak yang masih polos itu.

Mendeteksi para pelaku biadab tadi bukanlah hal yang mudah. Dalam kesehariannya, mereka bisa saja menjelma dengan berbagai profesi yang mulia. Bahkan bisa jadi para pelaku biadab itu ada di lingkungan inti kita sendiri. Apalagi di tengah derasnya arus informasi. Ruang waktu seperti semakin sempit.
Namun ruang update meningkat. Kita kadang lebih tersipu malu jika di bilang kudet. Alias kurang update dengan kabar terkini. Artis cerai. Menteri, gubernur, bupati terkena korupsi. Semuanya ingin digali.

Namun sayangnya, kita lupa menanyakan perasaan anak setiap harinya. Sedang senang atau sedihkah mereka?

Di ranah sosial media juga demikian. Update aktifitas terkini seakan menjadi rutinitas primer. Mengumpul pundi like. Menjaring follower maupun viewer. Namun sayangnya, kita jarang memperhatikan follower sejati yang ada di rumah. Sedang meniru perilaku kita yang manakah anak-anak kita? Titik nadir yang lebih mengkhawatirkan itu adalah ketika semuanya dianggap biasa. Malah merasakan nuansa bahagia. Orang tua dan anak bahagia dengan dunia mayanya masing-masing. Sebaliknya, merasa ada yang kurang jika pertemuan keluarga minus koneksi ke sosial media. Jaringan terganggu, keluarga menjadi termangu.

Jadi sebelum terlambat. Mari minimalisir aktifitas di sosial media. Kurangi bercengkerama bersama gadget. Terutama saat berkumpul bersama sang buah hati. Mari kembalikan nuansa keluarga seperti sejatinya.

Para orang tua harus kembali bergegas, mengembalikan posisi diri. Kemudian, ajak anak-anak itu kembali ke pangkuan keluarga. Ajak anak-anak kita kembali beraktifitas di ruang keluarga. Berikan rasa nyaman kepada anak untuk membangun komunikasi dengan anggota keluarganya. Jika ruang keluarga masih belum terbuka, waspadalah. anak akan selalu mencari pelarian dan pengobat kegelisahannya. Nah, lagi-lagi, momen seperti inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh para pelaku biadab itu.

***Tulisan terbit dengan judul 'Anak Indonesia Hari Ini Dan Hari-Hari Ke Depan. Masihkah Mereka Miliki Hak Yang Sama?' di Suara Karya, 27 Juli 2019