[Buku-1] Pendidikan Untuk Rakyat
Slogan ‘Pendidikan untuk Semua’ yang sering dikumandangkan seharusnya memberikan efek langsung kepada rakyat. Tentunya efek yang berupa semakin meningkatkatnya akses pendidikan yang disertai dengan lahirnya kaum-kaum terdidik. Sekali lagi, kaum-kaum terdidik. Bukan hanya manusia-manusia tersekolah yang hanya dihiasi dengan seperangkat alat sekolah plus kesibukan seremonial dan administratif lainnya.Sumbangsih pemikiran agar rakyat mendapatkan ‘imunisasi’ pendidikan yang sebenarnya ini ditulis bersama-sama oleh pakar, praktisi, dan akademisi bidang pendidikan, diantaranya: Drs. Djauzak Ahmad, Prof. Dr. Hasan Basri Jumin, Prof. Drs. Isjoni, M.Si, Prof. DR. Detri Karya, MA, DR. Suryana Jamarah, MA, DR. H. Kasmianto, MA, Daeng Ayub Natuna, M.Pd, Drs. Amir Amjad, M.Pd, DR. Elfis, M.Si, dan Syafbrani Bin Zainoeddin. (nah, nama yang terakhir ini adalah satu-satunya penulis yang waktu itu masih berstatus mahasiswa S1 --- yang waktu itu sedang berada di tingkat akhir namun belum kelihatan akan adanya tanda-tanda berakhir:)
Yah, jika sejatinya pendidikan itu untuk rakyat. Lantas mengapa derita pendidikan masih melanda?
[Buku-2] Ujian Nasional: Kelulusan Vs Kejujuran
Sekilas, berdasarkan konsep tersuratnya UN tidak lebih hanya bentuk ujian akhir bagi anak sekolahdengan standarisasi nasional. Selebihnya jika diperhatikan dengan seksama akan semakin tampaklah bahwa UN mempunyai kekuatan magis yang bisa menyihir siapapun. Mulai dari peserta didik, emak-abahnya, para guru, kepala sekolah, sampai kepada pimpinan daerah dan negeri ini. Daya sihir yang dahsyat itu akan menimbulkan daya magnetik seiring dengan semakin dekat waktu pelaksanaanya. Kesibukan demi kesibukan silih berganti.
Berdaya atau tidak, namun semuanya menyatu dalam satu hasrat ‘lulus’. Namun bicara UN tidak sekedar bicara lulus atau tidak. Ada sebuah universalitas sikap yang harus dijaga disana. Salah satunya kejujuran! Ketika kejujuran sudah digadaikan hanya sebuah nilai dan pencitraan, berarti kita sudah menyiapkan tanah perkuburan atas nama pendidikan Indonesia. Dan...Buku ini merefleksikan diri agar tidak terjebak sikap konformis buta!
[Buku-3] UN, The End...
Sebenarnya tidak ada niat untuk menerbitkan buku ini. Baca juga: 5 Alasan Mengapa UN Harus Diakhiri? Karena sebelumnya memang sudah melahirkan antologi dengan judul ‘Ujian Nasional: Kelulusan Vs Kejujuran’ di atas. Waktu itu harapannya kejujuran lebih diutamakan dari sekedar kelulusan. Agar tidak terhadi angka kebohongan nasional seperti yang dipublikasi pemerintah bernama angka kelulusan selama ini.
Tetapi dalam perjalanan UN-nya yang masih terus diberlakukan. UN sepertinya semakin menampakkan kemudhoratannya –jika memang boleh dikatakan demikian. Betapa tidak, UN semakin menjadi fokus dari persoalan pendidikan bangsa. Padahal UN hanyalah secuil dari agenda pendidikan bangsa. Siswa, guru, dan masyarakat semakin bersemangat dalam mencapai angka kelulusan semata, sampai tidak memperhatikan aspek moral yang sebenarnya lebih urgen. Pemerintah apalagi. Malah dengan senang hati Mendikbud sempat memberikan lampu hijau bagai siswa yang hamil/menikah untuk mengikuti UN.
Akhirnya dengan beragam polemik yang mencuat, apalagi secara yuridisnya UN pernah dibatalkan MA (Mahkamah Agung) pada tahun 2009. Maka melalui buku ini, mari bersama untuk lebih peduli atas wabah endemik yang lahir dari virus bernama UN ini. Kepada pemerintah, jika dibiarkan masalah terus menumpuk melalui agenda UN. Lebih baik UN diakhiri, paling tidak diberikan waktu ‘rehat’ sembari mencari solusi terbaik. Salah satunya seperti yang telah direkomendasikan MA: benahi sarana/prasarana dan pemerataan profesionalisme serta kesejahteraan guru terlebih dahulu. Sudahkah?
[Buku-4] Suara Guru Suara Tuhan
Berbicara mengenai sosok profesi yang satu ini, kita tidak akan pernah terlepas dengan sejarah yang mengisahkan peranannya terhadap kita. Menjadi apapun kita hari ini, bahkan ketika merasa profesi yang diembani berada di atas levelnya. Tetapi semua itu tidak akan pernah terjadi tanpa belaian dan pengorbanan yang diberikan oleh mereka yang sering dipanggil GURU. Namun, sudahkah kita—termasuk sang guru—telah totalitas memandang mulia profesi ini?Guru! Bukankah profesi ini dipandang mulia tidak lain karena tanggung jawabnya menghantarkan anak bangsa menjadi insan mulia? Karena kemuliaan ini jugalah, barangkali harapan kita selalu tertuju padanya.
Pembaca akan disadarkan bagaimana selama ini memosisikan sang guru...(M. Qudrat Nugraha, Sekretaris Jenderal PB PGRI)
Apalagi bagi pemegang tampuk kekuasaan, tulisan ini bisa dianggap “duri”... (A. Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI)
[Buku-5, 6, 7, 8, 9 ...113]
>>> Cooming Soon : :D