Jika memang kita sepakat bahwa virus corona ini berbahaya, baik penyebaran maupun dampaknya. Sebaiknya, lupakan dulu keinginan untuk melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Apalagi, dengan berbagai pertimbangan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) belum merekomendasikan aktivitas sekolah tatap muka ini.
Tentu banyak yang berteriak. Apalagi emak-emak, yang selama ini harus banting ‘profesi’ menjadi guru di rumah. Sementara sang anak tetap saja memposisikan dirinya sebagai emak. Bukan sebagai guru. Bahkan jika orang tuanya itu benar-benar guru sekalipun.
Barangkali ini juga yang menjadi penyebab kekhawatiran akan tingginya tingkat kekerasan psikis dan fisik pada anak. Bukankah begitu?
Banyak hal lain yang juga dikhawatirkan. Termasuk fenomena pernikahan dini, angka putus sekolah, dan daya serap pelajaran yang tak tertuntaskan. Puncak kekhawatiran tersebut terakumulasikan dengan adanya ancaman lost generation. Padahal jauh sebelumnya, peta jalan untuk generasi emas 2045 sudah disiapkan dengan matang.
Tapi apakan daya, titik terang Indonesia akan bebas dari pandemi COVID-19 belum terlihat. Maka, pada situasi ini sebaiknya kewaspadaan akan ‘hilangnya' generasi tersebut haruslah sejalan dengan kewaspadaan akan serangan virus yang kini hadir dengan berbagai varian baru itu.
Jadi, apa langkah yang kemudian harus diprioritaskan di tengah situasi yang super galau ini? Hanya ada satu pilihan: lupakan sekolah tatap muka. Pemerintah harus melahirkan terobosan agar Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bisa dinikmati pelajar dengan menyenangkan.
Survei KPAI tahun lalu memang menemukan bahwa lebih dari 75% siswa tidak senang dengan PJJ. Temuan ini seharusnya tidak segera dijawab dengan ‘memaksakan’ PTM. Justru, yang harus diutamakan adalah menelusuri mengapa mereka tidak senang dengan PJJ? Kemudian, mencari solusi agar bisa mengubah keadaan. Akhirnya siswa bisa menyenangi PJJ. PJJ bisa berjalan efektif.
Bukankah hasil survei itu juga menunjukkan hampir 25% siswanya telah menyenangi PJJ? Salah satu temuan mengapa mereka tidak menyengangi PJJ adalah ihwal interaksi siswa-guru. Oleh karenanya, praktik baik keberhasilan dari sebagian guru yang menyelenggarakan PJJ harus terus disebarluaskan. Agar perlahan-lahan kita mulai bisa menikmati PJJ. Menikmati dengan sepenuh hati.
Dari pada misalnya pemerintah melakukan asesmen untuk memilih sekolah yang layak PTM atau tidak. Lebih baik, terus mengupayakan pemerataan akses serta sarana/prasarana pendukung PJJ bagi seluruh guru dan siswa. Juga dengan tidak melupakan upaya agar setiap satuan pendidikan memiliki hak yang sama untuk melaksanakan PTM–nantinya.
Misalnya tentang keberadaan toilet sekolah (baca: urgensi toilet sekolah dalam kesiapan PTM) yang harus bersih dan layak itu. Jangan seleksi PTM berbuah tontonan hadirnya kasta-kasta sekolah akibat perbedaan fasilitas antara sekolah penyelenggara PTM dengan yang bukan (baca: tidak terpilih).
Transformasi Minda Guru
Di lain sisi, para guru sebaiknya mulai bertransformasi untuk mengemas pola pembelajaran daring agar tepat sasaran. Tentunya juga menyenangkan bagi siswa dan orang tuanya. Mengapa bagi orang tuanya?
Cengkeraman standardisasi dan intervensi kurikulum yang sudah menahun dan akut, sepertinya sulit untuk dilepaskan dari mindset belajar-mengajar saat ini. Hingga akhirnya masih ada pola PJJ atau Belajar dari Rumah (BdR) itu yang akhirnya menegasikan peran guru. Hingga proses BdR mirip proses siswa mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) yang biasa dibawakannya dari sekolah dulu. Kembali, akhirnya emak-emak–termasuk bapak, nenek, kakek dan keluarga besarnya–yang kembali terkena imbas dengan berbagai tumpukan PR tersebut.
Guru juga harus bisa untuk melupakan PTM. Andai hasrat ingin PTM terus merongrong, bagaimana mungkin bisa mengoptimalkan PJJ? Adanya PJJ hanya dijalankan untuk memenuhi syarat hanya karena tidak bisa tatap muka. Selanjutnya, guru juga harus mulai berani merevisi ‘kurikulum menteri’ kemudian mengkonstruksinya menjadi ‘kurikulum guru.’
Jika dulu paradigma baru itu adalah perubahan pusat pembelajaran dari guru (TCL, Teacher Centered Learning) menjadi ke siswa (SCL, Student Centered Learning). Saat ini sebaiknya sekolah via masing-masing guru juga melakukan pendekatan yang lebih intensif ke orang tua siswa.
Apa pun statusnya, merekalah ‘tulang punggung’ pendidikan di keluarga itu. Bangunan awal dari pendekatan ini adalah dengan membangun komunikasi yang efektif. Barangkali, PJJ itu bisa lebih efektif jika pusat pembelajarannya mulai dialihkan ke orang tua, terutama emak-emak itu. Emak Centered Learning.
Betapa kita terharu, melihat guru yang dengan inisiatifnya melakukan pembelajaran door to door. Mengunjungi rumah siswa dan mengajari dengan apik materinya secara langsung. Di antaranya malah harus mengorbankan waktu dan energi lebih karena jauhnya jarak tempuh.
Betapa kita mengapresiasi ide sekolah untuk memberikan pelajaran kelompok berbasis jarak rumah. Misalnya 3-5 siswa yang rumahnya berdekatan dikumpulkan di salah satu rumah. Kemudian gurunya mendatangi dan proses pembelajaran berlangsung di sini.
Tapi apakah semua inisiatif ini hadir hanya karena pandemi saja? Jika iya, maka pertanyaan selanjutnya mengapa?
Sejatinya ‘kunjungan guru’ ini harus menjadi program rutin sejak dulu. Oleh semua guru dan oleh seluruh sekolah. Sehingga tidak hanya siswa yang dikenali secara utuh, tetapi juga orang tuanya. Sehingga bangunan kedekatan antara sekolah–orang tua tidak mudah rapuh. Misalnya hanya karena ‘secuil’ cubitan kasih sayang dari sang guru, akhirnya harus berlarut dan diselesaikan di meja hukum. Seharusnya tidak begitu, bukan?
Akhirnya, ketika guru ikhlas untuk bertransformasi, ketika relasi sekolah–orang tua siswa semakin kuat, maka satu persatu kelemahan-kelemahan PJJ yang berjalan sejak pandemi ini akan semakin mudah di atasi. Kemudian kita pun akan mudah untuk bergegas move on: melupakan sejenak opsi tatap muka. Mulai bersama untuk memikirkan dan menguatkan Emak Centered Learning.